“Dicari: Pemimpin Bermoral!” Sebuah kalimat iklan lowongan yang lugas tetapi mengandung muatan sinisme. Secara eksplisit, lazimnya persyaratan utama dan pertama seorang calon pemimpin di Indonesia harus, “Warga Negara Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Persyaratan ini mempunyai pesan implisit pula bahwa orang yang bertakwa kepada Tuhan salah satu dimensinya adalah berMORAL. Bertakwa kepada Tuhan mempunyai dua indikator, yaitu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Takwa yang berasal kata dari bahasa Arab mempunyai pengertian taat dan takut. Takut tidak terhadap hukum manusia tetapi takut terhadap hukum Tuhan sebagai kekuasaan Tertinggi (The Highest Power).
Kalau taat dan takut kita kepada Tuhan berasal dari kesadaran diri kita sendiri untuk mencari keselamatan dunia dan akhirat maka inilah yang disebut oleh Allport (pemikir Psikologi) sebagai agama yang intrinsik. Sebaliknya, agama ekstrinsik adalah cara seseorang ‘menggunakan’ agamanya untuk mencapai manfaat bagi diri sendiri, kepentingan sekuler lainnya atau bahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang anti agama. Seperti misalnya, seorang diktator/arogan, koruptor dan mafia birokrasi yang membenarkan agamanya untuk melakukan tindakan amoral tersebut.
Sebenarnya tidaklah terlalu sulit menentukan seseorang termasuk bermoral atau tidak. Nucci & Narvaes (2008) menyatakan bahwa moral merupakan faktor determinan atau penentu pembentukan karakter seseorang. Menurutnya, indikator manusia yang bermoral ada tiga. Pertama, personal improvement, yaitu pengembangan kepribadian yang berintegritas sehingga tidak menyalahgunakan kekuasaan.
Nilai agama baginya diinternalisasi untuk berpegang teguh terhadap aturan (istiqomah). Kedua, social skill, yaitu mengutamakan hubungan baik terutama kepada masyarakat yang dipimpinnya dengan penuh empati (mu’amalah). Kalau seseorang menebar fitnah dan kebencian maka ia tak akan menjadi pemimpin yang ber-muamalah dengan baik. Ketiga, comprehensive problem solving, yaitu kemampuan mengambil keputusan dengan memandang perspektif yang kompleks (hikmah).
Ketika pemimpin dapat menjalankan tiga indikator tersebut (istiqomah, muamalah, dan hikmah), maka ia dapat digolongkan sebagai orang yang bermoral. “Sudahkah Anda mempunyai tiga indikator pemimpin yang bermoral tersebut?” Atau “Sudahkan Anda memilih pemimpin yang bermoral?”
Huwallahu a’lam bish showab
—
Dr MG Bagus Kastolani, Kader Muhammadiyah, Staf pengajar Fakultas Psikologi UNAIR Surabaya
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 6 tahun 2017