Sejarah Tradisi Mubeng Beteng Malam Satu Suro

Sejarah Tradisi Mubeng Beteng Malam Satu Suro

Mubeng Beteng (Dok Kraton Jogja)

Oleh: Ki H Ashad Kusuma Djaya

Tradisi Mubeng Beteng atau berjalan mengelilingi beteng Kraton Kasultanan Ngayogyakarta adalah event tahunan menyambut tahun baru Hijriyah dalam sistem penanggalan Jawa, yaitu penanggalan yang dibuat oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Acara ini telah dikenal luas. Tidak hanya oleh mereka yang tinggal di Kota Yogyakarta, tapi juga dikenal secara nasional. Salah satu buktinya, pada tanggal 17 Juli 2019 Menteri Yasonna H. Laoly yang asli Tapanuli Tengah memberikan penghargaan terhadap tradisi ini sebagai kekayaan intelektual kolektif.

Sebenarnya ada dua tradisi mubeng beteng di Yogyakarta. Pertama, mubeng beteng malam satu suro menyambut tahun baru; dan kedua, mubeng beteng untuk mengarak Kyai Tunggul Wulung bendera pusaka Kraton Yogyakarta yang bertuliskan lafadh syahadat, surah al-Kuatsar, asma ul-husna dan ornamen pedang zulfikar Ali bin Abu Thalib. Berbeda dengan mubeng beteng malam satu suro yang dilakukan secara rutin, mubeng beteng mengarak Kyai Tunggul Wulung hanya dilakukan jika ada pageblug atau suatu wabah penyakit yang menimpa banyak penduduk di wilayah Kasultanan Ngayogyakarta.

Majalah Mekar Sari nomor XIX Juni 1967 mengulas kejadian pada tahun 1919 pihak Kasultanan Ngayogyakarta mengarak bendera pusaka Kyai Tunggul Wulung mengelilingi beteng keraton di saat berjangkitnya wabah penyakit influenza. Kanjeng Kiai Tunggal Wulung ini bahannya dari bekas Kiswah atau kain penutup Kabah di Mekah yang didapatkan Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1784 Masehi. Soal bendera pusaka milik Kasultanan berwarna wulung (ungu kehitaman) dari kiswah ini pernah disampaikan Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia VI 2015 (KUII-VI 2015) di Yogyakarta. Yang perlu ditegaskan di sini mengarak bendera Kyai Tunggul Wulung mubeng beteng saat terjadi pageblug adalah mirunggan (acara khusus) Kasultanan.

Namun tidak ada catatan di Kraton Yogyakarta yang menyebutkan bahwa acara mubeng beteng malam satu suro sebagai agenda resmi Kasultanan. Dalam sebuah kesempatan budayawan Kraton yang juga mantan Ketua Javanologi Yayasan Panunggalan dan mantan Ketua Dewan Kebudayaan DIY, Rama Yuwono Sri Suwito, mengungkapkan bahwa tradisi mubeng beteng pada awalnya dilakukan sebulan sekali. Kegiatan itu dulu dilakukan oleh prajurit Kasultanan Ngayogyakarta setiap awal bulan Jawa / hijriyah sebagai bagian dari acara pergantian prajurit jaga beteng kraton. Ketika beteng Kraton masih utuh, kegiatan tersebut dilaksanakan di atas (dalam) beteng kraton. Pada bulan Suro (Muharam) acara pergantian prajurit jaga menjadi istimewa dengan melibatkan lebih banyak prajurit karena bersamaan dengan kegiatan menyambut tahun baru jawa (hijriyah). Pelaksanaannya setelah sholat isya’ dan umumnya prajurit yang berbaris penuh keheningan, hal yang di kemudian hari dirujuk menjadi tapa mbisu (tidak berkata-kata), selama mengelilingi beteng.

Jika merujuk publikasi tim Akj Rbtv berjudul “Mubeng Beteng Khasanah dan Pariwisata DIY” (Oktober 2008), kegiatan mubeng beteng keprajuritan seperti di atas telah ada sejak masa Kraton Mataram di Kotagede. Hal ini bisa dipahami terkait usaha Mataram membentuk pusat perekonomian baru yang menggeser Pajang. Kasultanan Mataram pun membangun beteng mengelilingi keraton dan secara rutin prajurit mengelilingi (mubeng) benteng untuk menjaga dari ancaman musuh. Tradisi penjagaan ini diteruskan pada masa Kasultanan Ngayogyalarta. Namun tidak ada catatan di Kraton kapan terakhir dilaksanakan tradisi penjagaan beteng oleh prajurit Kasultanan Ngayogyakarta. Beteng Kraton pun jika kita lihat sekarang sudah tidak tidak utuh lagi dan tidak memungkinkan untuk mubeng beteng prajurit. Sehingga mubeng beteng hanya mungkin dilakukan di njaban (luar) beteng. Dan yang pasti adalah menurut Rama Yuwono setelah kemerdekaan RI, Yogyakarta telah menjadi bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia dan tidak ada lagi prajurit Kasultanan yang bertugas menjaga beteng.

Setelah tidak ada lagi prajurit yang berjaga, kegiatan mubeng beteng pun dijalankan oleh masyarakat dan menjadi tradisi masyarakat yang tak terkait dengan agenda Kasultanan. Namun dalam perkembangannya menurut DR K.R.T H. Prabadipura, Pandite Aji Kasultanan Ngayogyakarta, pihak kasultanan akhirnya ikut memfasilitasi tradisi masyarakat itu dengan prosesi kawiwitan (dimulai) di Bangsal Pancaniti dan disengkuyung oleh para abdi dalem selaku aparat sipilnya Kasultanan. Sekitar tahun 2010-an prosesi di Bangsal Pancaniti menjadi semakin formal. Sebelum mubeng beteng dilakukan para peserta mengikuti acara pembacaan tahlil (lafadz laa ilaaha ilallaah) dan mendengarkan uraian bacaan kitab suci al-Qur’an dalam wujud tembang macapat.

Prosesi hajad kawula dalem mubeng beteng malam satu Suro sesungguhnya sudah dimulai sejak maghrib yaitu saat pergantian hari dalam penanggalan Jawa / hijriyah. Saat maghrib beberapa abdi dalem sudah berada di Masjid Kagungan ndalem untuk menjalankan shalat dan memanjatkan doa hingga waktu shalat isya untuk memohon agar kegiatan dapat berjalan lancar. Sebagian lain menyiapkan uba rampe berbagai hal yang akan digunakan untuk prosesi selanjutnya. Selesai isya sekitar pukul 20.00 WIB acara dilakukan di Bangsal Pancaniti dengan mendengarkan uraian bacaan kitab suci al-Qur’an dalam wujud tembang macapat, yang sebelumnya dimulai dengan membaca tahlil. Hingga tengah malam baru kemudian acara mubeng beteng menyambut tahun baru Jawa / hijriyah dilakukan.

Menjelang pengesahan Undang-undang RI nomor 13 tahun 2012 tentang keistimewaan DIY, masyarakat bersama para abdi dalem mengemas kegiatan mubeng beteng malam satu Suro menjadi lampah budaya yang dikoordinir oleh para abdi dalem. Dukungan luas dari masyarakat bersama abdi dalem menjadikan acara itu benar-benar hajad kawula dalem. Selalu ditekankan dalam sambutan pada awal prosesi bahwa lampah budaya ini bukan hajad dalem (bukan acara atau kemauan Ngarsa Dalem / Sultan). Namun pihak Kasultanan mendukung dan ikut memfasilitasi kegiatan tersebut. Bahkan sekarang ini pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah Propinsi DIY pun ikut mendukung kegiatan tersebut.

Menurut penghulu kasultanan, K.R.T Ahmad Muhsin Kamaludinningrat, pihak Kasultanan mendukung dan ikut memfasilitasi tradisi masyarakat mubeng beteng malam satu suro ini sebagai bagian dari syiar tanggap warsa atau menyambut tahun baru. Menurutnya perjalananan mengelilingi beteng dilakukan dengan berjalan kaki tanpa bicara diharapkan dapat digunakan untuk menghayati beratnya perjalanan hijrah nabi dari kota Mekah ke Madinah. Hal ini berkaitan dengan momentum tahun baru hijriyah dalam sistem penanggalan Jawa. Karena itu cara mengelilingi beteng pun dilakukan berputar seperti orang thawaf yaitu berlawanan arah dengan jarum jam. Selama perjalanan mengelilingi beteng masyarakat dihimbau tetap membiasakan melakukan topo bisu (dengan membisu tidak berbicara) sebagai wujud ajakan bermuhasabah atau mawas diri. Dukungan pihak kasultanan tersebut bermakna ajakan mawas diri atau bermuhasabah untuk memperbaiki kehidupan sehingga hidup penuh kemuliaan dan mendapat keselamatan.

Para abdi dalem menghubungkan tahun baru dengan mawas diri adalah merupakan langkah budi pekerti untuk menjadikan tahun baru sebagai momentum memperbaiki hidup sehingga hidupnya bahagia penuh keselamatan. Dalam tradisi Jawa langkah budi pekerti memperbaiki hidup itu mencakup: (1) nandhing sarira, di mana seseorang membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain dan mendapatkan dirinya lebih unggul, (2) ngukur sarira, di mana seseorang mengukur orang lain dengan dirinya sendiri sebagai tolok ukur, (3) tepa salira, di mana seseorang mau dan mampu merasakan perasaan orang lain, (4) mawas diri, di mana seseorang mencoba memahami keadaan dirinya sejujur-jujurnya, (5) mulat sarira, lebih dari mawas diri, di mana manusia menemukan identitas yang terdalam sebagai pribadi. Dengan kelima langkah budi pekerti tersebut manusia akan dapat memperbaiki hidupnya.

Ajakan mawas diri dalam kegiatan mubeng beteng malam satu suro seakan menjadi kritik pedas bagi mereka yang merayakan tahun baru dengan hura-hura. Berjalan kaki menempuh malam menghayati perjalanan hijrah nabi sambil mengajak masyarakat untuk mawas diri sungguh kontras dengan perilaku pesta tahun baru masehi. Pemerintah-pemerintah daerah di DIY dan seluruh Indonesia dapat belajar pada hal ini dalam kebijakan pesta tahun baru di wilayahnya. Dilihat dari sudut pandang studi budaya, kegiatan mubeng beteng malam satu suro pada dasarnya adalah tradisi perlawanan terhadap kehidupan hedonistik masyarakat modern. Bahkan bisa dikatakan hal itu adalah perlawanan terhadap kesombongan modernitas.

Ki H Ashad Kusuma Djaya, Wakil Ketua PDM Kota Yogyakarta

Exit mobile version