Sesungguhnya siapa saja yang mencintai seseorang karena orang tersebut memberinya sesuatu, maka dia tidaklah mencintai selain pemberian itu. Dan siapa yang mengatakan bahwa dia mencintai orang yang memberinya itu karena Allah, maka ini merupakan sebuah kedustaan, kemustahilan, dan ucapan dosa.
Demikian pula seseorang yang mencintai orang lain karena orang itu menolongnya, maka dia hanyalah mencintai pertolongan tersebut, bukan mencintai orang yang menolongnya itu. Dan ini semua termasuk mengikuti keinginan nafsu karena hakekatnya dia tidak mencintai kecuali hal-hal yang sampai kepadanya berupa manfaat yang diraih atau tertolaknya keburukan, jadi dia hanyalah mencintai manfaat dan tertolaknya keburukan tersebut, dan dia mencintai hal itu hanyalah karena sebagai sarana untuk mendapatkan sesuatu yang dia cintai, dan yang semacam ini bukanlah kecintaan karena Allah dan bukan pula kecintaan kepada orang yang katanya dia cintai itu.
Nasehat di atas telah ditulis Ibnu Taimiyah ratusan tahun yang lalu dan masih cukup populer di kalangan umat Islam. Pada hari ini, nasehat tentang cinta ini nampaknya cukup relevan untuk kita kaji.
Secara garis besar, nasehat ini mengingatkan kita bahwa manusia itu pada hakikatnya terlalu mudah diperdaya oleh kepentingannya sendiri. Termasuk dalam hal membedakan hal yang baik dan buruk. Kepentingan kita itu sendiri timbul karena dorongan nafsu dan keinginan pada sesuatu yang sering tersamarkan dan dikemas karena cinta kita pada Allah SwT. Seperti keinginan kita untuk bisa segera berhaji sehingga memanipulasi data kependudukan, apakah semua tindakan itu karena cinta kepada Allah atau karena apa. Hanya diri kita sendiri yang melakukan hal itu yang tahu.
Kita akan cenderung menganggap yang sesuai dengan kepentingan kita sebagai sesuatu yang baik, menganggap yang tidak sesuai dengan kepentingan kita sebagai hal yang buruk.
Akan tetapi, di era revolusi 4.0 sekarang ini kepentingan dan nafsu orang lain dengan sangat mudah ditelusupkan ke dalam keinginan kita. Kita yang sebenarnya kurang mengetahui tentang apa yang telah dilakukan seseorang itu, tiba-tiba bisa menjadi sangat membenci orang itu karena setiap hari dijejali kabar yang buruk tentang orang itu. Demikian juga sebaliknya. Kita menjadi sangat menyukai seorang tokoh padahal kita tidak tahu prestasinya.
Kadang, karena ada sesuatu yang menarik di dalam kabar yang kita terima itu kita pun tergoda ikut menyebarluaskan kabar yang kita sendiri tidak tahu derajat kebenarannya itu. Kalau hal itu kita lakukan, sesungguhnya kita telah terjebak di dalam perangkap permainan orang-orang yang memproduksi kabar itu. Kita telah menjadi alat mereka. Kalau kabar itu palsu kita bisa memastikan orang itu pasti bertujuan buruk.
Di era revolusi 4.0 dengan sangat mudah kita menjadi korban dan menjadi alat untuk saling sikut dan saling gempur dengan sesama tanpa sempat mengetahui kebenaran yang kita bela dan kejahatan yang kita musuhi. Karena kebenaran dan kebatilan itu juga sangat mudah untuk dimanipulasi. Cinta dan benci yang bertalian dengan kepentingan itu dapat dibentuk dalam sekejap.
Sebagai ilustrasi ada seorang tokoh yang pada hari Senin dipuja dan dicitrakan seperti manusia sempurna pada hari Rabu dicaci maki oleh para pemujanya itu sendiri.
Saat dia berada dalam satu barisan tertentu, tidak ada satu manusia pun yang bersuara tentang kekurangannya, namun ketika dia mengibarkan bendera yang berbeda, semua sangkaan tentang kejahatan di masa lalunya diobral dan dicari-cari lagi. Seorang ulama yang pada hari Senin dipuji sebagai waratsul ambiya’ di hari berikutnya digelari sebagai ulama syu’ oleh kelompok yang sama.
Oleh karena itu, di masa disrupsi ini, ada baiknya kita merenungkan ulang nasehat Ibu Taimiyah di atas. Saat kita memutuskan untuk memuji atau memaki seorang tokoh, apakah itu karena Allah, karena kepentingan kita, atau karena kebodohan kita semata?
—
Tuisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16 Tahun 2018