Shalawat Nariyah
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Di Kabupaten kami, Indragiri Hilir Prov. Riau, Pemerintah Daerah menganjurkan instansi, kantor, sekolah, dan organisasi-organisasi lainnya untuk membaca Shalawat Nariyah sebagai pembuka dalam berbagai acara seperti rapat, diskusi, upacara, belajar bagi anak sekolah, dan lain-lain. Bahkan Shalawat Nariyah itu diperlombakan bagi anak-anak sekolah mulai tingkat TK sampai SMA, baik negeri maupun swasta, tak terkecuali sekolah Muhammadiyah.
Dari beberapa buku yang ada, seperti buku Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik karangan H Mahrus Ali, pengantar oleh KH Mu’amal Hamidy Lc dan buku Al-Firqotun Najiyah Jalan Hidup Golongan Selamat mengatakan bahwa Shalawat Nariyah itu adalah sesuatu perbuatan syirik. Mohon penjelasan dan bagaimana sebaiknya Muhammadiyah bersikap. Demikian, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Drs Karnedi, MPd, Sekretaris PDM Indragiri Hilir, Riau (disidangkan pada Jum’at, 24 Muharram 1436 H / 6 November 2015 M).
Jawaban:
Terimakasih atas pertanyaan saudara. Masalah shalawat memang salah satu hal yang menjadi perbedaan pendapat di tengah masyarakat. Perlu diketahui bahwa di masyarakat banyak beredar shalawat-shalawat kepada Nabi saw yang ditulis orang, baik berdasar kepada kitab-kitab Hadits maupun susunan penulisnya sendiri, di antaranya ada yang berlebih-lebihan, bahkan ada yang menyimpang.
Disebutkan dalam kitab Khazinatul Asrar halaman 179 dijelaskan, bahwa “Salah satu shalawat yang mustajab ialah Shalawat Tafrijiyah Qurthubiyah, yang disebut orang Maroko dengan Shalawat Nariyah, karena jika umat Islam mengharapkan apa yang dicita-citakan, atau ingin menolak yang tidak disukai, maka mereka berkumpul dalam satu majelis untuk membaca Shalawat Nariyah ini sebanyak 4444 kali, kemudian tercapailah apa yang dikehendaki dengan cepat bi idznillah”. Selain itu, Imam Dainuri mengatakan bahwa “Siapa membaca shalawat ini sehabis shalat Fardhu sebanyak 11 kali serta digunakan sebagai wiridan, maka rizkinya tidak akan putus, di samping itu ia akan mendapatkan pangkat kedudukan dan tingkatan orang kaya”.
Pernyataan di atas tentu saja tidak mempunyai dasar yang kuat, apalagi jika diperhatikan lafal bacaan dan kandungan makna yang ada di dalam Shalawat Nariyah. Lafal Shalawat Nariyah adalah sebagai berikut:
“Ya Allah, limpahkanlah keberkahan dengan keberkahan yang sempurna, dan limpahkanlah keselamatan dengan keselamatan yang sempurna untuk penghulu kami Muhammad, yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik, serta diminta hujan dengan wajahnya yang mulia, dan semoga pula dilimpahkan untuk segenap keluarga dan sahabatnya sebanyak hitungan setiap yang Engkau ketahui.”
Jika diperhatikan dari segi isi, maka akan ditemukan beberapa kejanggalan pada shalawat itu, bahkan dapat menjurus kepada kesyirikan, terutama pada lafal
(yang dengannya, maksudnya dengan Rasulullah Muhammad saw, segala ikatan menjadi lepas, dan dengannya segala kesedihan akan hilang, dan dengannya segala kebutuhan akan terpenuhi, dan dengannya segala keinginan akan tercapai). Jadi, menurut Shalawat Nariyah di atas, yang melepaskan ikatan (kesulitan), menghilangkan kesedihan dan mengabulkan segala keinginan adalah Rasulullah saw, bukan Allah SwT. Padahal yang dapat menghilangkan ikatan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, mengabulkan keinginan dan doa hanyalah Allah SwT. Hal ini dapat menjurus kepada syirik dan bertentangan dengan firman Allah:
“Hanya bagi Allahlah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhalaberhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadah) orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka” (Qs Al-Ra’d [13]: 14).
Jika dalam Shalawat Nariyah disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw mampu menguraikan segala ikatan dan menghilangkan segala kesedihan, maka hal ini tidak bisa dibenarkan, karena Al-Qur’an menyeru kepada beliau untuk berkata:
“Katakanlah, Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyakbanyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (Qs Al-A’raf [7]: 188).
Ayat-ayat tersebut memberikan keterangan yang jelas bahwa hanya Allah-lah yang berhak dan mampu melepaskan berbagai kesulitan dan mengabulkan permohonan, bukan Rasulullah saw.
Dapat dikatakan pula, selain mengandung beberapa kejanggalan, Shalawat Nariyah juga mengandung pujian yang berlebihan untuk Nabi Muhammad saw, padahal beliau sendiri tidak membutuhkannya, bahkan melarang hal itu. Nabi saw bersabda:
“Janganlah kalian puji aku berlebih-lebihan, sebagaimana kaum Nashrani memuji berlebih-lebihan terhadap (Al-Masih) ibnu Maryam. Tetapi katakanlah aku (Muhammad) adalah hamba-Nya (Allah) dan pesuruh-Nya” [HR Al-Bukhari].
Itulah beberapa persoalan mengenai Shalawat Nariyah. Meskipun demikian, bukan berarti Muhammadiyah anti shalawat. Muhammadiyah berpendapat bahwa bershalawat kepada Rasulullah saw adalah amalan yang dituntunkan. Pada rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah Nomor 15 tahun ke88/2003 dijelaskan bahwa shalawat itu berarti doa, memberi berkah, dan ibadah. Shalawat Allah kepada hambanya dibagi dua, khusus dan umum. Shalawat khusus, ialah shalawat Allah kepada para Rasul atau Nabi-Nya, teristimewa shalawat Allah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. Shalawat umum, ialah shalawat Allah kepada hamba-Nya yang mukmin.
Allah SwT menyuruh kaum muslimin agar selalu membaca shalawat untuk Nabi Muhammad saw, berdasarkan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya,” (Qs Al-Ahzab [33]: 56).
Dalam kitab Tafsir al-Maraghi yang ditulis Ahmad Mustafa Maraghi, Juz 12 halaman 33, dijelaskan tentang lafal yushaluuna pada ayat 56 surah al-Ahzab adalah mereka bershalawat. Ash-shalah mempunyai pengertian asal doa, namun apabila ia disandingkan dengan nama Allah, maka berarti pemberian rahmat-Nya. Apabila ia diucapkan oleh Malaikat, ia merupakan permohonan ampun kepada Allah.
Apabila diucapkan oleh manusia, berarti bentuk pemujaan dan permohonan doa kepada Allah. Jadi, manusia melakukan ash-shalah (ibadah shalat) artinya manusia sedang memuja dan memohon kepada Allah untuk dirinya. Begitu pula jika manusia mengucapkan shalawat atas Nabi saw, berarti ia sedang memuji Nabi saw serta memohon kepada Allah agar selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada Nabi saw dan seluruh umatnya.
Adapun maksud dari lafal salimuu pada ayat itu adalah, berilah salam penghormatan. As-salam artinya selamat, tidak ada yang cacat, damai, aman, pasrah, dan hormat.
Surah al-Ahzab ayat 56 ini menunjukkan perintah kepada orang-orang yang beriman agar bershalawat atas Nabi Muhammad saw. Tetapi, pengucapan shalawat itu harus sesuai dengan aturan yang telah diajarkan oleh Allah dan Nabi saw, sebab shalawat merupakan doa sekaligus penghormatan kepada Nabi Muhammad saw, bukan menjadikan Nabi saw sebagai wasilah. Terkait dengan bentuk atau lafal shalawat yang akan dibaca, kaum muslimin ada yang menyusunnya sendiri, namun isi dari lafal itu hendaklah memanjatkan doa untuk Nabi saw sebagaimana yang dimaksud oleh ayat di atas.
Adapun bentuk-bentuk atau lafal-lafal shalawat yang shahih, diriwayatkan dari Nabi saw, ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Bentuk shalawat panjang itu seperti yang dibaca pada duduk tahiyat dalam shalat setelah membaca doa tasyahud, yang berdasarkan pada hadits berikut:
“Dari Abdurrahman bin Abi Laila [diriwayatkan], ia berkata: Aku bertemu dengan Ka’ab bin ‘Ujrah, ia berkata: Maukah engkau aku beri hadiah yang aku dengar dari Nabi saw.? Aku berkata: Baiklah, berikanlah kepadaku. Lalu ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw.: Ya Rasulullah, bagaimana bacaan shalawat atasmu Ahlul Bait? Maka sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada kami bagaimana mengucapkan salam atasmu. Beliau berkata: Ucapkanlah:
(Ya Allah limpahkanlah rahmat-Mu atas Muhammad dan atas keluarganya, sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat atas Ibrahim dan atas keluarganya. Sungguh Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah limpahkanlah berkah-Mu atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad sebagaimana yang telah Engkau limpahkan atas Ibrahim, sungguh Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia” [HR Bukhari].
Pada sunnah maqbulah yang lain, setelah kalimat “wa ‘alaa aali Ibraahiim” tidak terdapat kalimat “innaka hamiidun majiid”, langsung disebut kalimat “Allaahumma baarik ‘alaa Muhammad …” sampai akhir. Hal ini berarti kedua lafal shalawat itu boleh dibaca. Seperti halnya yang termuat dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah:
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah [diriwayatkan] bahwa Nabi saw. membaca shalawat: Alla-humma shalli ‘alaMuhammad wa ‘ala-a-li Muhammad kama-shallaita ‘ala-Ibrahi-ma wa a-li Ibra-him wa ba-rik ‘ala- Muhammad wa ‘ala- a-li Muhammad kama- barakta ‘ala- Ibra-him wa a-li Ibra-hi-ma innaka hami-dum maji-d”.
Sedangkan bentuk shalawat yang pendek adalah:
“Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al-Amwi mengkhabarkan kepada kami dalam hadisnya dari ayahnya dari Usman bin Hakim dari Khalid bin Salamah dari Musa bin Thalhah [diriwayatkan] ia berkata: Aku bertanya kepada Zaid bin Kharijah, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw., beliaupun bersabda: Bershalawatlah atasku dan bersungguh-sungguhlah di dalam berdoa dan ucapkanlah: Ya Allah, berilah shalawat atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad.” [HR. an-Nasaa’i].
Bentuk-bentuk shalawat lainnya bisa dibaca pada kitab-kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, kitabkitab Sunan dan Musnad Ahmad bin Hambal.
Untuk shalawat Nariyah, menurut kami sebaiknya tidak perlu dibaca, mengingat di dalamnya terdapat lafal yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits Nabi saw dan Nabi saw pun tidak pernah mengajarkan shalawat seperti itu.
Mengenai kebijakan Pemerintah Daerah di tempat saudara yang menganjurkan membaca shalawat Nariyah pada setiap mengawali kegiatan, alangkah baiknya jika Pimpinan Muhammadiyah di tempat saudara dapat berkomunikasi dengan Pemerintah Daerah agar tidak menjadikan shalawat Nariyah sebagai kewajiban yang mengikat, bahkan bila perlu ditiadakan. Namun jika tetap diadakan, dapat diusulkan agar ada pilihan lafal shalawat sesuai pemahaman yang berkembang di masyarakat, tidak harus membaca shalawat Nariyah. Dengan demikian, warga Muhammadiyah dapat memilih lafal shalawat yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw seperti telah diuraikan di atas.
Hal ini bukan berarti orang yang tidak mau mengamalkan atau membaca shalawat Nariyah adalah orang yang tidak cinta kepada shalawat dan tidak mau bershalawat, tetapi ada perbedaan pendapat di sini tentang lafal shalawat yang dapat diamalkan dan dibaca. Dengan demikian, hendaknya Pemerintah Daerah dapat memahami adanya ragam pendapat yang berkembang di masyarakat tentang lafal shalawat ini, sehingga dapat membuat kebijakan yang bisa diterima oleh semua orang.
Wallahu a’lam bish-shawab.
—
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 9-10 tahun 2017