Setiap kelahiran pastinya mempunyai spirit yang tidak jauh dari pendahulunya ibarat buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitu pula kelahiran gerakan bahkan persyarikatan Muhammadiyah pastinya tidak melupakan spirit founding father’s Muhammadiyah sosok KH Ahmad Dahlan. Spirit ini merupakan pondasi awal menjulangnya tiang persyarikatan (Ashholaatu imaduddin).
Beberapa waktu sebelum KH Ahmad Dahlan wafat (23 Februari 1923), Kiai Dahlan meninggalkan pesan yang sederhana, namun memiliki nilai kreatif dan liberasi gerak yang cukup tinggi. Kiai berpesan bahwa : “Berbuat dan bekerja itu lebih penting dari berbicara”. Tampaknya, nilai-nilai yang terkandung dalam pesan KH Ahmad Dahlan merupakan warisan intelektualisasi nilai-nilai amar Islam, sebagai tindak lanjut dari peningkatan penajaman pemikiran melalui pendalaman ilmu manthiq (Logika) yang merupakan konsekuensi logis dan bagian tak terpisahkan dari pemahaman KH Ahmad Dahlan terhadap Islam, yang sekaligus merupakan bukti karya kreatifnya dalam berfikir dan bertindak (warisan intelektual KH Ahmad Dahlan dan amal usaha Muhammadiyah, Abdul Munir Mulkhan) dengan bahasa lain keseimbangan antara teks dan konteks.
Pandangan Hidup
“Kita, manusia ini, hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh: sesudah mati, akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraankah?” KH Ahmad Dahlan dalam buku pelajaran KH Ahmad Dahlan karya KHR Hadjid (murid termuda). Pada buku ini pelajaran tersebut masuk pada pelajaran pertama dimana spirit KH Ahmad Dahlan membumikan setiap insan mengingat atas tujuan hidup di dunia ini (Adz-Dzariyat 56) menjadi pemikiran yang reflektif membangkitkan setiap jiwa yang hidup serta menghidupkan setiap jiwa yang mati. Tidak heran spirit ini menjadi bayang bayang KH Ahmad Dahlan disetiap harinya. Bahkan beliau menulis pesan khusus di dekat meja tulis “Hai Dahlan, coba bayangkanlah seolah-olah badanmu sendiri hanya berhadapan dengan Allah saja, dan dihadapanmu ada bahaya maut, peradilan, hisab atau pemeriksaan, surga dan neraka. (Hitungan yang akhir itulah yang menentukan nasibmu). Dan fikirkanlah, renungkanlah apa-apa yang mendekati engkau dari pada sesuatu yang ada dimukamu (bahaya) dan tinggalkanlah selain itu”.
Gagasan Dasar KH Ahmad Dahlan
Gagasan dasar KH Ahmad Dahlan terletak pada konsep kesempurnaan budi yang muncul karena mengerti baik-buruk, benar-salah, kebahagiaan atau penderitaan, dan bertindak berdasar pengertian itu. Sehingga setiap individu manusia mempunyai tanggung jawab keilmuan (keshalihan pribadi) dan kemanusiaan (keshalihan sosial) seperti halnya sering disampaikan KH Ahmad Dahlan “jadilah guru sekaligus jadilah murid” (api pembaharuan KH Ahmad Dahlan, Abdul Munir Mulkhan) dengan harapan Muhammadiyah Abad ke-2 memasuki babak baru namun tetap pada gagasan lama, ide lama, cita-cita lama yakni mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Adapun gagasan mendasar KH Ahmad Dahlan. Pertama, memahami Al-Qur’an sebagai landasan teologis. Dia gemar sekali mengupas tafsir Al-Qur’an. Dalam mempelajari Al-Qur’an dia menggunakan cara sebagai berikut : 1. Bagaimana artinya? 2. Bagaimana tafsir/keterangannya? 3. Bagaimana maksudnya? 4. Apakah ini larangan? Apakah sudah meninggalkan larangan? 5. Apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? Apakah sudah mengerjakan? Bila belum dapat menjalankan, tidak perlu membaca ayat-ayat lainnya. Dia gemar sekali menelaah ayat-ayat Al-Qur’an dan pandai tentang hal itu. Pertama kali dia menyelidiki tiap-tiap perkataan dalam ayat satu demi satu. Dilihatnya kekuatan atau perasaan yang terkandung dalam perkataan itu di dalam ayat-ayat yang lain, kemudian disesuaikan. Dia mengerjakan hal ini dengan sabar. (KH Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya, M Yusron Asrofie).
Kedua, persatuan Ulama, KH Ahmad Dahlan mempunyai kemauan yang besar untuk mencari kebenaran. Dia heran mengapa pemimpin-pemimpin agama dan yang tidak beragama hanya sampai pada taraf anggapan. Mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri, tidak mau mengadakan pertemuan diantara mereka, tidak mau bertukar fikiran, berbincang mengenai mana yang benar mana yang salah. Mereka hanya saling menganggap dirinya benar, hanya berbincang dengan istrinya, muridnya atau teman-teman guru, maka tentu saja akan dibenarkan. Melihat hal yang demikian dia mengajak mengadakan musyawarah dengan golongan lain untuk membicarakan manakah sesungguhnya yang benar dan manakah yang salah. (Hadjid, Falsafah)
Akhirnya pemikiran KH Ahmad Dahlan mampu menjadi spirit pembaharuan ketika adanya pemahaman serta kontekstualisasi antara teks dan konteks, dari teologis ke tataran praksis, dari wahyu kepada akal. Maka dengan demikian berfikir mendasar (reflektif) menjadi ruh spirit pembaharuan yang tidak sebatas berfikir eksistensi tanpa esensi (reaktif).
Baharuddin Rohim, Ketua PK IMM Rasyid Ridho STAIMS