Abu Dawud dan An-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya mencatatkan sabda Nabi, “Qad abdalakum Allah khaira minhuma, id al-fitri wa id an-nahri.” Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari raya itu dengan hari raya yang lebih baik, adalah Idul Fitri dan Idul Adha.
Masyarakat Arab Jahiliyah sebelum datangnya Islam memiliki dua hari raya: Nairuz dan Mahrajan. Hari raya yang konon sudah ada sejak zaman Persia kuno itu dirayakan dengan pesta pora meriah. Suguhan ragam tarian, adu ketangkasan bermain pedang, mabuk-mabukan, aneka nyanyian, serta hidangan makanan dan minuman.
Hari Raya Idul Fitri dirayakan pertama kali oleh Nabi dan umat Muslim setelah Perang Badar, 17 Ramadhan di tahun ke-2 Hijiriyah. Perang ini dilakukan untuk melawan kezaliman, penindasan, hingga perampasan kabilah dagang Muslim. Idul Fitri tersebut merayakan dua kemenangan sekaligus. Keberhasilan menaklukkan kafir Quraisy dengan jumlah pasukan yang lebih besar dan kemenangan mengalahkan hawa nafsu melalui puasa sebulan penuh.
Ada riwayat, Hari Raya pertama itu dilakukan Rasulullah dan sahabat di tanah lapang, dalam kondisi letih dan terluka yang masih belum pulih akibat Perang Badar. Kemungkinan, ucapan Allahumma ij’alna minal ‘aidin wal faizin (Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang kembali –dari Perang Badar– dan mendapatkan kemenangan) bermula dalam konteks ini, yang kemudian menyebar di sebagian umat Islam hingga hari ini. Doa dalam hadits lainnya: taqabbalallahu minna wa minkum.
Arthur Jeffery, dalam The Foreign Vocabulary of the Qur’an, memasukkan kata ‘id sebagai kosakata asing (bukan bahasa Arab), dari bahasa Suriah, ‘ida, bermakna hari raya. Menurut Quraish Shihab, kata fitri murni merupakan bahasa Arab, dari kata fithri atau fithrah, berarti asal kejadian atau bawaan sejak lahir. Arti lainnya adalah naluri atau suci. Makna ini merujuk bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan suci dari dosa (tidak membawa beban dosa warisan). Fithrah, sambung Quraish, juga berarti agama, karena agama mengantar manusia mempertahankan kesuciannya, hingga akhirnya kembali kepada-Nya.
Tafsir At Tanwir menjelaskan bahwa manusia sesuai fitrahnya diciptakan dari unsur fisik dan nonfisik. Unsur fisik terdiri dari air dan tanah. Komponen nonfisik berupa roh, akal dan nafs. Makhluk istimewa ini dianugerahi potensi khusus dan ditugaskan untuk menjadi manusia dengan segala sifat luhur kemanusiaannya. Mempergunakan semua potensi yang dikarunia Allah untuk mengabdi pada-Nya dan memakmurkan bumi merupakan fitrah penciptaan manusia.
Saat Idul Fitri, lantunan takbir dan tahmid bergema di mana-mana. Bahkan, menurut Muchlas Abror, Muhammadiyah ikut serta membudayakan takbir keliling. Takbir bermakna pengagungan, hanya Allah yang Maha Besar. Jika makna takbir dihayati dengan mendalam, akan sampai pada keyakinan bahwa satu-satunya yang berhak dipertuhankan adalah Allah, sementara selain-Nya, berkedudukan sebagai makhluk yang harus diperlakukan dengan baik dan patut, sesuai maunya Allah yang Maha Rahman dan Rahim. Manusia harus dimanusiakan, bukan dipertuhankan dan bukan pula direndahkan layaknya binatang. Hewan dan tumbuhan ditatakelola sesuai amanah kekhalifahan manusia.
Salah satu sifat dasar manusia adalah tidak bisa hidup sendiri. Manusia senantiasa menjalin hubungan muamalah dengan yang lainnya. Berelasi dengan manusia dituntut mengedepankan akhlak terpuji dan tidak saling menzalimi. Tidak menindas dan tidak membiarkan ada yang mengalami penindasan. Wakil Ketua MDMC, Rahmawati Husein, menyatakan bahwa Idul Fitri juga memiliki makna pembebasan. Yaitu membebaskan manusia dari belenggu nasib tidak manusiawi. Termasuk pembebasan dari belenggu sifat-sifat rendah yang mengotori batin. “Intinya pembebasan dari hawa nafsu. Kembali ke kesucian. Nah, itu diekspresikan dengan saling memaafkan. Makna dari idul fitri dan saling memaafkan itu kan lebih kepada persaudaraan,” ujarnya.
Bersaudara merupakan salah satu amanat Al-Qur’an. Dalam rangka mencapai tujuan itu, manusia harus bisa mengendalikan ego negatif dan syahwatnya. Syahwat kebendaan, kekuasaan, ketenaran. Kecintaan berlebih pada materi kadang merenggangkan persaudaraan. Larut dalam kegembiraan diri yang semu dan abai menggembirakan sesama. “Dalam konteks kemanusiaan yang universal mestinya semangat untuk membantu, bahwa kita semua orang harus bergembira, dimanusiakan. Memaknai kemanusiaan itu adalah bagaimana meningkatkan kehormatan dan martabat manusia. Dalam konteks itu mestinya kita lebih perlu punya keshalihan sosial,” kata Rahmawati. Memaknai kemanusiaan, Dewan Pengarah BNPB ini mencontohkan, di saat Idul Fitri, MDMC bersama AMM, PTM, Lazismu dan RS PKU, dalam tiga tahun terakhir, membuka 60-an posko untuk membantu para pemudik yang bercita mulia, pulang kampung merajut silaturahmi dan persaudaraan.
Keshalihan sosial diwujudkan di antaranya dengan rasa solidaritas. “Kita mempunyai empati dan tidak menghabiskan dana untuk keperluan kesenangan (berlebihan),” ulasnya. Tak jarang, hari raya menjadi ajang pamer kekayaan dan kekuasaan melalui praktik semisal kebanggaan berbaju baru, berhamburan pesta makan, pamer materi dan kemegahan duniawi.
Budaya konsumerisme itu sering melukai hati sesama. Padahal, berbagi materi dan non materi merupakan bagian dari kesyukuran terhadap nikmat. Syukur di hari raya, hendaknya tidak hanya simbolis dalam bentuk ucapan tahmid, tetapi juga dalam tindakan. Berupa perilaku tahmid atau terpuji semisal berbagi, yang karena perbuatan mulianya layak diberi bonus pujian, –niat utamanya adalah keridhaan Allah.
Takbir dan tahmid di hari raya harus memberi dampak bagi kaum mustadl’afin. Hilman Latief dalam Melayani Umat (2017), menyatakan bahwa aktivitas kemanusiaan dalam Islam berangkat sebagai kewajiban dari ‘Yang Di Atas’ untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di muka bumi berbasis kepedulian dan kecintaan pada sesama. Tujuannya adalah menciptakan tatanan yang lebih berkeadilan. Kata Hilman, “Kemiskinan tidak sekadar terkait masalah kehidupan pribadi seseorang (culture of proverty), atau suatu kondisi realistik dari sebuah lingkungan yang diskriminatif, tetapi juga masalah struktur sosial, ekonomi, dan politik.”
Kemiskinan terjadi karena masyarakat terbelit struktur, terkendala untuk hidup sejahtera. Termasuk bencana hingga krisis politik. Semisal yang dialami oleh pengungsi Rohingya, yang terusir dari tanah airnya.
Menurut Hilman, filantropi didorong oleh dua motif; rasa untuk melayani atau membantu dan untuk menyalurkan hasrat atau dorongan moral kemanusiaan. Fitrah kemanusiaan menginginkan untuk senantiasa berempati. Dalam pelaksanaannya, Hilman dan Rahmawati sepakat bahwa yang perlu dilakukan bukan sekadar memberi dalam arti karikatif atau santunan, tetapi lebih penting adalah serangkaian proses membebaskan, memberdayakan dan mendampingi hingga mandiri.
Momen Idul Fitri merupakan saat yang tepat untuk meningkatkan ketakwaan dan perilaku ihsan. Ramadhan telah melatih kita menjadi manusia yang punya solidaritas, merasakan lapar dan haus. Begitulah agama mengajarkan tentang pengabdian kepada Tuhan dibarengi dengan rasa kemanusiaan yang harus tumbuh. Ahmad Syafii Maarif sering mengingatkan, “Islam yang tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang semakin ruwet dari waktu ke waktu bukanlah Islam kenabian.” (ribas)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 11 Tahun 2018