Nasionalisme tetap merupakan sebuah cita-cita yang ingin memberi batas antara “kita yang sebangsa” dengan “mereka dari bangsa lain” antara negara kita dan negara mereka. Demikian pula dengan Indonesia. Nasionalisme dalam konteks sejarah kontemporer Indonesia tampaknya dimaknai sebagai kepercayaan dan tindakan politik untuk mengubah secara radikal status Indonesia sebagai bangsa terjajah agar menjadi bangsa merdeka.
Munculnya ide nasionalisme ini, menurut dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr Munir Mulkhan, seiring dengan gerakan kemerdekaan bangsabangsa Muslim di awal abad ke 20 yang dikaitkan dengan ide tanah air dan bangsa (syuub), berikut bentuk negara republik. Dari sinilah, menurutnya, muncul cinta tanah air sebagai bagian iman.
Hal ini dibenarkan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Prof Achmad Jainuri, nasionalisme merupakan sebuah sarana untuk memompa semangat perjuangan dalam rangka meraih kemerdekaan, terutama pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20. “Semua negara-negara Islam melakukan perjuangan kemerdekaan itu dengan semangat nasionalisme yang kuat,” terang Jainuri.
Di Indonesia, lanjut Jainuri, Nasionalisme tidak akan terwujud jika tidak ada Islam. Karena sebelum Islam turun langsung dalam perjuangan Indonesia, beberapa kelompok kedaerahan muncul sebagai ekslusif perjuangan daerah-daerah. Tapi begitu Islam menyatukan mereka, maka menjadi kesatuan yang bernama nasionalisme.
Islam sebagai doktrin dan tindakan pembebasan telah mendorong dan mengilhami mayoritas penduduk nusantara untuk melawan penjajahan demi mempertahankan kemerdekaan, jauh sebelum nasionalisme dikenal orang. Sejumlah perlawanan yang melibatkan kaum Muslimin terhadap sistem kolonial dalam skala besar terjadi pada abad ke-19. Perang Padri (1821-1837), perang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1872-1912), dan banyak yang lain, adalah di antara bentuk perlawanan yang berskala besar itu dengan korban yang sangat besar pula pada pihak-pihak yang bertarung. Ini semua dijiwai oleh semangat keislaman mereka.
Realitas sejarah ini, juga pernah disampaikan oleh Ki Bagoes Hadikusuma, Ketua HB Muhammadiyah saat itu, di Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Menurutnya, di mana gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda di berbagai wilayah Indonesia hampir selalu dipimpin tokoh-tokoh Islam, seperti Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, Sultan Hasanudin, dan lain lain yang mendasarkan perjuangannya atas ajaran Islam.
Semangat inilah yang terus tumbuh dan kemudian memunculkan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Indonesia bertujuan untuk meruntuhkan sistem kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apa pun dan dari mana pun asalnya. Alinea pertama UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 menegaskan rumusan kepercayaan dan tindakan itu sebagai berikut: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Karenanya, menurut dosen UIN Sunan Ampel Dr Bianto, dalam konteks ajaran Islam, sejatinya tidak ada masalah dengan nasionalisme. Apalagi kita mengenal ajaran yang menyatakan bahwa mencintai tanah air merupakan bagian dari iman (hubbul wathan minal iman). “Jika dipahami substansi nasionalisme itu mengajarkan agar semua warga mencintai tanah airnya, bangga dengan negaranya, serta ada kerelaan berkorban demi kehormatan dan martabat bangsanya,” kata Bianto.
Secara historis, menurut Bianto, kita juga memahami kelahiran nasionalisme dalam suasana negara-bangsa yang sedang dijajah bangsa asing sehingga mengakibatkan penderitaan. Melalui nasionalisme tumbuh spirit patriotisme sehingga ada kesadaran kolektif warga bangsa untuk merdeka dan melepaskan diri dari penindasan. Justru disinilah kita dapat menemukan relevansi ajaran Islam dengan nasionalisme. Islam jelas sekali membenci segala bentuk penindasan. Apalagi hal itu dilakukan pada sesama umat manusia.
Ajaran Islam, kata Bianto, jelas sekali menekankan bahwa derajat semua umat manusia itu sama di hadapan Allah SwT. Yang membedakan masing-masing pribadi dan umat adalah ketakwaannya. Ajaran ini terasa sangat fundamental dalam ajaran Islam. Karena itulah Islam membenci sifat-sifat ashabiyah, kebanggaan yang didasarkan pada kesamaan suku atau kelompok, ideologi, dan hal-hal primordial lainnya.
Seperti kita ketahui, sifat-sifat itu tumbuh subur pada masa jahiliyah. Selanjutnya, Islam hadir dengan membawa ajaran yang menempatkan semua umat manusia secara terhormat tanpa melihat latar belakang sosial, budaya, etnik, dan agama. Dengan demikian nasionalisme dapat menghapus budaya ta’ashub atau ashabiyah. Hal itu karena nasionalisme memberikan perspektif yang lebih luas dalam melihat masa depan bangsa. Nasionalisme menekankan pentingnya komitmen seluruh elemen bangsa untuk mewujudkan tujuan bersama dalam bernegara, terlepas dari kepentingan golongan dan pribadi.
Yang penting diingat, menurut Bianto, nasionalisme tidak boleh dipahami secara berlebihan sehingga mengarah pada chauvinisme. Jika ini terjadi, maka dapat memicu ketidakharmonisan hubungan antarnegara. Padahal pada era global ini yang dibutuhkan adalah sinergi dan kerjasama yang saling menguntungkan.
Ini juga digarisbawahi Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu’ti. Menurutnya, Islam juga tidak melarang ashabiyah yang positif. Yang tidak boleh adalah sikap arogansi karena kebencian dan supremasi rasial, ekonomi, atau agama. Supremasi dan kebencian itulah yang menimbulkan masalah rasisme, phobia, dan perilaku negatif lainnya. Cara membangun relasi positif ini adalah dengan saling menghormati, bekerjasama, dan terbuka. Selain itu juga harus ada ikatan dan rasa tanggung jawab untuk memajukan masyarakat/bangsa dan negara di mana mereka berada.
Untuk penguatan negara bangsa ini, Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar telah menghasilkan keputusan resmi yang penting dan strategis. Salah satunya tentang negara Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah. Ini merupakan sikap, keyakinan dan komitmen kebangsaan persyarikatan Muhammadiyah terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (tulisan eff, bahan th, gsh, lut, ribas)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16 Tahun 2018