Dalam tradisi umat Islam di Indonesia, Idul Fitri memang bukan peristiwa yang biasa. Bagi umat Islam Indonesia Idul Fitri bukan sekedar shalat di lapangan Ada ratusan nilai dan kepentingan ikut nimbrung di perayaan yang mengakhiri ibadah puasa ini. Di sana pula ada hitungan kapital yang harus berputar.
Setidaknya, hal itu tercermin dari keruwetan pengambilan keputusan jumlah libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh pemerintah.
Konsensus yang ada sudah bulat terputus. Idul Fitri adalah hari yang ditetapkan untuk bergembira. Tanpa jelas bergembira karena apa. Umat yang tidak beragama Islam, umat Islam yang tidak berpuasa, juga umat Islam yang berpuasa, pada hari itu semua berusaha untuk terlihat bergembira-ria.
Bagi umat Islam yang menjalankan serangkaian ibadah Ramadhan dengan baik, sudah jelas berhak untuk merasa bahagia di hari raya Idul Fitri karena ada janji pengampunan dari Allah. Untuk mengekspresikan kebahagiaan itu umat Islam diperintahkan untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka yang sedang tertimpa kesusahan. Idul Fitri adalah perayaan yang harus bisa dinikmati secara bersama. Termasuk mereka yang tidak berpunya.
Oleh karena itu, ekspresi atau wujud pelampiasan kebahagiaan perayaan Idul Fitri bagi umat Islam dapat dikatakan sudah cukup jelas dan terukur. Yakni dengan memberi dan saling berbagi. Bukan dengan cara lain yang justeru melanggar Syariat Agama.
Namun, saat ini merayakan kebahagiaan secara jelas dan terukur serta sesuai dengan syariat Agama Islam itu dapat dikatakan relatif sulit untuk dilaksanakan.
Syariat kapitalisme telah membajak kesadaran keagamaan kita secara halus. Sejak Ramadhan baru menjelang, aneka tawaran untuk merayakan Idul Fitri secara berlebihan sudah sangat massif dikampanyekan.
Memang, tidak ada larangan bagi kita untuk bergembira pada hari raya, namun kegembiraan itu tidak boleh berlebihan. Karena kegembiraan yang berlebihan hanya akan membuat kita lupa. Lupa kepada orang lain, lupa pada tujuan hidup. Bahkan juga lupa pada Allah SwT.
Mungkin saat ini mayoritas dari kita dapat merayakan Idul Fitri dengan penuh kegembiraan. Kita tidak kekurangan bahan pangan, kita tidak kedinginan karena masih cukup mempunyai pakaian, kita juga masih punya tempat tinggal untuk pulang.
Sementara itu, di belahan dunia yang lain, betapa masih banyak saudara kita yang hidup dalam derita kelaparan, bahkan banyak pula yang terusir dari kampung dan negaranya sendiri tanpa tahu apa kesalahannya.
Berpijak pada semua kenyataan yang ada, mungkin akan lebih baik kalau kita menjadikan momentum Idul Fitri sebagai momentum untuk memupuk rasa kemanusiaan kita. Untuk memastikan bahwa tarbiyah dan riyadhah yang kita lakukan selama satu bulan itu ada bekasnya. (ima)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 11 Tahun 2018s