OSLO, Suara Muhammadiyah-Kedutaan Besar Republik Indonesia di Oslo, Norwegia dan Oslo Metropolitan University menyelenggarakan seminar bertajuk The Role of Civil Society in Facing Radicalism in Indonesian Society. Agenda yang mengundang wakil dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini berlangsung pada Rabu, 19 Juni 2019.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Doktor Abdul Mu’ti dan Ketua PBNU Doktor Marsudi Syuhud menyampaikan materi tentang pengalaman dan perspektif masing-masing organisasi tentang pemberantasan ekstremisme dan radikalisme di Indonesia. Turut hadir Direktur Wahid Institute Yenny Wahid dan Profesor Elisabeth Eide dari Oslo Metropolitan University yang bergabung dalam panel pembicara di sesi tanya jawab.
Para pembicara memperkenalkan wajah Islam Indonesia yang moderat dan mampu berkonstribusi positif bagi demokrasi. Kegiatan ini juga dalam rangka memperkuat dukungan nominasi Muhammadiyah dan NU untuk memperoleh nobel perdamaian. Sebelumnya, Universitas Gadjah Mada telah mengajukan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai kandidat penerima penghargaan Nobel Perdamaian.
Dalam paparannya, Abdul Mu’ti menyatakan bahwa setiap muslim memiliki tangung jawab terhadap pribadinya, masyarakatnya, dan negaranya. Adanya tanggung jawab ini menuntut dirinya untuk selalu berbuat yang terbaik, berperan aktif, dan tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda nabi: seorang muslim harus mampu memberi rasa aman bagi lingkungannya.
“Sebagai individu, setiap muslim bebas menjalankan amal ibadah sesuai ajaran yang diyakininya. Namun harus diingat bahwa kebebasannya itu juga dibatasi dengan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Dia harus tunduk pada norma sosial masyarakat serta hukum positif yang diatur oleh negara,” tutur Mu’ti.
Dalam sambutan pembukaan, Dubes RI untuk Norwegia dan Islandia Todung Mulya Lubis menyampaikan bahwa NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi yang memiliki pengaruh besar di Indonesia. Kelahirannya bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
“Saat ini jumlah anggota NU sekitar 60 juta dan Muhammadiyah sekitar 40 juta. Kalau ditotal berarti jumlahnya sekitar 38,46% dari total penduduk Indonesia. Dengan prosentase yang cukup besar tersebut, peran kedua organisasi ini memiliki arti penting sebagai kekuatan untuk menjaga keutuhan NKRI,” ujar Todung.
Dubes menyatakan bahwa kekuatan sebuah negara sangat dipengaruhi oleh kekuatan masyarakat sipilnya, yang berperan sebagai kekuatan penyeimbang. Kalau elemen masyarakat sipilnya kuat, maka akan kuat pula negaranya. Untuk itu NU dan Muhammadiyah punya andil besar untuk menjaga masyarakat sipil Indonesia yang toleran dan berkemajuan.
Marsudi Syuhud menjelaskan tentang konsep Islam Nusantara yang merefleksikan wajah Islam moderat. Islam Nusantara yang mempromosikan nilai-nilai dasar Islam seperti jalan tengah (tawasuth), seimbang (tawazun), dan toleransi (tasamuh) merupakan norma yang ditumbuhkembangkan untuk memelihara perdamaian dan persatuan Indonesia di tengah kemajemukannya.
Sementara itu, Yenny Wahid melihat gejala radikalisme banyak tumbuh di kalangan anak muda. “Anak muda sekarang kan semangatnya pengin jadi hero. Untuk menjadi hero mereka cenderung mencari enemy. Tugas kita adalah mendorong mereka untuk menemukan identitas yang tepat, sehingga mereka bisa menentukan dengan benar siapa yang patut dijadikan musuh dan siapa hero sesungguhnya,” ulasnya.
Menurutnya, kelompok radikal sebenarnya hanyalah arus kecil, namun mereka menguasai media masintream dan media sosial (noisy minority). Sementara mayoritas muslim Indonesia yang berpaham moderat lebih cenderung tenang dan diam (silent majority). “Sudah saatnya kita berfikir untuk mentransformasi silent majority untuk bisa menjadi noisy majority,” ungkap Yenny. (ribas/dw)
Baca juga:
Muhammadiyah dan NU Dinominasikan Raih Nobel Perdamaian
Dubes RI untuk Norwegia dan Islandia Temui PP Muhammadiyah
Abdul Mu’ti: Guru Agama Berperan Penting Ajarkan Nilai Kebangsaan dan Keberagaman