Pesan Mbah Dahlan, Konsekuensi PTM, dan Keberadaan IMM

kiai

KH Ahmad Dahlan (Dok SM)

“Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Karena itu, hendaklah warga muda-mudi Muhammadiyah terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan (dan teknologi) di mana dan ke mana saja. Menjadilah dokter sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan (profesional) lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu.–KH Ahmad Dahlan.

Pesan yang penulis kutip ini sudah cukup populer di kalangan aktivis dan warga Muhammadiyah. Sebenarnya kutipan pesan ini bisa jadi merupakan harapan, doa, keinginan, prediksi, atau bisa juga berisi kekhawatiran sang pendiri Muhammadiyah akan nasib persyarikatan di masa mendatang—saat ini. Memang, KH Ahmad Dahlan merupakan sosok yang begitu mengagumkan, ulama dengan pikiran yang maju melampaui zamannya sulit dicari bandingannya di alam Indonesia saat ini. Terlebih, jika melihat ketulusannya bekerja untuk umat, dakwah, dan bangsa.

Memang betul, Muhammadiyah pada masa itu berbeda dengan saat ini dan Muhammadiyah saat ini akan berbeda pula dengan Muhammadiyah pada masa mendatang, begitu seterusnya. Yang berbeda bisa jadi bukan Muhammadiyahnya, tapi tantangannya, zamannya, ruang dan waktunya. Artinya, di sini Mbah Dahlan ingin berpesan agar kita tidak berdiam diri, jumud, dan merasa nyaman dengan kondisi yang ada. Muhammadiyah—di abad keduanya ini—harus senantiasa dinamis, terbuka, responsif, dan eksploratif terhadap kondisi zaman. Apalagi, dengan aset Muhammadiyah yang begitu berlimpah saat ini.

Karena itulah Mbah Dahlan berpesan agar kader-kader muda Muhammadiyah senantiasa meningkatkan kemampuan dan derajat keilmuannya. Pesannya agar para kader menjadi dokter, master, insinyur, profesor, dan sebagainya itu menandakan agar para kader bisa berkiprah di mana saja, bertebaran di mana-mana. Bila perlu kader Muhammadiyah itu yang menjadi pemimpin-pemimpin bangsa. Namun, jangan kita lupakan pesannya yang mewanti-wanti agar kita “jangan lupa pulang kepada Muhammadiyah”, jangan menjadi kacang yang lupa akan kulitnya.

Mungkin, dahulu Mbah Dahlan berandai-andai bagaimana jika Muhammadiyah punya rumah sakit tapi tak punya kader yang menjadi dokter atau ahli di bidang kesehatan. Bagaimana jika Muhammadiyah kelak punya perguruan tinggi tapi tak ada kader yang mampu memimpin perguruan tinggi tersebut. Begitu juga dengan sekolah, bahkan dengan nasib persyarikatan itu sendiri. Semua pangkalnya ada pada kaderisasi; penyiapan generasi elite penerus perjuangan.

Kita dapat melihat pesan ini dalam dua sudut pandang. Sudut pandang pertama, kader-kader muda Muhammadiyah dituntut untuk terus berkembang, menuntut ilmu, dan menguasai teknologi sehingga bisa melebarkan sayap dakwah Muhammadiyah ke berbagai lini kehidupan, kapan pun, dan di manapun berada. Dalam pandangan ini, tak heran jika kader dituntut untuk jadi dokter, master, insinyur, dan lain-lain. Tak bisa dipungkiri, keberadaan kader di dalam peran-peran publik bisa membawa nama harum Muhammadiyah di luar persyarikatan. Meskipun tanpa membawa-bawa embel-embel Muhammadiyah.

Profesionalitas yang dimiliki para kader mencerminkan sikap seorang Muslim berkemajuan yang sejati. Pemikiran yang maju, terbuka, toleran, inovatif, dan senantiasa menjadi pemecah persoalan, menjadi karakter melekat pada diri kader Muhammadiyah. Terlebih, jargon “sedikit bicara banyak bekerja” yang selama ini mendarah daging dalam Muhammadiyah. Ditambah lagi, bagi kader sejati segala perbuatannya akan mencerminkan “pengabdian kepada umat dan bangsa, dengan lillahi taala”. Semua sikap itu menjadi cerminan yang tentu saja menjadi identitas kader Muhammadiyah di dunia luar.

Sudut pandang kedua adalah adanya komitmen kader terhadap rumahnya; persyarikatan. Kader yang ditempa dan dibesarkan di Muhammadiyah, baik melalui sekolah, perguruan tinggi, maupun organisasi otonomnya sudah semestinya memahami betul bagaimana persyarikatan Muhammadiyah. Baik secara ideologis, paham, maupun secara organisatoris. Maka konsekuensinya, setiap kader mesti mau mengenal dan menyelami persyarikatan Muhammadiyah luar dan dalam, kanan dan kiri, atas dan bawah. Meski sebenarnya hal ini sudah ada dalam sistem perkaderan masing-masing ortom dan pola pembinaan amal usaha, terkadang tanpa ada niatan yang lurus, pemahaman terhadap Muhammadiyah hanya menjadi angin lalu.

Dengan pemahaman komprehensif yang dimiliki kader, ke depan Muhammadiyah diharapkan tidak mengalami stagnasi dan kejumudan. Kejumudan dan stagnasi itulah gejala ketika kita gagal memahami organisasi (dinamika internal) dengan utuh dan gagap menangkap perkembangan zaman (dinamika eksternal). Sehingga, lambat merespons berbagai perubahan yang terjadi di luar dan di dalam. Mbah Dahlan berpesan, Karena itu, aku titipkan Muhammadiyah ini kepadamu sekalian dengan penuh harapan agar engkau sekalian mau memelihara dan menjaga Muhammadiyah itu dengan sepenuh hati agar Muhammadiyah bisa terus berkembang selamanya.

Tanpa menafikan peran besar amal usaha persyarikatan lainnya, saat ini yang paling berperan besar menyemai penguatan ideologis dan menghidupkan nalar berkemajuan pada generasi muda Muhammadiyah itu adalah perguruan tinggi Muhammadiyah. Kehadiran PTM merupakan konsekuensi dari pesan Mbah Dahlan yang menyeru agak kader-kadernya jadi dokter, master, insinyur, dan lain-lain.

Konsekuensi PTM

Dalam Pedoman PP Muhammadiyah NOMOR 02/PED/I.0/B/2012 tentang Perguruan Tinggi Muhammadiyah Bab I Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa PTM adalah amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan tinggi yang dijiwai dan dilandasi nilai-nilai Al-Islam dan Kemuhammadiyahan pada tataran ideologis-filosofis maupun praktis-aplikatif serta menjadi salah satu kekuatan untuk kelangsungan dan kesinambungan Muhammadiyah dalam mencapai tujuannya sebagai gerakan dakwah dan tajdid yang melintasi zaman.

Dengan begitu, PTM diharapkan bukan saja sebagai lembaga pendidikan tapi juga menjadi gerakan dakwah persyarikatan. Konsekuensi pertama, PTM harus bisa berjalan sejalan dengan visi dan misi persyarikatan, terutama dalam dakwah Islam yang berkemajuan dan perkaderan. PTM wajib hukumnya mendukung dan menjadi wadah perkaderan bagi generasi muda Muhammadiyah. Karena PTM memiliki keterikatan secara ideologis, kultural, dan fungsional dengan persyarikatan, tidak hanya ikatan struktural (ayat 3).

Kemudian, dalam ayat (2) disebutkan bahwa PTM “merupakan lembaga pendidikan tinggi untuk menyiapkan sumber daya manusia terdidik yang berakhlak mulia dan mampu menangani berbagai bidang pekerjaan dan pengabdian secara cerdas dan profesional, menyiapkan pemimpin masa depan Persyarikatan dan Bangsa, dan membangun peradaban masa depan.” Maka konsekuensi kedua, selain menyemai ideologi dan paham keislaman yang berkemajuan, PTM juga memiliki tugas mencetak generasi profesional yang memiliki kepribadian. Sehingga kelak, generasi muda Muhammadiyah mampu berperan dalam persyarikatan, bangsa, dan membangun peradaban.

Maka, PTM kemudian memiliki fungsi sebagai center of excellence within the region (uswah hasanah, pusat keunggulan) di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat serta sebagai driving force (kekuatan penggerak) gerakan dakwah dan tajdid Muhammadiyah yang melintasi zaman untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (ayat 4). PTM menjadi salah satu basis gerakan dakwah yang bisa bersentuhan langsung dengan masyarakat. Hal itu bisa dilakukan melalui beragam program pemberdayaan, pembinaan, dan kegiatan-kegiatan di nonakademik lainnya. PTM juga berperan amat besar dalam mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat, sehingga bisa tercipta masyarakat ilmu dan peradaban utama.

Dalam pedoman PTM yang dikeluarkan PP Muhammadiyah tersebut tentunya terdapat ideal-ideal yang terkadang tak sepenuhnya persis dengan kondisi di lapangan. Dalam dinamikanya, pasti ada saja persoalan yang dihadapi PTM maupun amal usaha lainnya. Misalnya, kurangnya kesadaran akan kadersisasi dan penyemaian ideologi. Hal ini berakibat fatal, karena bisa jadi PTM di masa-masa tertentu akan dipimpin oleh orang yang tidak memahami persyarikatan secara utuh. Akibatnya, ada kepincangan, karena yang dijalankan hanya fungsi struktural dan fungsional, tidak pada ranah ideologis dan kultural. Padahal penekanan keberhasilan gerakan dakwah di PTM ada pada dua fungsi itu—ideologis dan kultural.

Sehingga, perlu kita renungkan pesan Mbah Dahlan yang berikut, Mengapa engkau begitu bersemangat saat mendirikan rumahmu agar cepat selesai, sedangkan gedung untuk keperluan persyarikatan Muhammadiyah tidak engkau perhatikan dan tidak segera diselesaikan?Sejatinya, urusan dakwah persyarikatan mesti ditempatkan di atas kepentingan pribadi. Mungkin sering juga kita mendengar atau membaca pesan Mbah Dahlam yang berbunyi, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Pesan ini menekankan jangan sampai lupa menghidupkan dakwah Muhammadiyah, hanya karena sibuk mencari hidup di PTM—atau AUM lainnya.

 

Keberadaan IMM

“Di masa yang akan datang, anak-anak warga Muhammadiyah tidak hanya akan tersebar di seantero tanah air, tapi akan tersebar ke seluruh dunia. Penyebaran anak-anak muda Muhammadiyah tersebut juga bukan semata-mata karena tugas keilmuan, melainkan juga akibat hubungan perkawinan. –KH Dahlan.

Misi menduniakan gerakan dakwah, ternyata sudah seabad lalu diungkapkan Kiai Dahlan. Sosok pendiri persyarikatan ini memang betul-betul menjadi uswah dalam berpikir maju dan modern. Konsekuensi dari adanya PTM adalah lahirnya generasi-generasi terdidik yang mampu berperan di dunia global. Penguasaan bahasa, teknologi, dan relasi dengan berbagai pihak bisa menjadi modal besar untuk menduniakan gerakan dakwah. Modal besar itu membutuhkan wadah atau laboratorium yang berperan langsung membina dan menggodok kader.

Dalam kaidah PTM yang diterbitkan PP Muhammadiyah Pasal 28 ayat 3 disebutkan bahwa organisasi kemahasiswaan di PTM hanya ada empat, yakni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dewan perwakilan mahasiswa (DPM), badan eksekutif mahasiswaa (BEM), dan unit kegiatan mahasiswa (UKM). Lembaga kemahasiswaan menjadi salah satu laboratorium perkaderan yang paling berpengaruh besar. Karena lembaga kemahasiswaan ini menjadi wadah bagi mahasiswa/kader menggembleng diri dan belajar berorganisasi. Dalam ranah ideologis, IMM memiliki peran yang amat sentral. Selain karena organisasi gerakan yang berperan dalam lingkup kemasiswaan dan kemasyarakatan, IMM juga merupakan sayap dakwah Muhammadiyah yang mengemban misi persyarikatan.

Mungkin di luar sana banyak pertanyaan, mengapa hanya organisasi ekstra IMM yang legal dan sah di PTM, tidak ada HMI, PMII, PMKI, GMNI, dan lain-lain. Tentu saja, PTM berbeda dengan PTN dan perguruan tinggi swasta lainnya. Sebagai sayap dakwah Muhammadiyah, PTM memiliki tanggung jawab ideologis dalam pembinaan mahasiswa, sehingga organ ekstra yang diakui dan diakomodir PTM hanyalah IMM yang merupakan anak kandung Muhammadiyah. Hal ini sudah diatur dalam kaidah PTM dan statuta di masing-masing PTM. Logika sederhananya, yang memahami tentang dakwah dan gerakan Muhammadiyah sejatinya adalah kader yang terdapat pada ortomnya, termasuk IMM.

Dengan begitu, keberadaan IMM di PTM memiliki peran yang sangat penting, sebagai anak kandung persyarikatan yang mengemban misi dakwah. Tentu saja keberadaan IMM tidak hanya menjalankan dakwah dalam konteks yang sempit, dalam lingkup kampus saja. Melainkan, IMM juga memiliki tugas penting dalam menjalankan pemberdayaan sosial, responsif bencana, gerakan ilmu, serta mengawal dinamika kebangsaan. Karena sesungguhnya proyeksi kader IMM ke depan adalah mampu berperan sebagai kader umat, kader bangsa, kader persyarikatan, dan kader kemanusiaan.

“Karena itu, aku terus memperbanyak amal dan berjuang bersama anak-anakku sekalian untuk menegakkan akhlak dan moral yang sudah bengkok. Kusadari bahwa menegakkan akhlak dan moral serta berbagai persoalan Islam yang sudah bengkok memang merupakan tugas berat dan sulit,” pesan Kiai Dahlan.

Ahmad Soleh, Sekretaris Riset dan Pengembangan Keilmuan DPP IMM

Exit mobile version