Indonesia di Bawah Bendera Nasionalisme

Indonesia di Bawah Bendera Nasionalisme

Karyawan PT Freeport Indonesia dari Papua yang diputus kontrak secara sepihak beraudiensi dengan PP Muhammadiyah Jakarta

“Kami Indonesia. Kami Dijajah di Negeri Sendiri. Kami Korban PHK PT Freeport.”

Demikian di antara aksara hitam di latar kain putih, yang dibentangkan di depan Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta pada Selasa, 31 Juli 2018. Mereka adalah para karyawan yang diberhentikan sepihak oleh PT Freeport Indonesia. Setelah berlayar selama 10 hari dari Timika Papua, ratusan manusia pencari keadilan ini beraudiensi dengan PP Muhammadiyah. Berharap organisasi sosial-kemasyarakatan yang punya keberpihakan pada mustadl’afin ini bisa ikut membantu dan menjembatani penyelesaian persoalan yang dihadapi.

Tiga baris kalimat dalam spanduk tersebut cukup membuat kita terbelalak. Benarkah kita sedang di masa penjajahan? Apakah kita masih merasa sebagai satu bangsa yang telah memproklamirkan kemerdekaan? Pertanyaan semisal itu terus bergelayut, dan membawa kita jauh ke masa Operasi Militer atau Operasi Jaring Merah di Aceh. Kalimat semisal itu sering digaungkan oleh para tokoh masyarakat di sana, “Kita dijajah oleh Jakarta.”

Aceh dan Papua adalah propinsi di ujung Indonesia. Sebuah negara kesatuan yang menghimpun berbagai entitas suku, bahasa, agama, etnik dan sebagainya. Indonesia merdeka merupakan buah dari perjuangan bersama segenap elemen bangsa. Kemerdekaan Indonesia lahir dari proses perjuangan panjang, bukan pemberian, dan apalagi sekadar hadiah percuma dari bangsa penjajah.

Kita perlu merenung kembali tentang nasionalisme. Setelah puluhan tahun merdeka, Indonesia masih dalam proses menjadi. Cita-cita kemerdekaan belum sepenuhnya terpenuhi. Nasionalisme Indonesia merupakan hasil bentukan. Berawal dari sebuah kesadaran akan identitas dan tujuan bersama, sebagai hasil konstruksi karena pengalaman penderitaan dan diskriminasi oleh bangsa kolonial. Penjajahan panjang oleh Belanda dan Jepang telah menyatukan kita dalam sebuah komunitas imajiner bangsa Indonesia.

Pada mulanya, kita adalah entitas yang partikular. Terbagi dalam kerajaan-kerajaan kecil yang saling merebut kuasa. Saling menaklukkan. Kedatangan bangsa penjajah menyadarkan bahwa kita ini sama, senasib, dan punya tanah yang membuat banyak mata silau dengan kandungannya yang aneka dan kaya. Kesadaran ini menjadi awal mula, menggerakkan pribumi untuk mengusir mereka yang telah berkuasa atas tanah air kita.

Sebagai sebuah ideologi bentukan dan sebagai negara yang berproses menjadi, maka nasionalisme Indonesia masih perlu terus diperjuangkan. Benedict Anderson dalam Indonesian Nationalism: Today and in the Future, menyatakan bahwa nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwariskan dari masa lampau, namun merupakan sebuah proyek bersama (common project) untuk saat ini dan masa depan. Proyek itu membutuhkan pengorbanan pribadi, bukan mengorbankan orang lain. Demi kebebasan dan kebahagiaan di masa depan para sesamanya. Pengorbanan demi kepentingan yang lebih besar.

Soekarno (Dok Istimewa)

Nasionalisme Indonesia, menurut Soekarno, adalah nasionalisme Timur yang berbeda dengan nasionalisme Barat atau Eropa. Di Barat, nasionalisme tumbuh dalam masyarakat peralihan, dari agraris ke industri. Sebagai negara industri baru, negara-negara tersebut membutuhkan eksistensi dan logistik untuk menjalankan kepentingan nasional. Sebab itu, penjajahan menjadi pilihan mengukuhkan diri sendiri.

Adapun nasionalisme Indonesia, didasarkan atas prinsip keinginan untuk melepaskan diri dari penindasan, menjunjung asas kemanusiaan. Humanisme yang tidak hanya menentang kolonialisme yang terjadi di negeri sendiri, tetapi juga menentang penjajahan di seluruh penjuru bumi. Pembukaan UUD 1945 merumuskan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Sebuah rumusan yang menginginkan tegaknya kemanusiaan di atas prinsip kesetaraan. Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menulis, “Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang mencari selamatnya peri-kemanusiaan. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada menselijkheid, ‘Nasionalismeku adalah peri-kemanusiaan’, begitulah Gandhi berkata. Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme, yang dengan perkataan baru kami sebutkan; SOSIO-NASIONALISME.” Hal ini menghindarkan dari jurang ultra-nasionalis ataupun fasisme.

Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 menjadi tonggak penting. Indonesia merdeka lahir dari pengorbanan semua kalangan. Misi kemerdekaan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, berdaulat, adil, dan makmur. Di saat yang sama juga mengusahakan bagi terciptanya perdamaian dunia.

Indonesia lahir dari sebuah ideologi yang kokoh, hasil konsensus bersama. Membingkai di dalamnya segenap rumusan yang luhur. Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi empat unsur perekat. Menurut Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada, Prof Djoko Suryo, nilai-nilai tersebut harus senantiasa dipelihara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Harus terus-menerus dihidupkan. Memelihara dan meningkatkan unsur-unsur yang menjadi bagian dari kesatuan bangsa ini, seperti kemasyarakatan yang terdiri dari elemen etnis, agama, pandangan-pandangan, pikiran-pikiran, yang berbagai macam itu, terus dipelihara sesuai kesepakatan. Yaitu menjadi suatu bangsa yang berbasis pada asas filsafat bangsanya yang menyatukan yaitu Pancasila, baru negaranya yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tuturnya.

Dalam kancah globalisasi, sekat-sekat negara bangsa menjadi kabur. Semua budaya dari segenap penjuru bisa menyusup jauh ke setiap bilik rumah. Antar penghuni bumi menjadi sangat dekat dan sekaligus menjadi sangat jauh. Hanya dengan gawai, seseorang menjadi penikmat budaya luar dan pembenci identitas bangsa sendiri. Diperlukan kedewasaan dan filter yang jernih. Ada hal yang perlu kita teladani dan ambil pelajaran serta ada yang mesti ditinggalkan.

Nasionalisme kita tegak di atas nilai-nilai yang dibingkai ajaran agama. Semisal tentang budaya guyub rukun dan saling bersilaturahim. Menurut Djoko Suryo, perilaku semacam ini perlu dihidupkan di tengah situasi kebangsaan hari ini, yang kadang larut dalam kontestasi politik dan polarisasi. Bakti nasionalisme ditunjukkan dengan kerendahan hati untuk menjalankan dan menjiwai segenap gerak langkah sesuai nilai keluhuran bangsa.

“Seharusnya kita hidupkan silaturahmi menjadi pergaulan yang penuh martabat. Sehingga betul-betul kehidupan berbangsa, bernegara, dan tanah air ini tetap kokoh. Itulah nasionalisme Indonesia yang sebetulnya harus terus dipelihara. Saya melihat roh masyarakat Indonesia yang memiliki sikap lapang dada, sabar, agamis, yang sesungguhnya bangsa Indonesia di masa depan akan bisa bangkit kembali,” ujar Djoko. (ribas, bahan: rbs & gsh)

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16 Tahun 2018

Exit mobile version