Medsos dan Perubahan Sosial

Media sosial (medsos) seakan telah mengubah wajah jurnalistik. Jurnalisme penuh akurasi dan tahapan berganti dengan jurnalisme serba cepat tanpa mempedulikan sumber berita dan akurasi berita. Medsos seakan telah menggusur “kemapanan jurnalisme” dengan wajah dan gayanya. Setiap orang dapat membuat akun medsos dan menggunakannya sebagai “alat” menyampaikan kabar. Setiap orang menjadi sumber berita. Saat semua orang menjadi sumber berita, dan sekaligus penyebar kabar, maka inilah awal mula perubahan sosial. Tata kelola masyarakat yang bersumber bukan dari gagasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis.

Perubahan sosial melalui media sosial kian nyata saat pertarungan politik tidak hanya terjadi di “darat”, namun juga di “udara” melalui twitter, facebook, dan sebagainya. “Twitwar” antar-pendukung calon telah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Akun robot, akun anonim, akun buzzer, dan sebagainya, menjadi investasi calon gubernur/bupati/walikota dalam membangun persepsi positif dan menghalau persepsi negatif. Pesat dan besarnya dukungan terhadap calon menjadi amunisi tim sukses di darat untuk memenangkan calon. Dalam hal ini, peran serta medsos menjadi ukuran, apakah calon tersebut layak jual atau tidak.

Tidak hanya dalam hal politik, medsos juga menjadi alat cukup efektif dalam proses kemanfaatan sosial. Misalnya, pembelaan terhadap kaum lemah yang dirugikan hukum yang kurang berkeadilan; donasi amal untuk bencana; kekuatan penekan (presser group) isu publik, dan seterusnya.

Menggeser Informasi

Medsos telah menggeser wilayah praksis menuju era digital. Gerakan massa bisa dengan mudah digerakkan melalui jejaring medsos yang mudah, murah, dan cepat. Inilah perubahan sosial yang sedang terjadi. Masyarakat Indonesia memandang informasi tidak lagi dari media mainstream, namun beralih pada “trending” di medsos. Masyarakat membenarkan apa yang terjadi di dunia maya dan menggerakkan alam bawah sadar pada realitas nyata. Media mainstream pun seakan mengamini apa yang terjadi di medsos. Tak jarang wartawan kini menjadikan twit medsos sebagai bahan berita, sehingga hasil beritanya pun jauh dari prinsip-prinsip dalam elemen jurnalisme. Mereka seakan berlomba “menggoreng” berita dari medsos dan mem-viral-kannya.

Kemampuan mem-viral-kan informasi menjadi “kekuatan” dalam mengubah tatanan sosial. Tatanan sosial bisa damai dan tenang saat informasi yang diviralkan adalah berita tentang kebaikan dan menggerakkan tindakan. Namun, seringkali informasi yang seperti itu sedikit jumlahnya. Viral berita yang ada seringkali dipenuhi hujatan dan kebencian.

Tidak aneh jika saat ini masyarakat Indonesia terbelah dalam dua kutub yang sangat kentara: lovers (pecinta) dan haters (pembenci). Dua kutub yang sulit disatukan ini terus menggempur kesadaran orang yang belum berada dalam bagian itu. Pada gilirannya, orang yang belum terkontaminasi menjadi bagian penting dalam dua kutub itu atau menjadi kelompok yang sekadar bersimpati.

Realitas Semu

Itulah kelemahan medsos. Medsos menjadi realitas semu—meminjam istilah Jean Baudrillard-yang menggempur ruang publik. Kini, ruang publik dipenuhi orang-orang yang sangat cinta dan sangat benci terhadap seseorang atau sebuah isu. Mereka bertarung bebas di media sosial. Mereka lupa bahwa medsos adalah ruang publik. Meminjam istilah Habermas, ruang publik adalah space di mana keadaban perlu diperjuangkan dan dijunjung. Namun, kini, gagasan itu kian kabur. Sulit ditemui keadaban di medsos. Medsos penuh dengan intrik dan pertarungan (battle) yang mengerikan.

Ironisnya, kelompok lovers dan haters sama-sama tidak memiliki kesadaran kritis dalam bersikap. Mereka mempraktikkan ilmu “pokoke” (pokoknya). “Pokoke” kalau idola saya diserang, maka saya siap menjadi benteng hidup dan mem-bully para penyerang. Sebaliknya, para haters juga bersikap yang sama. Tidak ada perspektif kebaikan pada seseorang yang telah dibenci.

COVER SM No 02, 2018

Medsos memang membutuhkan kematangan dalam “ilmu” dan sikap. Seseorang akan mudah terbawa arus saat tidak memiliki pandangan ilmu dan sikap yang jernih. Mereka akan menjadi “korban” pertarungan bebas kelompok-kelompok berkepentingan. Mereka bahkan bisa stres dan bunuh diri akibat tidak kuat dengan sistem bebas di medsos.

Inilah potret perubahan sosial yang kini sedang melanda Republik Indonesia. Masyarakat Indonesia kurang memahami peran dan posisi medsos sebagai ruang belajar bersama. Medsos lebih banyak menjadi ruang pamer, gengsi, dan hal-hal yang kurang mendidik lainnya. Tak mau kalah dengan itu, medsos dipenuhi oleh orang-orang yang tidak siap kalah dan menang. Mereka menjadi pemuja dan abdi para pesohor tanpa melibatkan nalar kritis di dalamnya.

Perubahan sosial akan terjadi saat seseorang bijak menggunakan medsos. Proses bijak itu dimulai dengan hadirnya orang-orang yang bisa bersikap satria dengan dipenuhi kebajikan dalam hidupnya. Tanpa itu, medsos hanya akan menjadi penanda keruntuhan perubahan sosial yang akan mewujud dalam anarkisme dan rasa kebencian yang tak berdasar.

__

Benni Setiawan, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta; anggota Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 tahun 2017

Exit mobile version