Hukum Merayakan HUT Republik Indonesia

Hukum Merayakan HUT Republik Indonesia

Ilustrasi Bendera RI

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr wb

Apa hukum merayakan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia dalam hukum Islam, terutama upacara dan sejumlah hal lainnya? Ada yang berpendapat bid’ah tapi ada yang mengatakan itu hanya adat. Bagaimana Muhammadiyah dan kita yang sebagai tokoh masyarakat menjelaskan itu kepada masyarakat luas, khususnya Muslim?

Wassalamu ‘alaikum wr wb Danu Aris, danuaris**@gmail.com

(disidangkan pada Jum’at, 3 Zulhijah 1438 H / 25 Agustus 2017 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus salam wr wb

Terima kasih atas kepercayaan yang saudara berikan kepada Majelis Tarjih dan Tajdid untuk menjawab pertanyaan yang saudara ajukan.

Dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, ada empat hal mendasar dalam ajaran Islam yang perlu dipahami, yaitu akidah, akhlak, ibadah dan muamalah duniawiyah. Akidah adalah pokok-pokok ajaran agama yang harus diyakini oleh umat Islam sebagai konsekuensi atas keimanannya. Secara ringkas, persoalan akidah ini terangkum dalam rukun iman yang berjumlah enam. Dalam hal ini, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid‘ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.

Sementara akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang dari sifat tersebut timbul suatu perbuatan dengan mudah/gampang tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Dalam hal ini, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.

Adapun ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan jalan menaati segala perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah. Dalam hal ini ibadah terbagi menjadi dua macam, yaitu ibadah umum dan ibadah khusus (mahdhah). Ibadah umum adalah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. Sedangkan ibadah khusus (mahdhah) adalah jenis ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah secara rinci, baik tata cara maupun formatnya. Majelis Tarjih dan Tajdid meyakini bahwa bid‘ah dapat terjadi pada dua bidang, yaitu akidah dan juga ibadah khusus (mahdhah), sehingga segala hal yang berhubungan dengan akidah dan ibadah khusus harus berdasarkan kepada dalil yang maqbul. Ini didasarkan pada beberapa dalil, baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah saw, di antaranya,

Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Qs Ali ‘Imran [3]: 31).

Dari ‘Aisyah ra (diriwayatkan), ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak ada perintahnya, maka perkara tersebut tertolak [HR Al-Bukhari].

Dalam persoalan ibadah khusus bahkan terdapat kaidah fikih yang menyebutkan,

Hukum asal ibadah adalah haram (sampai ada dalil yang memerintahkannya).

Adapun dalam hal muamalah, istilah bid‘ah ini tidak berlaku. Muamalah sendiri adalah segala hal atau perkara yang berhubungan dengan urusan duniawi. Merayakan hari ulang tahun kemerdekaan dalam hal ini dapat dikategorikan ke dalam bidang muamalah, sehingga pada dasarnya ia diperbolehkan, asalkan di dalam media yang digunakan untuk merayakan tidak melanggar aturan agama dan norma sosial. Sebagaimana Hadits Nabi saw,

Dari Anas (diriwayatkan), ia berkata: Pada masa Rasulullah baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang. Rasulullah kemudian bertanya: Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini? Warga Madinah menjawab: Pada dua hari raya ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang. Maka Rasulullah bersabda: Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri [HR. Abu Dawud].

Dalam memahami hadits tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa larangan Nabi untuk membuat perayaan hari raya pada hari tertentu berlaku pada perayaan-perayaan yang terkait dan atau diyakini sebagai ibadah. Apabila perayaan tersebut tidak terkait dengan ibadah, maka kami memandang itu sebagai bagian dari muamalah, sehingga hukum asalnya adalah boleh, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Kaidah fikih menyebutkan,

Hukum asal dalam permasalahan muamalah adalah mubah (boleh), tidak dilarang kecuali yang diharamkan oleh Allah.

Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehannya.

Segala perkara tergantung niatnya.

Termasuk yang dibolehkan dalam hal ini adalah pelaksanaan upacara sebagai salah satu bentuk refleksi atas perjuangan para pahlawan yang telah mampu mengibarkan merah putih sebagai tanda kemerdekaan. Dengan demikian, menurut kami hormat kepada bendera ketika melaksanakan upacara juga bukan merupakan bentuk penyembahan (li al-ta‘abbud), melainkan sekadar wujud penghormatan (li al-ihtiram) kepada jasa para pahlawan yang telah mengorbankan seluruh jiwa raga demi kemerdekaan Indonesia. Atas dasar itulah kami berpendapat bahwa hormat kepada bendera bukan termasuk sesuatu yang dilarang dalam agama. Namun demikian yang perlu diperhatikan terkait upacara bendera dalam rangka merayakan kemerdekaan secara umum atau dalam upacara-upacara lain secara umum antara lain adalah pakaian yang dikenakan para petugas upacara seperti paskibra (pasukan pengibar bendera). Para paskibra ini hendaknya memakai busana yang sopan dan menutup aurat.

Hal-hal lain yang diperbolehkan juga berlaku pada tradisi atau adat-adat yang dilakukan di tengah masyarakat menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia, dalam bentuk perayaan yang sifatnya mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur membela tanah air. Apalagi jika dalam acara tersebut diisi dengan kegiatan-kegiatan positif dan bermanfaat, seperti pengajian, ceramah kebangsaan dan penanaman nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme kepada para pemuda. Namun, apabila dalam perayaan kemerdekaan diisi dengan acara yang tidak selaras atau bertentangan dengan syariat dan juga norma sosial, maka perayaan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang sia-sia atau bahkan dilarang. Dalam hal ini Rasulullah memperingatkan umatnya agar meninggalkan perbuatan yang sia-sia.

Dari Abu Hurairah ra (diriwayatkan), ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya di antara ciri baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna (sia-sia) [HR. Ibnu Hibban, Syu’aib Al-Arna’uth menilai hadits ini hasan lighairih].

Bahkan Al-Qur’an menyebut salah satu ciri Mukmin yang sesungguhnya adalah mereka yang mampu menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak berguna.

Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (Qs Al-Mu’minun [23]: 3).

Selain itu yang juga perlu diingat adalah jangan sampai perayaan HUT RI yang dilakukan terjerumus pada perilaku israf (berlebih-lebihan) dan mubazir, yang justru akan menodai makna kemerdekaan itu sendiri. Dalam Al-Qur’an, Allah SwT telah melarang perilaku-perilaku tersebut:

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (Qs Al-A’raf [7]: 31).

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (Qs Al-Isra’ [17]: 27).

Di sinilah peran saudara sebagai tokoh masyarakat untuk melakukan edukasi kepada masyarakat di tempat anda tinggal, bahwa perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia seyogyanya diisi dengan acara-acara yang positif dan edukatif, agar komitmen dan rasa nasionalisme warga masyarakat sekitar anda dapat meningkat. Hal yang perlu diperhatikan juga bagi saudara dan tokoh masyarakat yang lain di antaranya adalah tentang pemilihan jenis lomba yang diadakan dalam menyambut perayaan hari kemerdekaan. Perlombaan yang diselenggarakan harus dijauhkan dari hal-hal yang dilarang dalam agama, seperti judi dan taruhan. Allah SwT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (Qs Al-Maidah [5]: 90).

Selain itu, yang tidak kalah penting, perlombaan yang diadakan seyogyanya adalah lomba-lomba yang secara esensi dapat membentuk generasi muda agar menjadi manusia yang berkarakter, bukan lomba-lomba yang sekadar bersifat hura-hura, tidak mendidik dan jauh dari nilai-nilai luhur bangsa maupun agama.

Demikian penjelasan dari kami, semoga dapat menjawab pertanyaan saudara.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16 Tahun 2018

Exit mobile version