Muhammadiyah Singapura berdiri pada 25 September 1958. Badan hukumnya berupa piagam yang dikeluarkan pemerintah setempat dalam bentuk Registry of Societies. Perintis Muhammadiyah Singapura adalah tiga ulama imigran asal Sumatra dan Kepulauan Riau. Mereka adalah Rijal Abdullah, Abdulrahman Harun, dan Amir Esa.
Semula, ketiga ulama imigran tersebut berprofesi sebagai guru agama. Mereka mengajar di sejumlah masjid dan rumah di Singapura. Apa yang mereka ajarkan adalah paham Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka mengajarkan ayat-ayat, Hadits-hadits Nabi, dan buku-buku karya Ahmad Hasan (Persis) dan karya-karya HAMKA (Muhammadiyah). Mereka ini sangat getol memerangi kemusyrikan, takhayul, bid’ah, dan khurafat di Singapura.
Konsekuensinya, ketiganya mendapat penolakan keras dari umat Islam di Singapura yang hanya mengenal satu mazhab fikih, yakni Fikih Syafi’iyah. Mereka juga dituduh “sesat.” Bahkan, gedung pusat Persyarikatan Muhammadiyah Singapura yang beralamat di Lorong Tai Seng 624 pernah dilempari kotoran. (Baca kisahnya dalam buku Reformisme Islam di Nusantara karya Khairudin Aljunied).
Muhammadiyah Singapura adalah sebuah gerakan Islam modern yang unik. Memakai nama, logo/simbol, istilah-istilah organisasi, pola struktur dan gerakan yang sama persis dengan Persyarikatan Muhammadiyah di Indonesia, tetapi Muhammadiyah Singapura mengusung ideologi puritan seperti gerakan Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Padahal, antara Muhammadiyah Singapura, Muhammadiyah Indonesia, dan Persis tidak memiliki hubungan struktural. Tetapi inilah sisi unik dari wajah gerakan Muhammadiyah Singapura.
Nama, simbol, dan gerakan sama seperti Muhammadiyah di Indonesia, tetapi ideologi Muhammadiyah Singapura adalah paham Islam Hasan-Bandung (Persis— red) dan pemikiran-pemikiran HAMKA. Sampai saat ini, gerakan Muhammadiyah Singapura masih mengurusi soal kemusyrikan dan bid’ah,” terang Khairudin Aljunied, Associate Professor di National University of Singapore (NUS) kepada Suara Muhammadiyah belum lama ini.
Aljunied menyadari bahwa problem utama Muhammadiyah di Singapura adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Tidak seperti di Indonesia, SDM Muhammadiyah di Singapura tidak ada yang berpendidikan setara S3. “Saya sendiri bukan bagian dari pengurus Muhammadiyah Singapura, hanya simpatisan saja. Selama ini, saya banyak mengritik sambil membina,” tukasnya.
Problem kaderisasi memang menjadi agenda penting Muhammadiyah Singapura ke depan. Aljunied membandingkan, jika Muhammadiyah di Indonesia, proses perkaderan berjalan secara dinamis. Proses regenerasi menggunakan sistem yang amat demokratis. Tetapi kenyataan semacam ini tidak terjadi di Muhammadiyah Singapura.
“Menurut saya, sebuah organisasi yang baik adalah organisasi yang proses regenerasinya berjalan dinamis, seperti yang terjadi di Muhammadiyah Indonesia. Tetapi pergantian pimpinan baru di Muhammadiyah Singapura menjadi masalah yang sensitif,” pungkasnya. (Rif)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2017