Oleh: Abdul Mu’ti
Bukan kebetulan jika KHA Dahlan menamakan organisasi yang didirikannya dengan Muhammadiyah. Pembentukan ‘organisasi’ dan pemberian nama ‘Muhammadiyah’ adalah hasil ijtihad cerdas KHA Dahlan. Keberanian membentuk ‘organisasi’ lahir dari pemahaman mendalam terhadap konsep ‘umat’ dan ‘shaf’ dalam Al-Qur’an serta konsep ‘jamaah’ dalam Sunnah, dan kebutuhan membentuk sebuah gerakan yang solid dan tangguh.
Begitu pula nama ‘Muhammadiyah’. Tidak ada satu pun organisasi di dunia ini dengan nama ‘Muhammadiyah’, yang secara lughawi tidak hanya berarti ‘pengikut Muhammad’, tetapi juga ‘berpribadi seperti Muhammad, pengikut, penerus, dan penyempurna misi Muhammad’.
Dalam perspektif tajdid, dibentuknya organisasi Muhammadiyah merupakan sintesis dari tiga hal: pemahaman yang komprehensif ajaran Al-Qur’an dan Hadits (umat, shaf, dan jamaah), Sunnah Rasulullah (persatuan sahabat), dan Modernitas-Barat (organisasi).
Ketika mendirikan madrasah di emperan rumahnya pada 1911, Dahlan nampaknya berusaha melanjutkan dan menyempurnakan ‘peran nabi’ untuk mencerdaskan dan membebaskan umat dari kebodohan dan penindasan. Sebagai ‘Muhammadiyah’, Dahlan berusaha melanjutkan dan menyempurnakan misi tilawah (Al-Qur’an), tazkiyah (an-nafs) dan ta’lim (ilmu) yang diemban para Rasul. Misi Rasul tersebut pernah secara gemilang dilaksanakan oleh kaum Muslimin abad pertengahan, sehingga mampu melahirkan pribadi-pribadi Muslim yang ‘utuh’ dan mengantarkan Islam pada masa kejayaannya.
Di Yogyakarta, Dahlan melihat kondisi yang sangat berbeda. Dualisme pendidikan yang akut antara sistem pendidikan pesantren yang ‘agamis’ dan sistem pendidikan sekolah yang ‘sekuler’ ternyata melahirkan individu-individu yang kepribadiannya ‘pecah’ (split personality). Pesantren yang mengajarkan agama melulu, ternyata melahirkan santri yang pintar agama, tetapi kolot. Sekolah yang sekuler banyak melahirkan ilmuwan, tetapi awam agama. Dengan ‘langkah Walisongo’, Dahlan mendirikan lembaga pendidikan yang mengajarkan ‘ilmu agama’ dan ‘ilmu sekuler’ sekaligus dengan menggunakan sistem sekolah ‘kafir-Belanda’, sehingga melahirkan Muslim yang intelek, atau dalam bahasa Dahlan, “Kiai sing kemajuan”.
Dua contoh di atas menjelaskan bagaimana Dahlan melakukan tajdid kontekstual. Dalam konteks sekarang, hasil ijtihad Dahlan sendiri mungkin tidak seluruhnya relevan. Tetapi model atau metodologi ijtihadnya masih tetap relevan. Dengan ‘akal’nya, Dahlan berhasil menghidupkan tajdid Muhammadiyah di Indonesia dengan mengawinkan kitab suci (Islam ideal), kitab kuning (khasanah Islam klasik), dan kitab putih (khasanah Islam dunia modern).
Selama ini, pengkajian terhadap ajaran kitab suci dan kitab kuning sangat menurun. Pendidikan Muhammadiyah lebih banyak melahirkan insan yang mahir penguasaan kitab putih, tetapi lemah dalam pemahaman kitab suci dan kitab kuning. Inilah sebab amal Muhammadiyah terasa kering dari ruh ke-Islaman dan terkesan berkembang sebagai lembaga entrepreneurs. Karena itu, Muhammadiyah perlu melakukan kontekstualisasi tajdid dengan mempergiat kajian Islam multi-disipliner, untuk memperdalam pemahaman ajaran Islam dan penerapannya dalam masyarakat, sehingga etos tajdid tetap tumbuh dan tidak terlalu banyak ‘minta petunjuk’ dari Pimpinan Pusat.• (im)