Menjalankan Ramadhan di Ottoman

Menjalankan Ramadhan di Ottoman

Hagia Sophia di Istanbul, Turki (Dok britannica)

Oleh: Azhar Rasyid

Kekaisaran Ottoman, atau Kesultanan Usmani, dikenang masyarakat dunia lantaran kemampuannya untuk mengusasi wilayah geografis yang amat luas. Areanya mencakup bagian timur dan barat Turki, mulai dari sebagian Eropa barat daya, Asia Barat, hingga Afrika bagian utara. Eksistensi kekaisaran ini juga sangat lama, mencapai tujuh abad lebih (akhir abad ke-13 sampai dekade ketiga abad ke-20). Sumbangan Ottoman untuk dunia terbentang dari segi ilmu pengetahuan, teknologi, sastra arsitektur hingga kesadaran politik.

Di luar segala kebesarannya itu, Ottoman pada dasarnya tak hanya terdiri atas para politisi atau ilmuwan yang membuatnya dikenal dunia. Ada pula masyarakat Ottoman, yang hidup di bawah panji Ottoman selama berabad-abad. Mereka juga memiliki karakteristik dan kultur tersendiri. Salah satu yang menarik dari mereka, namun kurang banyak diketahui orang, adalah soal bagaimana masyarakat Ottoman menjalankan ibadah Ramadhan.

Eksis di Turki yang mayoritas penduduknya beragama Islam menjadikan nuansa Islam sangat kental di dalam kehidupan warga Ottoman. Warga Ottoman mempunyai kebiasaan membersihkan rumah sebelum datangnya Ramadhan. Segala kotoran dibersihkan dari perabotan rumah. Sebagian perlengkapan rumah bahkan diganti baru. Berbagai bahan makanan, yang jarang dikonsumsi di hari biasa, juga mulai dipersiapkan.

Warga Turki mengurangi aktivitasnya di luar rumah di siang hari selama Ramadhan. Barulah pada malam hari aktivitas warga hidup kembali, bahkan lebih semarak dari biasanya. Ini tampak dari lampu-lampu yang menyala terang, menerangi rumah dan toko di sepanjang jalan.

Ramadhan di Ottoman dimeriahkan oleh makanan yang berlimpah. Yang paling terkenal dari makanan Ramadhan di era Ottoman adalah penganannya yang sangat beragam namun punya satu kesamaan: rasanya amat manis. Seorang Hungaria yang berkunjung ke Turki pada pertengahan abad ke-16 dalam catatannya mengutarakan ketercengangannya dengan banyaknya kue dan donat yang dibuat dan dikonsumsi warga Turki selama Ramadhan. Semua kudapan ini luar biasa manis. Semuanya, terangnya, dibuat dari madu dan adakalanya gula.

Puncak produksi penganan manis ini adalah di Hari Raya Idul Fitri. Tak heran bila kemudian di Turki Idul Fitri lebih dikenal sebagai Seker Bayrami (Sugar Feast atau Perayaan Gula). Tamu yang datang bersilaturahmi di Hari Raya juga disuguhi yang manis-manis, mulai dari permen Turki hingga manisan almond.

Di Ottoman aktivitas ibadah meningkat pesat selama bulan Ramadhan. Warga kian giat ziarah kubur, terutama ke makam anggota keluarga mereka. Tapi ada pula yang memilih berziarah ke makam orang-orang besar. Al Qur’an dibaca di berbagai masjid di seantero Turki serta di istana Ottoman sendiri. Sekolah agama (medrese) diliburkan selama bulan puasa. Para dai muda berkeliling ke desa-desa guna memberikan ceramah di hadapan kaum Muslim setempat. Di sore hari, warga berkumpul di sekitar masjid-masjid besar menunggu azan Maghrib.

Tapi, tidak semua Muslim menjalankan puasa Ramadhan di Ottoman. Para pegawai di istana sultan misalnya. Mereka tetap makan dan minum bahkan merokok saat Ramadhan. Alasannya, agar mereka tetap bisa bekerja seperti biasanya, dari pagi hingga petang. Memang, kaum Muslim Ottoman yang berpuasa umumnya mengurangi intensitas pekerjaan mereka selama Ramadhan dan memperbanyak waktu untuk beribadah, beristirahat dan berkumpul bersama keluarga. Menurut Sejarawan Donald Quataert, dalam bukunya, The Ottoman Empire, 1700-1922 (2005), tidak berpuasanya pegawai istana ini terjadi di masa Sultan Abdulhamit II (memerintah dari 1876-1909), sultan ke-34 Ottoman. Kala itu Ottoman mencoba beradaptasi dengan dunia modern. Ini diinterpretasikan dengan mementingkan normalitas pekerjaan dibandingkan dengan berpuasa yang oleh para pegawai itu dipandang melemahkan fisik.

Di masa Ottoman, bulan Ramadhan juga menjadi bulan yang dipenuhi oleh aksi filantropis yang dilakukan oleh anggota masyarakat dari berbagai lapis. Warga Ottoman memberi rupa-rupa tanda mata kepada para pembantu mereka. Hadiah juga diberikan pada orang-orang dengan siapa mereka punya relasi, misalnya pedagang dan para penjaga keamanan. Para bangsawan Ottoman yang mampu memanfaatkan Ramadhan untuk berbagi kepada mereka yang kurang beruntung. Mereka menyediakan berbagai macam pemberian, mulai dari hadiah, makanan hingga uang tunai, kepada para pengemis dan kaum miskin. Hadiah juga disampaikan pada para pemuka agama. Kepada mereka diberikan mantel bulu sebagai tanda penghormatan sekaligus agar bisa dipakai di musim dingin.

Sultan Ottoman juga tak kalah pemurah. Sultan Abdulmecit, yang berkuasa di Ottoman pada pertengahan abad ke-19, membuka pintu untuk warga Ottoman yang miskin. Sang Sultan, lewat ajudan-ajudannya, memberikan berbagai macam hadiah kepada masyarakat tak punya yang berkumpul di istananya saat Ramadhan.

Sultan-sultan Ottoman lainnya memperlihatkan kemurahhatiannya pada bawahannya selama Ramadhan melalui makanan. Pada hari kelima belas Ramadhan, mereka akan membagikan kue-kue manis khas Turki, baklava (penganan yang berbentuk roti yang diisi kacang walnut dan disiram dengan madu atau sirup), kepada Janissary, pasukan khusus di Istana Ottoman. Ada kalanya para anggota militer Ottoman diundang ke Istana Yildiz (kediaman sultan dan keluarganya) untuk makan malam.

Ramadhan di masa Ottoman tidak hanya membawa kegembiraan kepada warga Muslim semata. Satu sumber menyebut, penguasa Ottoman mengundang tak hanya kaum Muslim untuk berbuka puasa di istana, tapi juga kalangan non-Muslim. Sikap ini dituruti oleh warga Muslim Ottoman, yang membagi makanan mereka kepada tetangga non-Muslim mereka.

___

Azhar Rasyid. Penilik sejarah Islam

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 10 tahun 2018

Exit mobile version