Terma “Lebaran”, merupakan kosakata khas Islam di Indonesia. Secara leksikal, umpamanya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Lebaran diartikan sebagai hari raya umat Islam sehabis menjalankan ibadah puasa. Bandingkan dengan pengertian Idul Fitri, seperti dalam Qamus al-Munjid, disebutkan sebagai `id al-muslimin ba`da shaumi ramadhan (hari raya umat Islam setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan).
Dari segi makna antara Idul Fitri dan Lebaran tidak berbeda, namun ditinjau dari ranah sosial-budaya dan konsekuensinya memiliki distingsi yang menarik. Lebaran telah menautkan Idul Fitri dan mentransformasikan maknanya tidak sekedar hari raya pada tanggal 1 Syawal sahaja, namun juga menajamkan daya sentuhnya pada dimensi sosial-budaya dan ekonomi masyarakat luas. Walhasil dalam lingkup Lebaran tampak sekian agenda dan beragam kegiatan umat Islam yang semarak dan penuh rona, bukan saja pada hari H-nya namun jua pada waktu-waktu sebelum dan masa-masa setelahnya.
Sebagai ilustrasi, pada hari-hari pra-Lebaran, umat Islam sudah sibuk dengan berbagai persiapan yang terkadang melenakannya dari inti dan hakikat Idul Fitri. Hidangan dan penganan khas Lebaran seolah menjadi menu wajib yang disajikan sebagai kuliner istimewa di hari nan mulia itu. Demikian pula dengan pakaian baru dan busana khas Lebaran dengan berbagai aksesorisnya tidak lupa disandang dan disematkan.
Jadilah Lebaran itu begitu meriah dengan pesona tampilan busana dan dandanan modis juga mengundang selera dengan aneka kudapan dan olahan boga yang jarang disajikan di luar hari raya itu. Kemeriahan dan keceriaan ini kian semarak dengan ramainya arus lalu-lintas dan hilir-mudiknya sekian banyak orang yang sulit diterka bilangannya. Ada yang khusyuk menjalin silaturahim dan mempererat kekerabatan, sementara yang lainnya ada pula yang asyik piknik dan ria berwisata. Demikianlah pada Lebaran bisa dikatakan dimensi sosial-budaya dan aspek ekonominya tampak lebih menonjol.
Di tengah kegembiraan dan kemeriahan itu jangan sampai terlena untuk mengingat kembali pesan moral Lebaran yang tidak kalah pentingnya, di antaranya memperkuat solidaritas bagi saudara-saudara kita yang kurang beruntung secara ekonomi atau yang tengah ditimpa musibah bencana alam dan petaka lainnya. Karena itu menjadi kewajiban moral bagi orang-orang yang berlebaran untuk turun tangan, menyingsingkan lengan baju, dan mengulurkan bantuan dalam berbagai bentuknya yang nirpamrih.
Lebaran merupakan momentum yang tepat dan kesempatan emas untuk membangun solidaritas yang tulus. Solidaritas sosial adalah suatu kepaduan, sebuah tingkat atau tipe integrasi, yang dimanifestasikan oleh sebuah masyarakat atau kelompok. Dalam hal ini yang penting juga dan harus segera dilakukan adalah menghimpun basis nilai welas asih dan rasa kamanungsan, tanpa perlu mengedepankan pretensi dan tendensi yang bisa melukai orang-orang yang kurang beruntung dan memanipulasi korban musibah.
Dengan kata lain, solidaritas sosial itu harus tetap dijaga dan dirawat dengan senantiasa mengharap berkah dan perkenan-Nya. Solidaritas jangan hanya ditunjukkan tatkala ada musibah atau bencana saja, apatah lagi bila ditelikung untuk keuntungan pribadi dan golongan secara culas.
Solidaritas yang tulus itu mesti menjadi muatan budaya dan nilai tambah umat Islam dalam perayaan Lebaran. Kesadaran sikap dan ketulusan laku seperti ini selaras dengan makna Idul Fitri dan Lebaran juga, yakni kembali kepada piwulang dan paugeran Tuhan serta peduli dengan nasib dan kepentingan sesama insan. (asep p bahtiar)