Prinsip-Prinsip Dasar Bermuamalat: Ekonomi dan Bisnis

gratifikasi

Ilustrasi

Oleh: Mukhlis Rahmanto

Satu ciri ajaran Islam adalah aturannya yang universal mencakup seluruh bidang kehidupan, termasuk muamalat, yaitu hubungan sesama manusia, baik dalam hal politik kenegaraan, sosial-ekonomi, hingga hukum (pidana dan perdata). Kini, istilah muamalat mengalami reduksi dan perubahan dalam pemakaiannya sehari-hari, hingga identik dengan bidang ekonomi dan bisnis (kehartabendaan/al-muamalat almaliyah), karena di sinilah terjadi peristiwa pertukaran dan perpindahan kepemilikan harta sebagai kebutuhan utama (primer) manusia yang harus terpenuhi.

Dalam maqashid syariah (tujuan umum diturunkannya syariat Allah), harta adalah komponen penting yang harus dijaga keberlangsungan dan kemaslahatannya. Untuk itu, dalam fikih al-mualamat al-maliyah, dibahas dan dirangkum mengenai aturan-aturan Islam yang kebanyakan sifatnya tidak rinci (global), mengingat ciri khas bidang ini adalah perkembangannya yang cepat dari waktu ke waktu. Firman Allah SwT:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu,” (Qs An-Nisa’: 29).

Oleh karena itu, dalam fikih muamalat klasik, kita tidak akan mendapatkan jenis-jenis akad transaksi seperti franchise (bisnis berdasar basis hak cipta atas suatu barang dan jasa); kartu kredit; dan jual beli berbasis online yang marak dewasa ini. Aturan yang berisikan nilai-nilai dasar normatif dalam hal ini antara lain ketidakbolehan adanya Maghadir dalam setiap transaksi bisnis.

Maghadir adalah singkatan dari maisir (spekulasi-judi); gharar (ketidakjelasan akad yang berujung pada penipuan); haram (dilarang), batil (merusak), dhalim (merugikan); dan riba (tambahan yang dipersyaratkan). Enam item larangan ini secara umum tidak dibolehkan ada dalam sebuah transaksi perdagangan-bisnis, baik transaksi itu terjadi pada masa Kenabian, sahabat Nabi, dewasa ini, maupun transaksi lain yang akan bermunculan pada masa yang akan datang.

Ada beberapa Hadits yang menerangkan mengenai larangan maghadir. Pertama, larangan adanya maisir.

“Dari Abdulah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli habal al-hablah, yaitu jual beli yang dilakukan kaum jahiliyah (dengan gambaran) seekor unta betina yang disetubuhi unta jantan, lalu unta betina tersebut mengandung janin. Lalu janin tersebutlah yang dijadikan obyek transaksi (jual beli),” (HR Al-Bukhari).

Dalam Hadits tersebut, jual beli yang dilakukan mengandung spekulasi atau ketidakpastian obyek transaksi. Mungkin saja janin unta tersebut hidup atau mati, terlahir laki-laki atau betina.

Kedua, larangan gharar.

“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw melarang jual beli al-hashat dan jual beli gharar,” (HR. Muslim).

Jual beli al-hashat dapat digambarkan sebagai berikut: seseorang penjual memberi batu pada temannya (pembeli) dan mengatakan: “Lemparlah batu ini pada tanahku, sejauh mana lemparan batu tersebut, maka tanah tersebut menjadi milikmu, dengan bayaran sekian dirham/ rupiah”. Bila lemparan batu tersebut kuat, maka pembeli beruntung dan penjual pun rugi. Jika lemparan batunya lemah, maka yang terjadi sebaliknya.

Artinya, kuantitas dan kualitas obyek transaksi tidak dapat dipastikan. Sedang jual beli gharar adalah jual beli yang tidak ada kepastian waktu dan obyek transaksinya, semisal saat akad terjadi, tidak ada kesepakatan kapan barang akan diserahkan oleh penjual kepada pembeli.

Ketiga, larangan transaksi yang haram, batil, dan dhalim.

“Dari Ibnu Abbas berkata: Umar (bin al-Khatab ra) mendengar kabar kalau Samurah menjual khamr, lalu berkata: “Semoga Allah membinasakannya, ketahuilah bahwa Rasulullah bersabda: Allah melaknat orang Yahudi karena telah diharamkan bagi mereka lemak hewan (seperti sapi dan kambing), namun mereka mencairkan dan memperjualbelikannya,” (Muttafaq ‘Alaihi).

Keempat, larangan riba.

“Dari Alqamah dari Abu Abdilah berkata: Rasulullah melaknat pemakan riba dan yang mewakili mengambilnya. Aku berkata: (kalau) penulis dan saksi-saksi (transaksi riba tersebut?). Nabi bersabda: mereka semua sama. Kami menceritakan apa yang kami dengar (dari Nabi),” (HR Muslim)

Mukhlis Rahmanto, Dosen FAI Univeritas Muhammadiyah Yogyakarta

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2017

Exit mobile version