Nasionalisme dalam Kawalan Sila Ke-2 Pancasila

Nasionalisme dalam Kawalan Sila Ke-2 Pancasila

Buya Syafii berbincang dengan redaksi Suara Muhammadiyah, 2017 (Foto: dok sm)

Nasionalisme dalam Kawalan Sila Ke-2 Pancasila

Oleh : Prof Dr Ahmad Syafii Maarif

Secara filosofis, nasionalisme berarti bahwa kesetiaan tertinggi seorang warga negara harus diberikan kepada negara-bangsa, sebuah pandangan yang tidak dapat didamaikan dengan iman manusia Muslim. Bagi seorang beriman, kesetiaan tertinggi itu adalah kepada Allah, bukan kepada yang lain. Tetapi apakah nasionalisme Indonesia sebagai ideologi negara-bangsa dalam ranah praksisme berlawanan dengan Islam?

Di awal 1940-an telah terjadi perdebatan tentang hubungan Islam dan nasionalisme antara kaum nasionalis dan sementara ulama dengan dalilnya masing-masing. Pihak pertama dipelopori oleh Soekarno, pihak kedua oleh Ahmad Hassan, seorang tokoh Persis (Persatuan Islam), bersama murid dan sahabatnya Mohammad Natsir. Bantahan A. Hassan terhadap gagasan nasionalisme dapat dibaca dalam karyanya Islam dan Kebangsaan. Sekalipun terdapat perbedaan pandangan tentang nasionalisme yang bagi A. Hassan tidak lain dari ashabiyah (faham kesukuan sempit) yang sesat, sebenarnya Soekarno juga pengagum A. Hassan dalam masalah ijtihad dan anti-taqlid.

Pertanyaan krusialnya adalah: apakah nasionalisme Indonesia yang anti penjajahan dan ingin merebut kemerdekaan bangsa bertentangan dengan Islam? Sisi inilah yang kurang dilihat oleh A. Hassan yang lebih melihatnya dari segi filosofis, sedangkan pada sisi praksisnya sebagai kekuatan anti kolonialisme dan imperialisme kurang mendapat perhatian. Apalagi jika dikawal oleh sila kedua Pancasila berupa “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” semestinya nasionalisme Indonesia akan terbebas dari sifat ashabiyah yang dinilai sesat itu.

Memang nasionalisme tanpa kawalan nilai-nilai kemanusiaan yang adil, beradab, dan universal, bisa saja melahirkan pandangan dan sikap syofinisme, yaitu merasa bahwa bangsa sendiri paling benar dan paling unggul. Paham yang semacam inilah yang dianut oleh Adolf Hitler (20 April 1889-30 April 1945) dengan Nazi-nya yang nyaris saja meluluhlantakkan Eropa. Nazisme adalah tahap nasionalisme ekspansif yang wajib ditolak dan dilawan. Dalam perspektif ini, saya cenderung mengatakan bahwa saat rezim Soeharto (1966- 1998) yang mengambil alih Timor Timur dari tangan Fretilin (Frente Revolucionâria de Timor Leste Independente-Gerakan Revolusioner untuk Kemerdekaan Timor Timur) tahun 1975, nasionalisme Indonesia tampaknya sedang memasuki tahap ekspansif ini.

Begitu juga saat rezim Demokrasi Terpimpin (1959-1966) sebelumnya yang ingin memasukkan wilayah Borneo Malaysia menjadi milik Indonesia awal 1960-an, nasionalisme Indonesia secara teoretik telah terlepas dari kawalan sila kedua Pancasila. Sekarang semuanya sudah berlalu, hubungan Indonesia dengan Timor Leste dan Malaysia sudah normal kembali, sekalipun ditempuh melalui perang dan konfrontasi yang berbahaya.

Kembali kepada karakter nasionalisme Indonesia. Bung Karno sebagai salah seorang tokoh utama nasionalisme dalam Lahirnya Pancasila (berasal dari Pidato 1 Juni 1945), hlm. 22 mengutip Mahatma Gandhi: “My nationalism is humanity” (nasionalisme saya adalah kemanusiaan). Kutipan ini sebenarnya sejalan dengan semangat sila kedua Pancasila. Tetapi dalam politik kekuasaan, antara teori dan praktik di lapangan belum tentu selalu bersambungan, seperti dalam kasus konfrontasi terhadap Malaysia dan invasi Timor Timur.

Dalam perjanjian KMB Desember 1949 antara Indonesia dan Kerajaan Belanda dikatakan bahwa wilayah kekuasaan Indonesia meliputi seluruh bekas Hindia Timur Belanda, sedangkan status Irian Barat ketika itu masih belum dipastikan. Ketidakpastian ini menyebabkan rezim Soekarno hilang kesabaran. Satu-satunya cara adalah agar Irian Barat “direbut,” jika perlu dengan kekuatan militer. Krisis inilah kemudian yang mencemaskan pihak PBB dan Amerika Serikat, sehingga akhirnya melalui perundingan yang alot, Irian Barat diserahkan kepada kekuasaan Indonesia pada 1 Mei 1963 melalui badan PBB UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority).

Apakah penggabungan Irian Barat dengan Republik Indonesia berarti bahwa nasionalisme Indonesia telah memasuki tahap ekspansif yang tidak lain dari bentuk imperialisme? Dalam pandangan saya, belum sampai pada tingkat itu. Karena status Irian Barat ketika itu adalah wilayah sengketa antara Indonesia dan Belanda yang kemudian, sekalipun dengan manuver pilitik militer, tokoh masih melibatkan PBB yang didukung oleh Amerika Serikat untuk melakukan perundingan.

Akhirnya, nasionalisme Indonesia yang kemudian ditempatkan sebagai sila ketiga Pancasila dalam format: “Persatuan Indonesia” tidaklah berseberangan dengan ajaran universalisme Islam karena ideologi ini dikawal oleh sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Artinya, setiap adanya kecenderungan negara untuk melakukan politik ekspansif, maka seluruh kekuatan bangsa wajib meluruskannya agar tidak diteruskan karena berlawanan dengan jati-diri bangsa yang sejati dan cinta damai.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16 Tahun 2018

Exit mobile version