JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah bertema “Muhammadiyah dan Kemerdekaan Indonesia” digelar pada Jumat, 9 Agustus 2019. Pengajian di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta ini diberi pengantar oleh Ketua PP Muhammadiyah Prof Syafiq A. Mughni dan ditutup oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu’ti. Hadir sebagai narasumber: Mantan Ketua MK Prof Jimly Asshiddiqie, Sejarawan Muhammad Yuanda Zara PhD, dan Dekan FKIP Uhamka Dr Desvian Bandarsyah.
Ketua PP Muhammadiyah Prof Syafiq Mughni menjabarkan beberapa peranan Muhammadiyah. Pertama, berjasa dalam membentuk moral. Mengutip pernyataan salah seorang sastrawan, “Tegaknya umat atau bangsa adalah karena akhlaknya. Selama akhlaknya baik, maka bangsa atau umat tersebut akan tetap tegak. Tetapi apabila hancur akhlaknya, hancur pulalah bangsa tersebut.” Menurutnya, zaman bergerak maju, ilmu pengetahuan berkembang, tetapi tidak selalu berbanding lurus dengan aspek moral.
Kedua, peran tokoh-tokoh seperti Ki Bagus Hadikusumo yang menghasilkan agreement bersama. “Kita tidak bisa membayangkan, jika Ki Bagus Hadisukusumo tidak hadir, apa yang akan terjadi pada waktu itu,” ulas Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban. Ketiga, Muhammadiyah membangun budaya positif di masa depan. Budaya demokrasi dan egaliter sejak awal tumbuh dan berkembang di Muhammadiyah.
Syafiq Mughni menyatakan bahwa dengan berpijak pada peranannya itu, Muhammadiyah mengusung tema muktamar ke-48 tahun 2020 di Surakarta: Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta. “Peran Muhammadiyah memajukan Indonesia supaya tidak tertinggal dari negara-negara yang lain. Mencerahkan semesta sesuai dengan situasi dunia hari ini yang sedang disruptif.” Muhammadiyah harus terus berpartisipasi dengan resourses yang dimiliki untuk meningkatkan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan.
Ketua ICMI Jimly Asshiddiqie menyebut Muhammadiyah berjasa menghantarkan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan hingga kini berusia 74 tahun. Muhammadiyah mempersiapkan masyarakat civil society seperti yang dilakukan oleh Nabi di Madinah. “Mendirikan negara dimulai dari mendirikan kekuatan civil society, kekuatan masyarakat madani,” ulasnya. Dikenal sebagai masyarakat kota dan urban.
Kekuatan sipil inilah yang menyumbang konstribusi dan menjaga keseimbangan. “Di Indonesia (sejak 1900-an) ini banyak sekali ormas, baru di kemudian hari mendirikan negara. Sangat jauh berbeda dengan di Barat, ormas itu datang belakangan, di abad ke-15, abad ke-16. Semua NGO itu afiliasinya ke partai,” ungkapnya.
Jimly menyebut tokoh Muhammadiyah semisal Bung Karno, Fatmawati, Kasman, Ki Bagus, Djuanda, Soedirman, Mohammad Roem. “Tugas kita belum selesai. Harus terus menyumbang untuk negeri,” ujarnya.
Ki Bagus Hadikusumo, kata Jimly, berperan dalam pencoretan tujuh kata di Piagam Jakarta. Dari tujuh kata ini muncul masalah hingga hari ini, terutama bagi pihak yang memelihara kekecewaan. Wacana NKRI Bersyariah belakangan ini disebut muncul dari sini. Menurutnya, Indonesia merupakan negara kesepakatan (darul ahdi). “Kita harus bersepakat bahwa NKRI sudah final.”
Jimly mengingatkan bahwa Al-Quran mengajarkan tentang pentingnya menepati janji. “Sekali sudah berjanji, meskipun janji itu susah payah atau tidak puas, tapi kalau sudah disepakati wajib setia,” katanya. Sebagai contoh pentingnya menetapi janji, Jimly menyebut tentang Perjanjian Hudaibiyah di masa Nabi.
Menurut Jimly, dalam Perjanjian Hudaibiyah juga dilakukan pencoretan tujuh kata, terjadi pencoretan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” di awal dan kata “Muhammad Rasulullah” diganti menjadi “Muhammad bin Abdullah” di bagian akhir naskah. Justru yang mengubah adalah Nabi sendiri.
Kita bernegara harus memperlakukan semua warga secara sama. Semua agama juga perlu taat menjalankan ajaran agamanya. Menurutnya, negara telah memberikan ruang yang luas bagi umat Muslim untul menjalankan agama. Bahkan, terdapat sejumlah undang-undang yang memudahkan umat Muslim menjalankan syariat Islam seperti UU Zakat, UU Haji, UU Perkawinan.
“Jadi tidak usah lagi menarasikan yang menimbulkan salah paham. Misalnya NKRI bersyariah. Itu menimbulkan salah paham. Itu tidak usah. Dijalankan saja apa yang ada. Semua yang dijalankan umat Islam sehari-hari dalam negara kesatuan ini kan syariat juga,” ujarnya. Daripada berpolemik tentang NKRI bersyariah, Jimly mengajak untuk menjiwai dan menjalankan Pancasila dengan sebaik-baiknya.
Dekan FKIP Uhamka Dr Desvian Bandarsyah menguraikan tentang pentingnya kesadaran sejarah bagi warga bangsa. “Dalam semesta pembangunan Indonesia, sejarah itu menjadi benda yang hilang. Karena tidak paham sejarah, kita sering terjatuh pada lubang yang sama berkali-kali. Kata pepatah, mereka yang terperosok di lubang yang sama itu seperti keledai.”
Desvian mengingatkan bahwa memori kolektif tentang masa lalu penting untuk dijaga kesinambungannya. Para tokoh bangsa perlu dihadirkan dan dijiwai semangatnya dalam kehidupan sehari-hari. “Kata Soekarno: jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.” Tanpa sejarah, kita tidak tahu bahwa sebagian besar batu bata pondasi kemerdekaan dibangun oleh Muhammadiyah.
Sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta Muhammad Yuanda Zara, menyatakan bahwa Muhammadiyah berperan menumbuhkan bibit kemerdekaan. Kemerdekaan sebagai sebuah konsep yang akarnya sudah muncul sejak 1920-an di era kebangkitan nasional. “Bibit kemerdekatan sudah dibangun Muhammadiyah sejak 1920-an, bahkan sejak sebelumnya. Landasannya adalah negara modern, dengan pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial.”
Selain membangun sekolah modern, Yuanda menyebut semisal peran literasi publik melalui Majalah Suara Muhammadiyah yang terbit sejak tahun 1915. “Tahun 1960-an, majalah SM bicara Neil Amstrong di bulan, bicara sains.” Majalah ini dianggap penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga melahirkan generasi muslim terpelajar, yang nantinya memiliki kesadaran nasionalisme yang tinggi.
Tentang penggunaan Bahasa Indonesia, Majalah Suara Muhammadiyah sudah memperkenalkan dan menggunakan Bahasa Melayu sejak 1920-an, sebelum Sumpah Pemuda tahun 1928. Pada peringatan Hari Pers Nasional 2018, Majalah SM dianugerahi penghargaan untuk kategori “Kepeloporan sebagai Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan RI dalam Bahasa Indonesia”.
Muhammadiyah, kata Yuanda, juga menyatukan Indonesia lewat agenda kongres (sekarang disebut muktamar). “Kongres merupakan tempat orang bertemu dari seluruh suku bangsa, ketika bertemu, menggunakan bahasa Melayu. Yuanda menyebut contoh, kongres ke-12 tahun 1923 di Yogyakarta dihadiri oleh perwakilan Sumatera. “Ini tidak wajar di tahun ketika pesawat terbang belum lumrah, ketika orang berbicara dengan bahasa ibu, dan ketika bangsa Indonesia belum ada.”
Muhammadiyah memperkenalkan peta geografi dan peta sosio-kultural Hindia Belanda (cikal Indonesia). Muhammadiyah berperan dalam ranah pemikiran dan sosial kemanusiaan. PB Muhammadiyah juga pernah mengeluarkan Amanat Jihad Muhammadiyah pada 28 Mei 1946, yang diterbitkan oleh Surat Kabar Boelan Sabit pada 15 Juni 1946.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengajak warga Muhammadiyah untuk bersyukur karena Muhammadiyah telah melewati usia 110 menurut perhitungan tahun Hijriyah, pada 8 Dzulhijjah 1440 H/9 Agustus 2019 M. Di usia yang semakin matang, Muhammadiyah diharapkan dapat terus berdedikasi pada umat, bangsa, dan kemanusiaan universal.
Mu’ti menguraikan tentang pemahaman tauhid yang menjadi landasan dan menggerakkan Muhammadiyah untuk memiliki jiwa nasionalisme. “Di tangan Muhammadiyah, tauhid yang murni mampu menggerakkan untuk meraih kemerdekaan. Tidak hanya dipahami dalam dimensi teologis, tetapi juga dalam dimensi sosiologis, dan dimensi politis.” Tauhid yang dipahami Muhammadiyah juga menghasilkan teologi pembebasan.
Kesadaran tauhid yang murni ini dianggap penting menjiwai gerak Muhammadiyah. Mengutip cendekiawan Nurcholish Madjid, Mu’ti menyebut bahwa tantangan umat manusia di masa depan bukan ateisme, tetapi politeisme. Bukan tidak menyembah Tuhan, tetapi menyembah banyak Tuhan, menyembah dirinya sendiri, menuhankan benda-benda. (ribas)