Oleh: Dani Fadillah
Fan Changjiang, adalah seorang jurnalis dari negeri tirai bambu yang telah banyak berkorban untuk negaranya. Tidak hanya berjuang untuk negaranya dengan jalan hidupnya sebagai seorang jurnalis, bahkan dia turut berjuang angkat senjata demi negaranya dalam perang melawan militer Jepang yang mendarat di China pada tahun 1930-an
Perjuangan jurnalistik dan perjuangan angkat senjatanya membuat namanya sangat terkenal dan menjadikannya seolah-olah pahlawan bagi rakyat China saat itu. Namun sayang pilihan politik yang berbeda dan menguatnya kekuatan politik Gong Chan Zhu Yi(共产主义)yang dipimpin oleh Mao Zedong membuatnya harus tersingkir dan mengalami pembunuhan karakter yang membuat seolah semua perjuangannya selama ini tidak berarti.
Fan Changjiang memilih untuk berada dalam barisan oposisi, dia menjadikan Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kasisek sebagai jalan politiknya dan harus membuatnya tersingkir dari kantor berita Ta Kung Bao, tempatnya mengabdi untuk rakyat selama ini. Tidak cukup sampai disitu, kondisi yang terus menekannya membuatnya harus mengikuti Chiang Kaisek pindah ke Taiwan dan dia pun dituduh melakukan tindakan melawan negara oleh pemerintahan Gong Chan Zhu Yi yang berkuasa di China daratan. Tidak sedikit pihak yang menyayangkan nasib yang menimpa Fan Changjian tersebut, namun mereka tidak bisa memberikan pembelaan terhadapnya karena harus berhadapan langsung dengan partai penguasa.
Kejadian tersebut harusnya bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Pertama; Setiap anak bangsa pada dasarnya memiliki rasa cinta terhadap tanah air dengan caranya masing-masing, tidak harus sama dengan pihak lainnya, yang penting dengan caranya bisa membuktikan bahwa dia bersedia melakukan sesuatu yang baik untuk bangsanya. Hingga tidak elok jika ada sekelompok pihak yang ingin mendikte bagaimana seseorang harus berjuang karena dianggap tidak sesuai dengan jalan hidup mereka, sebagaimana adanya pihak-pihak yang mengkritik Fan Changjiang dengan beranggapan untuk apa jurnalis angkat senjata. Bentuk cinta dan bela negara tidak bisa dimonopoli oleh kelompok mana pun, dalam konteks bernegara kita saat ini tidak pantas jika ada pihak-pihak yang paling merasa cinta NKRI dan merasa paling tahu bagaimana bela negara itu seharusnya.
Kedua; jangan sampai ada anak bangsa yang terusir dari tanah airnya dan diperlakukan diskriminatif, dikriminalisasikan, diberitakan layaknya penghianat dan seolah menjadi musuh masyarakat hanya karena dia berbeda pilihan politik atau dekat dengan sosok lain yang merupakan rival dari penguasa, layaknya Fan Changjiang yang harus terusir dari China Daratan karena lebih dekat dengan Chiang Kasisek bukan dengan Mao Zedong.
Tidak sejalan dengan pilihan politik penguasa bukan berarti tidak cinta dengan negara, karena penguasa juga memerlukan kontrol. Maka mengkritik penguasa itu tidak sama dengan menghina negara. Dan condong pada oposisi itu bukan berarti dia melakukan makar. Namun itulah bagaimana jalan yang dipilihnya untuk menjaga keutuhan tanah airnya. Dalam konteks bernegara saat ini jangan sampai ada warga negara yang mengalami hal sebagaimana nasib Fan Changjiang saat itu. Dimana jasa-jasanya dalam tiap lembaran berita yang digoreskannya dan tumpah darahnya di medan perang seolah tidak dianggap hanya karena dia berseberangan pandangan dengan partai penguasa, terusir dari tanah air yang dibelanya dengan mempertaruhkan nyawa.
—
Dani Fadillah, Dosen Ilmu Komunikasi UAD. Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi dan Jurnalistik di Nanjing Normal University, RRC. Sekretaris Umum PCIM Tiongkok Regional Nanjing 2018-2020.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2019