>> Download PDF Khutbah Idul Adha 1440 H
Oleh: DR H Haedar Nashir, MSi
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Allah Yang Maha Rahman Rahim, yang telah melimpahkan segala nikmat-Nya yang tak terhingga, terlebih nikmat iman bagi setiap insan Muslim. Shalawat dan salam dihaturkan bagi Nabi Muhammad figur teladan dan Rasul akhir zaman; serta bagi segenap keluarga, para sahabat, dan pengikutnya yang senantiasa taat menjalankan ajaran Islam.
Pagi hari ini kaum Muslimin di seluruh tanah air dan sejumlah negeri menunaikan shalat ‘Idul Adha 10 Dzuhlizah 1440 Hijriyah. Segenap hamba Allah yang beriman dengan khyusuk mengumandangkan takbir, tahlil, tahmid, dan tasbih sebagai wujud penghambaan diri kepada Allah Rabbul-‘Izzati. Marilah tunaikan shalat Idul Adha ini dengan khusyuk dan penuh kepasrahan, agar hati dan pikiran tercerahkan, serta setiap diri Muslim menjadi insan-insan muhsinin.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahi al-Hamd Jamaah Shalat Idul Adha Rahimakumullah!
‘Idul Adha atau ‘Idul Qurban, artinya Hari Raya Penyembelihan. Makna “adha” dikaitkan dengan “udhhiyah” atau “dhahiyyah” yakni “hewan sembelihan”. Secara lahir yang disembelih itu seekor hewan kurban sesuai syariat yang dituntunkan, namun maknanya ialah menyembelih hawa nafsu dan segala godaan syaitan, yang bermuara pada kepasrahan dan pengabdian diri kepada Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Demikian halnya, kata “qurban” artinya “sesuatu yang dekat atau mendekatkan”, yakni dekat dan mendekatkan diri kepada Allah, sehingga setiap yang berkurban semakin taat hidupnya kepada Allah, yang diwujudkan dengan segala ibadah dan amal shalih atasnama-Nya.
Ibadah kurban dalam sejarah paling awal dimulai oleh kedua putra Nabi Adam, Qabil dan Habil sebagaimana dikisahkan dalam AlQur’an sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orangorang yang bertakwa” (Qs AlMaidah [5]: 27).
Dalam Al-Qur’an secara khusus ibadah kurban dikaitkan dengan kisah penuh makna dari dua figur terkasih Allah, yakni Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Allah berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersamasama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ), dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (Qs Ash-Shaaffaat: 102-107).
Kisah teladan Ibrahim dan Ismail dalam praktik ibadah kurban menunjukkan jiwa tauhid yang murni dari keluarga Nabi kekasih Allah tersebut. Betapa tinggi dan mendalam jiwa kepasrahan diri untuk berkurban kepada Allah. Bahwa hanya lewat suatu mimpi Ibrahim diikuti Ismail dan kerelaan ibundanya Siti Hajar berani mengurbankan nyawa demi kebaktian tertinggi kepada Dzat Rabbul Izzati. Meski perintah berkurban itu akhirnya diganti dengan seekor hewan, tetapi ketiganya berhasil membuktikan keimanan tingkat tertinggi selaku hamba-hamba Allah yang imannya kokoh dan jiwa ihsannya melintasi.
Karenanya kita selaku insan beriman patut meneladaninya melalui ibadah qurban dengan seekor hewan yang dituntunkan syariat Islam. Hanya mengorbankan seekor hewan tentu bukanlah hal berat jika dibandingkan dengan nyawa seorang Ismail. Namun sering godaan terbesar kita ialah kecintaan berlebih pada harta dan segala hiasan dunia, sehingga tidak jarang untuk berkurban seekor hewan pun terasa berat. Di sinilah pentingnya memaknai Idul Adha saat ini untuk membangkitkan jiwa ikhlas dalam pengabdian diri kepada Allah yang dibuktikan dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Terrmasuk kerelaan untuk berkurban hewan dan segala bentuk amal jariyah yang membawa kebaikan hidup di dunia dan akhirat.
Jika ditarik makna hakikinya bahwa penyembelihan hewan kurban itu bersifat simbolik. Sembelihlah segala hawa nafsu yang tumbuh di jiwa untuk dibersihkan dengan jiwa takwa, sehingga setiap diri kita selaku Muslim yang berkemampuan ikhlas berkurban yang muara utamanya menjadi orang-orang yang benar-benar bertakwa. Berkurban seekor hewan selain kemanfaatan daging untuk dikonsumsi dan dibagikan, tidak kalah pentingnya ialah menjadikan diri setiap Muslim agar menjadi insan bertakwa sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.“ (Qs Al-Hajj [22]: 37).
Orang yang bertakwa ialah Muslim yang taat menjalankan perintah-perintah Allah, menjauhi segala larangan-Nya, serta menjalankan amal kebaikan dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian, melalui Idul Adha dan Ibadah Kurban hendaknya setiap insan Muslim semakin bertakwa baik dalam hubungan dengan Allah (habluminallah) maupun hubungan dengan sesama (habluminannas) yang membuahkan segala kebaikan hidup di dunia menuju kebahagiaan hakiki di akhirat kelak. Wujudkan segala sifat takwa dalam kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan relasi kemanusiaan universal yang berbuah rahmat bagi semesta alam.
Muslim yang beridul-adha dan berkurban dengan khusyuk harus menjadi insan yang shalih, zuhud, dan berjiwa muraqabah atau merasa selalu diawasi Allah. Jadilah Muslim yang senantiasa ikhlas, syukur, sabar, jujur, amanah, adil, ihsan, dan taat kepada Allah serta menjalankan Sunnah Rasulullah. Jadilah insan yang sidiq, amanah, tabligh, fatanah, dan segala kebajikan hidup sebagaimana uswah hasanah Nabi utusan Allah. Sebaliknya, jadilah hamba-hamba Allah yang menjauhi segala larangan-Nya seperti berbuat keburukan, dusta, hianat, dosa, amarah, permusuhan, dan kemunkaran yang dimurkai Allah serta merugikan diri dan lingkungan.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahi al-Hamd Jamaah Shalat Idul Adha Rahimakumullah!
Segenap insan Muslim penting menjadikan Idul Adha dan Berkurban sebagai jalan perubahan menebar kebaikan hidup bagi sesama. Selain menjadikan diri semakin dekat dengan Allah (taqarrub ila Allah) yang membentuk keshalihan diri, dengan Idul Adha dan Berkurban setiap Muslim semakin tergerak berbuat keshalihan bagi sesama. Mari sebarluaskan semangat altruisme yakni kerelaan berkorban bagi kehidupan bersama untuk membangun kebersamaan dalam kehidupan di masyarakat, sesama umat Islam, dan seluruh keluarga bangsa.
Pada suatu hadits disebutkan bahwa Zaid Ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah saw, apakah kurban itu?” Rasulullah menjawab: “Kurban adalah sunahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka bertanya: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan kurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka bertanya lagi: “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” (HR. Ahmad dan Ibn Majah).
Pasca Idul Adha setiap Muslim perlu merayakan solidaritas sosial sebagai budaya dan praksis sosial untuk memberdayakan saudara-saudara yang lemah, mendorong kaum berpunya untuk mau berbagi, dan menebar segala kebajikan dengan sesama yang bersifat melintasi. Budaya dan praksis solidaritas sosial juga disebarluaskan guna menciptakan harmonisasi sosial yang memupuk benih-benih kepeduliaan, keberbagian, toleransi, welas asih, damai, dan saling memajukan yang membawa pada kebajikan hidup kolektif yang luhur dan utama.
Jika di antara muslim ikhlas dan gembira membagikan daging kurban bagi sesama, maka sama artinya gemar membantu sesama yang kekurangan dengan riang hati sebagaimana terkandung dalam spirit Al-Ma’un. Bersama dengan itu Islam juga mengajarkan agar sesama insan ciptaan Allah mesti bersedia saling membantu dan bekerjasama yang dikenal dengan “ta’awun” sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
Artinya “Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.” (Qs Al-Maidah: 2).
Ibnu Katsir mengaitkan ayat Al-Qur’an tersebut dengan hadits Nabi: “unshur akhaka dhaliman aw madhluman”, artinya “Tolonglah sadaramu yang menganiaya dan yang dianiaya” [HR Imam Ahmad (11538) dari Anas bin Malik]. Ketika Nabi ditanya kenapa harus menolong orang yang menganiaya? Rasul menjawab, yang artinya “Engkau larang dia agar tidak berbuat aniaya, begitulah cara kamu menolongnya”. Betapa tegas tapi moderat cara Rasulullah mengajarkan Islam, bahwa dalam menghadapi pihak musuh sekalipun harus senantiasa dimiliki jiwa dan sikap dasar kebajikan. Perbedaan agama, ras, suku bangsa, golongan, pilihan politik, dan keragaman apapun tidak semestinya membuat hubungan antar sesama saling bermusuhan dan terputus silaturahmi.
Dalam hal “ta’awun” dapat dikembangkan sikap lebih positif yaitu membangun kehidupan bersama yang bersifat adil dan ihsan dengan sesama umat manusia. Pada frasa sebelumnya dari Surat Al-Maidah ayat ke-2 itu, disebutkan “wa laa yajrimannakum syanaanu qaumin an shodduukum ‘anil masjidil haraam an ta’taduu”, artinya “Jangan sampai kebencian (mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat aniaya atau melampaui batas (kepada mereka)” (Qs Al-Maidah: 2). Frasa ini mengajarkan sikap adil meskipun kepada pihak yang memusuhi kita, itulah suatu ajaran “ta’awun” yang sangat luhur sebagai landasan ruhani dan moral dalam berhabluminannas dengan sesama.
Jiwa ta’awun dalam Islam paralel dengan ajaran ihsan, yakni kebaikan yang utama. Bahwa karena dekatnya seorang Muslim dengan Allah Yang Maha Rahman dan Rahim maka dirinya menjadi sosok yang shalih dan welas asih secara melintasi untuk berbuat segala kebaikan kepada siapapun tanpa pandang bulu. Salah satu sifat ihsan ialah menghubungkan silaturahim dan tidak memutuskannya. Dalam salah satu hadits Nabi bersabda yang artinya, “Tidak halal bagi seorang Muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu namun yang satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Dan yang terbaik di antara mereka berdua yaitu yang memulai dengan memberi salam.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Melalui ajaran “ta’awun” sebagaimana juga ibadah kurban, hendaknya semakin menanamkan kepedulian terhadap sesama. Mereka yang memiliki rizki dan segala kelebihan dapat membantu dan berbagi terhadap sesama, tidak rakus dan memupuk kekayaan berlebih yang menimbulkan kesenjangan, serta mau memberdayakan mereka yang nasibnya tidak beruntung. Bahwa bumi dan seluruh alam raya ini diperuntukkan untuk seluruh umat manusia dan makhluk ciptaanNya secara merata, tidak untuk satu orang atau golongan saja yang menyebabkan hilangnya keadilan dan kemakmuran bersama.
Islam juga mengajarkan “ta’aruf” yakni saling mengenal antar anak cucu Adam dalam suasana kemajemukan. Bahwa diciptakannya manusia baik laki-laki maupun perempuan, bersuku-suku bangsa, dan bergolongan semuanya untuk saling mengenal satu sama lain, dan mereka yang bertakwalah yang paling mulia di sisi Allah (Qs AlHujarat: 13). Esensi ta’awun dan ta’aruf ialah merajut persaudaraan dan kebersamaan dalam suasana damai, toleran, kasih sayang, dan saling memajukan meskipun dalam suasana perbedaan. Sebaliknya menjauhkan diri dari pertikaian, kebencian, permusuhan, serta segala hal yang merusak dan merugikan dalam hubungan antarsesama.
Pasca Idul Adha dan berkurban setiap Muslim secara individu dan kolektif niscaya menjadi suri teladan dalam merekat persaudaraan, saling membantu, tolong menolong, kebersamaan, dan keutuhan hidup bersama sesama umat manusia di manapun berada. Perbedaan agama, golongan, suku bangsa, kedaerahan, pilihan politik, dan keragaman latarbelakang lainnya jangan merusak jalinan solidaritas sosial yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim. Inilah bentuk uswah hasanah Muslim dan umat Islam hasil dari Idul Adha dan ibadah kurban.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahi al-Hamd Jamaah Shalat Idul Adha Rahimakumullah!
Bersamaan dengan ibadah Idul Adha saat ini kaum Muslimin dari berbagai negara termasuk dari Indonesia tengah menunaikan ibadah haji. Kita do’akan agar saudara-saudara seiman itu dapat menyelesaikan prosesi haji dengan paripurna, diberi kemudahan dan keberkahan, serta kembali ke tanah air dengan selamat dan meraih haji mabrur. Kita mendambakan semakin banyak yang telah menunaikan haji, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya yang dituntunkan Islam kian terwujud keshalihan dan kebaikan dalam kehidupan umat Islam, sehingga umat Islam menjadi umat terbaik atau khaira ummah serta mewujudkan rahmatan lil-‘alamin.
Kita juga mendo’akan agar saudara-saudara di tempat manapun yang kini tengah sakit dan musibah diberi kesembuhan dan jalan kemudahan oleh Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Semoga kita yang menunaikan shalat Idul Adha hari ini menjadi insan Muslim yang semakin istiqamah dalam menjalani kehidupan dengan fondasi iman yang kokoh, ibadah yang khusyuk dan bermakna, ilmu yang luas dan mencerahkan, serta amal shalih yang yang menebar kebajikan dan rahmat bagi semesta alam.
Marilah di akhir khutbah Idul Adha ini kita bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan khusyuk dan penuh pengharapan, agar ibadah kita diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta hidup kita meraih kebaikan hakiki di dunia dan akhirat dalam rengkuhan ridha dan karunia-Nya.
DR H Haedar Nashir, MSi, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah