YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Adalah Hyung Jun Kim, Guru Besar Antropologi pada Kangwon National University, Korea Selatan, mengatakan bahwa sistem yang dibangun di Muhammadiyah sungguh ideal. Hal ini diungkapkan saat ia menjadi pembicara dalam Majelis Reboan ke tiga di aula Gedoeng Moehammadijah Jl Ahmad Dahlan pada Rabu, 31 Juli 2019.
Lebih jauh lagi, Kim mengutarakan bahwa Negara pun patut belajar pada Muhammadiyah. Selain sistemnya yang rapi, Muhammadiyah juga sangat mengutamakan aspek keikhlasan. Ikhlas menjadi kekuatan bersama. Hal ini memberikan dampak pada kecilnya peluang untuk berlaku koruptif, kolitif, dan nepotisme di dalam tubuh Muhammadiyah.
Sistem kolegial di Muhammadiyah sangat menonjol. Semua keputusan harus melalui musyawarah. Tradisi ini telah mengakar sejak lahirnya persyarikatan pada abad yang silam. Jika telah menjadi putusan bersama, semua warga persyarikatan sami’na wa atha’na. Di lain sisi, hal semacam ini didukung oleh sikap egaliter para pimpinan sehingga dinamika organisasi tidak begitu tampak dari luar.
Melihat gejala di Muhammadiyah dari waktu ke waktu sejak lahirnya hingga kini, Kim memperkirakan Muhammdiyah akan terus eksis sampai batas waktu yang sangat panjang namun lempeng. Menurut Kim, perubahan besar sulit diterapkan di Muhammadiyah selama pikiran-pikiran yang baru tidak diberi angin segar.
Sesungguhnya perubahan demi perubahan telah terjadi di Muhammadiyah hingga kini. Muhammadiyah sebelum tahun 1950an, khususnya Muhammadiyah awal, ada semacam kelompok “darah biru” karena faktor masih terbatasnya anggota di kalangan sekitar KH Ahmad Dahlan. Namun pada periode tahun setelahnya, siapapun bisa menjadi pimpinan di Muhammadiyah sesuai dengan aturannya tanpa harus adanya “darah biru”.
Dulu pimpinan dan anggota di Muhammadiyah banyak dari golongan pengusaha, namun setelah itu bergeser menjadi banyak dari kalangan pegawai, bahkan bergeser lagi dari pegawai negeri ke pegawai amal usaha. Kemudian dari kyai ke intelektual, dan seterusnya. Perubahan-perubahan ini menuntut pemikiran untuk menjawab tantangan Muhammadiyah ke depan.
Kim mengakui bahwa ia belum pernah menemukan kelompok Islam manapun yang sungguh-sungguh konsisten dengan sistem kepemimpinan kolektif kolegial selain Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah cukup senang dengan aturan. Semua ada aturannya. Namun di sisi lain, hubungan personal antar pimpinan menjadi seolah-olah hanya hubungan formal.
Akhirnya, sebuah penilaian paradoks datang dari seorang Guru Besar Antropologi ini, ada semangat besar untuk perubahan dan tajdid di Muhammadiyah, tetapi kondisi yang menghalangi melaksanakan tajdid itu adalah kondisi ideal yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah sejak berdirinya. (Erik Tauvani)