Trilogi Sebagai Trend Setter Gerakan

Trilogi Sebagai Trend Setter Gerakan

Dok IMM Rasyid Ridha STAIMS

Oleh : Baharuddin Rohim

“Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah” Tujuan IMM

Muhammadiyah semenjak didirikan telah komitmen dengan gerakan pembaharuan (tajdid) tidak lepas hanya persoalan purifikasi agama saja melainkan ijtihad dalam ranah kemahasiswaan Muhammadiyah. Berfikiran perlu membentuk Ikatan Mahasiwa Muhammadiyah (IMM) sebagai ruang keilmuan para cendikiawan muslim berpribadi, dengan harapan besar segala sesuatunya mampu menghasilkan strategi yang strategis atapun taktik yang taktis (siyasah). Berangkat dari hal itu IMM mempunyai arah gerak yang tercantum dalam Trilogi IMM.

Keagamaan

Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya (KBBI). Sedangkan didalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPT) Agama adalah : 1). Agama yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Qur’an dan yang terdapat dalam as-Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. 2). Agama adalah apa yang disyari’atkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.

Berangkat dari kedua teks di atas bisa di artikan bahwa keagamaan adalah hal substansial dalam arah gerak IMM karena didalam tubuh IMM terdapat gerakan amar ma’ruf nahi munkar yang didalamnya terdapat konsekuensi logis atas apa yang mendasari IMM bergerak sehingga batasan-batasan dalam pergerakan IMM dapat dengan mudah dilihat dalam aturan main didalam beragama dan saat itulah sejatinya arah gerak IMM dapat dilihat baik secara esensi maupun secara eksistensi.

Menjadi babak baru masuknya faham-faham liberalisme, sekularisme, pluralisme mulai masuk dalam paradigma kader IMM, ketika fenomena agama termasuk menjadi bagian yang belum tuntas dan akan selalu tidak tuntas dikalangan mahasiswa yang notabene minim pengetahuan secara kaffah soal agama. Tidak jarang mereka menuhankan konsep-konsep agama salah satunya dengan statement karl marx menyatakan bahwa “agama adalah candu” tanpa mengetahui sesuatu yang melatar belakangi statement itu muncul. Sehingga hal ini jikalau di telan mentah maka yang ada adalah IMM yang telah jelas ideologinya adalah Muhammadiyah menjadi organisasi yang kabur makna baik secara esensi maupun eksistensi, maka menjadi sebuah kewajaran dan kewajiban sebagai IMM selesai pada ideologi Muhammadiyah menjadi aksentuator nilai gerak pemahaman atas pondasi beragama secara tepat seperti yang telah di contohkan oleh KH Ahmad Dahlan.

Dalam perspektif founding Fathers Muhammadiyah agama sangat erat kaitan antara teks (Al-Qur’an, As-Sunnah) dan konteks (realitas sosial) bahwa terkait pemahaman Al-Qur’an harus mampu dijadikan landasan berfikir secara reflektif, maka dikenallah salah satu contoh Al-Ma’un sebagai Landasan Teologis dalam bergerak. Di saat K.H. Ahmad Dahlan mengulang-ulang ayat tersebut bukan hanya tataran eksistensi melaikan KH Ahmad Dahlan memberikan pemahaman secara esensial kepada murid-muridnya sehingga terwujudnya pemikiran yang konstruktif atas landasan teologis (tauhid, prinsip) yang membumi. Maka arah gerak IMM akan mampu menjadi trend setter gerakan ketika kuat dalam landasan teologis. Hal ini IMM telah sepakat bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai landasan teologis karena tujuan IMM mengusahakan terwujudnya cita-cita mulia Muhammadiyah terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Maka Ikatan Mahasiswa Mengenal Relegiusitas sebagai tri Kompetensi dasar kader, hal ini sepantasnya menggambarkan bagaimana di dalam tubuh IMM mengedepankan landasan berfikir secara reflektif teologis sebelum keranah praksis, dengan kata lain penguatan Individu menjadi lagkah awal ranah pergerakan IMM.

Kemahasiswaan

Siapakah yang pantas disebut mahasiswa? apakah hanya mereka yang merasa usianya muda? Lantas siapakah anak muda? “Muda atau tua tidak bergantung pada tanggal pada suatu masa, tapi keadaan jiwa. Tugas kita bukan menambah usia pada kehidupan, tapi menambah kehidupan pada usia” (Taylor).

Ungkapan diatas sangat relevan untuk kondisi mahasiswa saat ini dimana mereka hanya menyandang status mahasiswa (usia) namun didalam kehamasiswaaannya tidak terdapat kemanfaatan (esensi) sehingga mahasiswa hanya sabatas symbol manusia muda yang masuk pada usia dewasa secara eksistensi, namun masih menjadi anak-anak secara esensi. Sebagai gambaran kongkret intelektualitas yang selalu disertakan dengan mahasiswa nyatanya didalam proses mendapatkannya upaya-upaya yang substansial mulai absurd.

Dimulai dari gaya pendidikan yang mengedepankan nilai angka yang sejatinya pendidikan angka itu jauh dari pada nilai pendidikan itu sendiri, dibalik itu ada upaya pendidikan karakter. Namun rupanya tidah jauh beda substansi dari pendidikan karakter hanya sebatas kata “karakter” namun pendekatan-pendekatan dalam pendidikan dikenahkan pendekatan “pragmatis”. Akhirnya kompetisi digelar agar menjadi kompetitif, faktanya itu semua hanya sebatas mengumbar eksistensi tanpa esensi (terlibat banyak dalam ajang kompetisi yang tidak mampu dikontekstualisasikan pada realitas sosial).

Mahasiswa merupakan salah satu tolak ukur keilmuan bangsa ini, maka ketika Ir. Soekarno menyampaikan “Berikan aku 1000 orangtua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Berikan 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” hal ini ketika dikontekstualisasikan terhadap kondisi mahasiswa maka bangsa ini hanya butuh  mahasiswa yang kuat keilmuan tidak hanya sebatas mahasiswa yang mengedepankan symbol eksistensi. Tradisi keilmuan Islam di Indonesia, salah satu sebab keterbelakangan umat ialah tidak menyangkutnya teori dengan praktek, atau ilmu dengan kenyataan. Kita sudah gagal menjadikan ilmu-ilmu Islam sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi umat.

Kita hanya menyerahkan Perkembangan secara umat pada ilmu ilmu normatif. Ilmu-ilmu sosial kita kembangkan hanya membuat orang terasing dengan dirinya sendiri, atau menjadikan asing dengan Islam. Itu sebabnya karena ilmu yang kita kembangkan adalah cangkokan, tidak berakar pada masyarakat. Ilmu itu juga menganut dikotomi yang jelas antara fakta dan nilai, mempunyai bias positivitas seperti ilmu alam, seolah-olah ilmu sosial itu bebas nilai, objektif, dan murni empiris.

Kita malu untuk mengakui keterrkaitan ilmu sosial dengan nilai-nilai sosial dan budaya. Kita takut dituduh tidak ilmiah, tidak objektif. Di barat pun orang sudah lama ragu-ragu akan ilmu sosial yang “bebas nilai” strukturalisme-fungsionalisme mempunyai bias nilai-nilai masyarakat borjuis yang menginginkan sebuah ekuilibrium yang dinamis. Munculnya ilmu sosial Marxis dan critical theory adalah gugatan Pada kemapanan ilmu sosial yang ada. Menurut Max, ilmu tidak hanya memahami gejala-gejala, tapi harus mempunyai kekuatan mengubah. (Kuntowijoyo, Jurnal Mukaddimah  1999)

Integrasi Interkoneksi Intelektualitas sebagai kompetensi dasar harus sejajar dengan kemahasiswaan sebagai arah gerak ikatan. Karena di keduanya terdapat dua sudut yang saling berkaitan jika hal ini tidak selaras maka akan terjadi kepicangan berfikir maupun kepincangan bergerak. Alhasil akan banyak diketemukan kader-kader ikatan yang pragmatis dan cenderung sibuk pada ruang kontestasi eksistensi tanpa esensi.

Kemasyarakatan

Hidup bermasyarakat itu adalah sunnah (Hukum Qadrat Iradat) Allah atas kehidupan manusia di dunia ini. Masyarakat yang sejahtera, aman dan damai, makmur dan bahagia hanyalah dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong-royong, bertolong-tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas dari pada pengaruh syaitan dan hawa nafsu. (Kutipan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah).  Ini menggambarkan bahwa kemasyarakatan adalah hasil dari konsekwensi logis hidup di dunia (Q.S. Al-Baqarah : 30).

Maka ketika diterjemahkan dalam arah gerak IMM harusnya mampu menjadikan IMM trend setter gerakan kemasyarakatan dengan kata lain “beramal ilmiah” wujud praksis gerakan reflektif. Dimana IMM berbicara pemberdayaan, pembelaan masyarakat tidak hanya berhenti pada wacana namun jauh dari pada itu mampu menjadikan perjuangan IMM tidak terhalang periodesasi dengan spirit kemanfaatan jariyah sebagai sistem penggerak (sustainable system).

Komitmen tradisi normatif ialah dakwah, komitmen tradisi ideologis ialah politik, dan komitmen tradisi ilmiah adalah ilmu,. Paradigma baru itu harus mempunyai komitmen baru, yaitu umat (masyarakat, komunitas, rakyat, kaum, bangsa). Paradigma baru itu akan kita sebut ilmu sosial profetik.

Dasar dari ilmu sosial profetik itu dapat dibaca dalam Q.S Ali Imron ayat 110 : “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang Makruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah”, ada tiga unsur  yaitu Amar makruf, nahi munkar dan tu’minunabillah. Amar ma’ruf itu sesuai dengan semangat peradaban barat yang percaya kepada the idea of progress, demokrasi, liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme, dan selfishness.

Bahkan seorang atheis seperti J P Sartre menyebut yang eksistensialismenya sebagai humanisme. mereka ingin humanisation yang memanusiakan manusia atau dalam bahasa agamanya mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebaliknya Nahi Mungkar itu sesuai dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, Teologi pembebasan) yaitu liberation. Tu’minuna billah sama dengan transcendence yang menjadi prinsip semua agama dan filsafat perenial. Jadi ilmu sosial profetik ialah humanisasi liberasi dan transendensi. (Kuntowijoyo).

Baharuddin Rohim, Ketua Umum PK IMM STAIMS Yogyakarta, Pendiri Panti Asuhan Muhammadiyah Ashabul Kahfi Moyudan Sleman DIY

Exit mobile version