Prof Dr Sunyoto Usman: Muhammadiyah Jaga NKRI Tetap Utuh

Prof Dr Sunyoto Usman: Muhammadiyah Jaga NKRI Tetap Utuh

Dok UGM

Merasa paling baik dan paling benar akhir-akhir ini banyak diperlihatkan oleh individu dan kelompok tertentu. Akibatnya, sering memandang salah individu maupun kelompok lain. Bukankah perbedaan itu sebuah keniscayaan? Kalau begitu kenapa tidak saling menghargai perbedaan yang ada dan menjadikanya sebagai kekuatan bangsa? Ingat, nasionalisme butuh kebersamaan bukan milik seseorang atau segelintir orang saja.

B erbicara tentang nasionalisme, baru-baru ini Suara Muhammadiyah melakukan wawancara eksklusif denga Prof Dr Sunyoto Usman Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Berikut kutipan dialognya:

Hari ini banyak orang mengaku nasionalis, sebenarnya apa definisi nasionalisme?

Nasionalisme secara umum adalah cinta tanah air. Cuma memang sejak Soekarno dulu, dia kategorikan sebagai sebuah komunitas yang mempunyai paham tertentu. Akhirnya dibagi menjadi NASAKOM (Nasionalis Agama Komunis). Agama yang dimaksud adalah agama Islam, sedang nasionalis adalah orang-orang non santri. Dalam perkembangannya, ketika pada masa Orde Baru, komunis dihancurkan, maka tersisa nasionalis dan agama. Akhirnya lahir nasionalis yang agamis dan agamis yang nasionalis.

Bagaimana dengan pendukung calon presiden yang mengaku nasionalis dan mengaku agamis?

Hari ini, seolah itulah yang terjadi antara pendukung Jokowi dan Prabowo. Pendukung Jokowi seolah mewakili kelompok nasionalis dan pendukung Prabowo adalah mewakili kelompok agamis. Kemunculan dua pendukung ini sebenarnya jauh dari ideologi besar, dan bukan itu implementasi gagasan terse but. Padahal kita ketahui, perbedaan pilihan sebagaimana dukung-mendukung di atas menjadikan perpecahan. Sekali lagi, antara pemilih Jokowi dan Prabowo adalah perbedaan pendukung (pilihan), bukan ideologi.

Melihat kondisi yang demikian, kira-kira seperti apa nasib bangsa Indonesia ke depan?

Saya tetap optimis, sebab itu merupakan sebatas representasi partai politik, representasi komunitas politik. Padahal kita tahu bahwa di Indonesia banyak komunitas lain, seperti komunitas sosial, intelektual, seni, dan lain sebagainya. Itu tidak serta merta mereka yang berkoalisi mendukung calon tertentu kemudian menjadikan masyarakat secara umum ikut berkoalisi.

Sebagai contoh saya pribadi. Saya adalah bagian dari komunitas akademik yang tidak serta merta ikut dan tunduk dengan komunitas politik. Bahkan di berbagi negara maju, komunitas politik tidak terlalu didengar. Di Australia komunitas politik dikenal dengan sebutan “Fat Cat” (kucing gemuk), yang bisanya cuma “Ngeongngeong” saja. Efek politik tentu saja ada, tapi tidak kemudian menghancurkan nilai-nilai nasionalisme yang sudah ada.

Ributnya pendukung calon presiden adalah bukti bahwa potensi konflik di Indonesia itu ada. Lalu bagaimana memupuk nasionalisme?

Maka perlu membangun integrasi sosial supaya cinta tanah air. Yaitu pertama, harus dengan ideologi yang jelas. Kita punya Pancasila, tinggal bagaimana kita menderivasi ini bukan saja sebagai pengetahuan, tapi juga menjadi kesadaran, sikap, dan tindakan. Kedua, saling memperkuat bahkan saling ketergantungan ekonomi. Kalau Indonesia ada kelompok ekonomi kuat dengan kelompok ekonomi lemah, Jawa dan Luar Jawa, dan Indonesia bagian Timur dengan Indonesia bagian Barat. Seharusnya antar keduanya saling bersinergi, misal Indonesia Timur kaya sumber daya alam tapi sumber daya manusianya kurang. Kekurangan itu bisa ditutupi oleh Indonesia Barat yang cukup banyak sumber daya manusianya.

Ketiga, adalah membangun Reciprocal Relationship (hubungan timbal-balik) dalam berbagai macam bentuknya. Seperti lembaga pendikan dan lembaga kesehatan. Sebagai contoh adalah Universitas Muhammadiyah Kupang. Lembaga pendidikan ini milik organisasi Islam tapi mayoritas mahasiswanya adalah non muslim. Secara sosial itulah wujud adanya saling menerima dan saling membari. Kalau ketiga hal ini rapuh maka rapuhlah bangsa Indonesia dan sebaliknya, kalau ketiganya itu kuat maka masa depan Indonesia akan tetap terjaga.

Apakah ketiga hal itu sudah berjalan baik?

Memang untuk mewujudkan itu tantangannya sangatlah berat. Apalagi sekarang era globalisasi dengan keterbukaan yang luar biasa, ideologi bisa masuk melalui media sosial dan bisa saja menggerus Pancasila. Independensi ekonomi pun demikian. Karena perdagangan bebas bisa jadi alat-alat perangkat ekonomi global justru berada di negeri ini. dia adalah agen dari kapitalis global. Jelas Indonesia akan menjadi sorotan kapitalis global sebab di sini melimpah sumber daya alam.

Apalagi jalinan untuk merajut relasi sosial, tentu itu amat berat mengingat hari ini masyarakat selalu disuguhi tontonan kompetisi-kompetisi yang tak kunjung reda. Baik itu yang menyangkut anggota DPR, Pilkada, Pemilu, dan Pilpres. Karenanya dibutuhkan pendidikan politik yang baik agar perbedaan itu menjadi lumrah dan harus dihormati.

Tugas siapa itu?

Ada beberapa level. Di level pusat harus sinkron dan bersinergi dengan level daerah. Organisasi pemerintah harus cocok dengan organisasi sosial termasuk keagamaan. Saya kira tidak mustahil apa yang dikerjakan oleh Muhammadiyah, khususnya untuk Indonesia Timur, menjadi satu referensi untuk mengembangkan relasirelasi itu. Di sana Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan dan lembaga kesehatan, di mana keduanya merupakan kebutuhan dasar manusia. Pembangunan di Jawa orientasinya adalah membawa keuntungan, kalau pembangunan di Indonesia Timur lebih membawa rasa keadilan.

Nah bagi saya, contoh riil nasionalisme itu ya Muhammadiyah. Tidak banyak bicara tentang konsep maupun definisi nasionalisme, tapi lebih banyak berbuat untuk keutuhan NKRI. (gsh)

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16 Tahun 2018

Exit mobile version