BUKITTINGGI, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Haedar Nashir, MSi menyampaikan Kuliah Umum di Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.
Haedar menyampaikan kuliah bertajuk “Politik Islam dalam Konstelasi Politik Nasional dan Global”. Menurutnya umat Islam tidak bisa menutup diri menghadapi pergulatan politik terutama perkembangan dunia yang berubah seperti sekarang ini. Terutama dengan perkembangan Tiongkok yang menjadi salah satu kekuatan adidaya.
“Jika umat Islam masuk pada orientasi politik yang miopik soal asing dan aseng tanpa melihat konstelasi dunia, maka akan berada pada suatu posisi yang semakin termarginalkan di tengah gelombang geopolitik,” tutur Haedar di Bukittinggi, Jum’at (6/9).
Di hadapan para mahasiswa dan dosen Pasca Sarjana IAIN Bukittinggi, Haedar mengungkapkan, dalam konteks politik Islam dunia pasca The Arab Spring, dunia Islam belum juga mengalami konsolidasi. “Bahkan antar negara Islam, sekarang kan relasinya, misal antara Arab Saudi dengan Qatar dan Iran itu punya tingkat ketegangan yang tinggi,” tuturnya. Mesir mengalami turbulensi politik sedemikian rupa. Begitu juga nasib Palestina, Pakistan serta OKI yang tidak berdaya untuk merekatkan dunia Islam.
“Di tengah situasi seperti itu, Suriah babak belur yang kita tidak tau kapan berakhirnya,” tutur Haedar. Saat itu juga ada perang antara Iraq dan Iran. “Muncul juga hantu baru bernama ISIS, dan ini sangat problematik,” imbuhnya. Ketika semua tokoh maupun analis politik percaya bahwa ISIS adalah buatan, tetapi anehnya ada pihak yang menerima ideologinya bahkan menyetujuinya.
Oleh karena itu, Haedar bertanya, mau berbuat apa politik dunia Islam? “Perubahan-perubahan dunia dan terjadinya konstruksi politik – ekonomi jangan pernah kita anggap biasa. Persis seperti kita membayangkan ketika terjadi konflik di tubuh republik ini karena politik dan lain sebagainya, padahal harganya terlalu mahal,” ungkapnya mengingatkan.
Haedar memberi contoh Soviet yang pernah berjaya saja pecah berkeping-keping. Begitu juga nasib Yugoslavia perlu menjadi menjadi perhatian bersama. “Gesekan dan dinamika politik apapun jangan mengorbankan Indonesia sebagai negara besar, dengan kemajemukannya, dengan tatanannya yang telah kita bangun,” ungkapnya.
Politik Islam, tutur Haedar, masih dalam proses ideologisasi yang lebih banyak masuk dalam berbagai perangkap politis dan belum beranjak pada agenda strategis untuk kemajuan yang spektakuler serta bagi kemajuan Islam itu sendiri.
Haedar menyebutkan terdapat tiga aliran dalam politik Islam yaitu Islamis Integralistik, liberal sekular, dan moderat. “Menyatukan tiga perspektif ini, di Indonesia saja tidak gampang,” tandasnya.
Indonesia, kata Haedar, jika menurut Muhammadiyah juga merupakan bentuk dari aktualisasi keislaman yakni darul hadi wa syahadah. “Hasil kesepakatan dan itu sejalan dengan Islam, karena Pancasila sebagai dasar negara juga sejalan dengan Islam,” kata Haedar.
Politik merupakan sebagai bagian dari muamalah duniawiyah. Sebagai bagian dari muamalah itu, politik harus dilihat dari dimensi kemajuan. Oleh karena itu politik harus ada value (nilai).
Dalam konteks realitas kehidupan kebangsaan, di Indonesia biarpun muslim mayoritas partai politik yang berlatar belakang Islam belum bisa berbuat banyak. “Kalau pola politik kita saling eksklusif sampai kapanpun konstruksi kemenangan akan tetap menjadi problem,” tutur Haedar.
Dalam konteks umat, masih menurut Haedar, perlu penguatan ekonomi. “Muslim Indonesia selama dhuafa mustadzafin secara ekonomi menjadi kelompok besar yang lemah sementara kekuatan ekonomi – politik dikuasai kelompok kecil,” kata Haedar. Perlu perjuangan yang berat bagaimana mengangkat derajat ekonomi umat ini.
Selain itu, lanjut Haedar, adalah penguatan sumberdaya manusia melalui pendidikan. Juga Haedar mengingatkan agar bangsa ini menaruh pergumulan politik dalam proporsinya dan tidak menggarapnya berlebihan (ghuluw). “Agar umat Islam tidak terpecah belah oleh ritus politik lima tahunan, karena itu sesuatu yang biasa dan jangan sampai satu sama lain saling menghancurkan, malah harus sebaliknya dengan culture saling mendukung yang harus menjadi budaya baru terutama bagi bagi anak-anak muda,” pungkasnya. (Riz)