Meskipun terhenti di semifinal, Piala Dunia 2018 merupakan panggung bagi Belgia. Sepakbola memiliki makna tersendiri bagi negara bagian barat Eropa ini. Negara dengan 11 juta penduduk tersebut layaknya sebuah komunitas imajiner yang dipaksakan. Masyarakat Belgia dikenal sebagai salah satu bangsa yang paling rendah rasa nasionalismenya. Sebuah nestapa negara yang lahir sebagai anak haram dari penyatuan dua dinasti, Valois-Burgundy dan Habsburg.
Belgia yang terbentuk pada 1830 ini terbagi dua. Flanders di bagian utara, berbatasan dengan Belanda dan Wallonia di bagian selatan, bersinggungan dengan Perancis. Selain karena faktor geografis, keterbelahan mereka lebih karena sistem pemerintahan, politk, budaya, dan bahasa. Orang Flanders ialah keturunan Germania (Eropa Utara), sementara penduduk Wallonia memiliki nenek moyang orang Roman (Eropa Selatan).
Tanpa bahasa ibu, timnas Belgia menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa universal. Kevin de Bruyne, Thomas Vermaelen, Jan Vertonghen, yang berasal dari Flanders biasa berkomunikasi dengan bahasa Belanda. Eden Hazard, Axel Witsel, Thibaut Courtois, Simon Mignolet, Nacer Chadli, Thomas Meunier, dari wilayah Wallonia terbiasa menggunakan bahasa Perancis. Sepakbola merekatkan nasionalisme dan jati diri mereka untuk sementara waktu.
Nasib berbeda, Bangsa Indonesia dengan jumlah lebih dari 260 juta penduduk memiliki bahasa ibu yang menyatukan. Guru besar sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, Ahmad Syafii Maarif menyebut bahwa faktor kesamaan bahasa (Melayu) menjadi alat pemersatu perjuangan merebut kemerdekaan di era 1920-an. Perjuangan segenap tumpah darah Indonesia itu menggapai buah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia…” Teks pendek ini memiliki makna mendalam. Dengan penuh percaya diri dan optimisme, Soekarno-Hatta menyebut diri sebagai bangsa. Sebuah pilihan kata yang tidak kebetulan. “Bangsa” memiliki dua makna: rakyat (people) dan nation. Rakyat sering diasosiasikan sebagai orang-orang kecil yang menderita di luar kekuasaan.
Bermula dari itu, sebuah bangsa hadir, membawa euforia ke seluruh penjuru tanah ibu pertiwi. Negara Kesatuan Republik Indonesia menyatukan banyak entitas. Di dalamnya ada unsur Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, Budha, juga aliran kepercayaan. Ada unsur Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua. Unit-unit itu melebur dalam kesatuan yang universal. Dan Pancasila merupakan endapan yang digali dari semua unsur itu.
Setelah merdeka, perjuangan bukan berarti selesai. Indonesia merupakan bangsa yang masih dalam proses menjadi. Proklamasi adalah awal untuk mewujudkan citacita kemerdekaan yang disepakati bersama. Dar al-ahdi wa al-syahadah yang dirumuskan Muhammadiyah memiliki konsekuensi bahwa segenap elemen bangsa yang ditakdirkan lahir di bumi Indonesia, punya kewajiban untuk mengabdikan diri bagi bangsa ini. Pengabdian adalah bakti nasionalisme. Islam sebagai entitas agama mayoritas yang menjadi penyokong utama kemerdekaan, masih memiliki kewajiban untuk memajukan bangsa.
Mohammad Natsir pernah berpolemik dengan Soekarno perihal nasionalisme. (Soekarno menuliskan artikel “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”). Natsir menyebut bahwa nasionalisme merupakan bentuk dari ashabiyah (kesukuan). Padahal Nabi Muhammad diutus dalam rangka menghapuskan ashabiyah yang menjadi budaya jahiliyah.
HOS Tjokroaminoto, pada 24 Mei 1929, menuliskan artikel di koran Fadjar Asia. Di antara isinya, “Apabila patriotisme (adalah sumber dari nasionalisme) merupakan sifat mencintai negeri dan tanah tumpah darah kita, maka Nabi kita Muhammad saw itulah patriot dan nasionalis terbesar yang pernah ada di antara umat manusia.” (ribas)