Lapangan Asri, Wirobrajan Yogyakarta merupakan saksi sejarah aksi Muhammadiyah menyelenggarakan shalat Id di lapangan. Di sinilah pertama kali Muhammadiyah melaksanakan shalat Id di lapangan dan sampai saat ini tanah yang merupakan hibah Sultan Hamengkubuwono ini masih terus dipakai untuk shalat Id.
Shalat Id di lapangan ini, menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr Munir Mulkhan, merupakan tradisi yang dikembangkan Muhammadiyah di Indonesia. Meski Muhammadiyah masih menggunakan masjid jika saat shalat Id hujan turun.
Shalat Id yang diselenggarakan Muhammadiyah di lapangan ini, sebetulnya merupakan upaya Muhammadiyah untuk mengembalikan Sunnah Nabi untuk shalat Id di tanah lapang. Saat itu umat Islam menjalankan shalat Id di Masjid, sehingga langkah Muhammadiyah banyak dicibir umat Islam pada waktu itu. Kini langkah ini banyak dilaksanakan umat Islam di seluruh Indonesia dan merupakan syiar tersendiri bagi Islam.
Syiar karena ribuan umat Islam berduyun-duyun ke tanah lapang, baik itu di tempat Muslim yang mayoritas maupun Muslim yang minoritas. Di Yogyakarta, Alun-alun Utara yang sangat luas itu tidak dapat menampung umat Islam sehingga meluber ke arah Malioboro. Demikian pula di Denpasar, ribuan umat Islam memadati Lapangan Niti Mandala Renon. Hal yang sama tergelar di perkotaan hingga pedesaan di Indonesia.
Syiar Islam ini terus dikembangkan oleh Muhammadiyah dan warganya saat Idul Fitri. Pada malam menjelang Idul Fitri diselenggarakanlah Takbir Keliling. Inilah yang dilakukan Angkatan Muda Muhammadiyah di berbagai daerah, termasuk di daerah Kauman, tempat Muhammadiyah dilahirkan.
Kegiatan ini menambah semaraknya syiar Islam. Apalagi mereka menyertakan lampion berwarna-warni. Bahkan di sejumlah daerah, kegiatan ini dilombakan. Sehingga memacu peserta untuk tampil sebaik-baiknya dalam kegiatan Takbir Keliling ini.
Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, kegiatan ini bisa menghindarkan generasi muda dari paham ekstrem. “Dengan perayaan takbir keliling ini kita juga dapat menyambung silaturahmi sesama umat Islam dengan nuansa perdamaian sehingga dapat menangkal paham-paham ekstrem,” kata Haedar seusai melepas kontingen takbir keliling di pelataran Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Dalam rangka syiar dan menyederhanakan silaturahmi, Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga menyelenggarakan silaturahmi usai shalat Idul Fitri, Segenap aktivis Muhammadiyah dan ortomnya serta pimpinan amal usaha Muhammadiyah berkumpul di Kantor PP Muhammadiyah. Sehingga mereka tidak perlu sowan satu persatu ke rumah tokoh yang dituakan. Menurut Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr HM Din Syamsudin tradisi ini telah berlangsung sejak tahun 1950-an.
Di zaman ini warga Muhammadiyah selesai shalat Id tidak pulang ke rumah, namun berkumpul bersama di markas besar Muhammadiyah jaman itu di Jl KH Ahmad Dahlan Yogyakarta. Untuk mendengarkan ceramah tunggal Ketua PP Muhammadiyah “Jadi selalu di setiap Lebaran hari pertama saya berada di Yogyakarta,” katanya.
Makna Syawalan bagi Din Syamsudin perlu ditingkatkan, tidak sekedar bermaaf-maafan namun bagaimana kita menemukan korelasi positif antara relasi manusia dengan Tuhannya (Hablumminallah) dan relasi manusia dengan sesama (Hablumminannas).
Bahwa relasi yang terjadi antara sesama manusia adalah buah dari relasi manusia dengan Tuhannya. Disini mengandung arti bahwa hidup ini tidak cukup hanya berbuat baik dan santun terhadap sesama ‘soft ethics’. Namun lebih membawa kebaikan dan santun itu kepada kebersamaan, kerjasama, koalisi, kolaborasi yang strategis antara sesama manusia ‘hard ethics’. Dengan relasi ini diharapkan masyarakat madani melahirkan produktifitas dalam bentuk peradaban dan kebudayaan yang tinggi.
Tradisi berkumpul setelah shalat Id ini bertahan hingga saat ini, bahkan berkembang di sejumlah tempat. Menurut Siti Hadiroh, cicit KHA Dahlan, di Alun-alun Utara setelah shalat Idul Fitri para pejabat dan tokoh masyarakat melakukan silaturahmi di Gedung PDHI yang terletak di Pojok Alun-alun Utara. Sultan pun sering hadir di sini jika melaksanakan shalat Idul Fitri di Alun-alun Utara.
Bahkan berkumpulnya warga di satu tempat ini diadopsi di sejumlah tempat, baik usai Idul Fitri maupun ditunda harinya. Sebagai contoh yang pertama, warga Kenteng, Kebondalem Kidul, Prambanan, Klaten berkumpul di Masjid Sholihin, milik Muhammadiyah, untuk melaksanakan silaturah mi. Sedangkan contoh kedua, warga Bayen, Purwamartani, Kalasan, Sleman menyelenggarakan silaturami di SMP Muhammadiyah 2 Kalasan pada hari kedua Idul Fitri.
Bukan tidak mungkin tradisi trah juga pengembangan tradisi ini bercampur tradisi lama. Menurut Moh Soehada, dosen Antropologi UIN Suka, kita melihat bagaimana great tradition itu memancar terutama pada masa ketika kerajaan mulai pudar kekuasaannya itu adalah tentang munculnya silaturahmi yang kemudian tergabung dalam apa yang disebut konsep trah. Trah itu dulu hanya menjadi kebiasaan di great tradition. Apa yang disebut dengan trahing kusumo rembesing madu jadi biasanya ada trah misalnya Pakualaman. Kemudian dalam silaturahmi selalu dikaitkan dengan trah.
Awal mula trah itu dari great tradition kemudian memancar sekarang setiap habis Idul Fitri perkumpulan yang kemudian mengadakan halal bi halal tidak hanya orang kraton tetapi orang biasa pun membuat trah sendiri. Kemudian itu juga bisa kita kaitkan bahwa trah juga menjaga sulaturahmi dalam sebuah keluarga. Kalau dalam beberapa hal kemudian juga menjaga akidah mereka, dengan adanya trah selalu ada silaturahmi.
Tradisi lain yang dilakukan Muhammadiyah, menurut Prof Munir Mulkhan, adalah pembentukan panitia zakat menjelang Idul Fitri. Panitia bertugas menerima dan membagikan zakat kepada yang berhak, baik zakatul fithr maupun zakat mal. Sehingga penerimaan dan pembagian zakat tidak bertumpu pada seorang tetapi oleh sebuah tim. Harapannya pembagian zakat lebih tepat sasaran untuk mengangkat harkat kemanusiaan dan menambah syiar agama Islam. (eff)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 11 Tahun 2018