Resonansi Muhammadiyah di Negeri “Bratwurst”

Resonansi Muhammadiyah di Negeri “Bratwurst”

Dok M Rokib/SM

Catatan Kunjungan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di München, Jerman

Oleh: Mohammad Rokib

Kerinduan warga Muhammadiyah Jerman akhirnya berbalas bahagia. Bagaimana tidak, setelah beberapa kali di periode ini belum berjodoh mengadakan pengajian bernilaikan kemuhammadiyahan, Sabtu (24/08) lalu, kehadiran KH Dr Abdul Mu’ti, MEd telah menggelorakan semangat berislam yang diperkaya dengan sentuhan saintifik. Bertempat di kota München, Jerman, seluru hadirin yang datang tampak khusyu‘ dan gayeng mendengar ceramah sang kyai yang penuh hikmah, padat pengetahuan, menyegarkan pikiran, disertai retorika yang jenaka. Jamaah yang hadir tentu saja tidak terbatas pada warga Muhammadiyah, melainkan juga dihadiri pengurus PCI NU Jerman dan warga Muslim München secara umum. Dalam kebersamaan inilah resonansi Muhammadiyah berpendar.

Binar kesejukan dan kemantapan hati tampak nyata terlihat pada aura setiap jamaah setelah mendengar ceramah Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini. Bahkan, seorang warga Muslim München asal Lombok berharap dan meminta untuk diadakan pengajian kembali atau pengajian online bila tidak memungkinkan secara tatap muka. Seorang jamaah Muslimah München juga sempat memberi komentar bahwa apa yang ingin ditanyakan dan menjadi ganjalan hatinya sudah terjawab oleh penjelasan sang kyai bahkan sebelum ibu ini bertanya.

Topik keislaman yang disampaikan dalam pengajian ini dirasakan sangat penting bagi Muslim Indonesia di negeri yang popular dengan jajan “Bratwurst”, yakni Jerman. Setelah acara dibuka oleh A. Muktaf Haifani selaku ketua PCIM Jerman Raya dan Hanson sebagai ketua panitia, kyai Mu’ti menyampaikan informasi perkembangan wacana kalender Islam global baik dari sisi teologis, praktis, maupun saintifik seraya menekankan pentingnya tafsir kreatif untuk “Muslim go beyond”. Beliau juga menyampaikan benang merah hasil dari pertemuan internasional pemuka agama untuk perdamaian dunia di Lindau, Jerman. Usai pengajian, atas fasilitasi wakil ketua PCIM Diyah Nahdiyati, warga PCIM Jerman mengajak kyai Mu’ti untuk rihlah madaniyyah dengan mengunjungi Allianz Arena, sebuah karya arsitektural stadion sepak bola yang sangat masyhur itu.

Urgensi Kalender Islam Global

Dalam pengajian tersebut, kyai Mu’ti menyampaikan pentingnya merancang penyatuan kalender Islam global bagi umat Muslim seluruh dunia. Menurutnya, kalender tersebut dapat menjadi perantara kerukunan sekaligus penguat rasa persatuan umat karena ada kepastian waktu kapan seorang Muslim memulai puasa dan terutama kapan merayakan hari raya Idul Fitri, khususnya di Indonesia.

Persoalan perbedaan kalender menjadi tidak sederhana tatkala umat Islam menentukan hari raya Idul Fitri. Potensi konflik antarorganisasi Islam dapat saja dengan mudah terjadi. Yang paling terasa, kata kyai Mu’ti, ketika suami Muhammadiyah dan istri NU, bisa bermasalah serius kalau Istri tidak memasak untuk suami yang sudah beridul fitri. Atau juga ketika orangtua berbeda saran kepada anaknya untuk ikut idul fitri hari ini atau besok, misalnya.

Dalam kasus Muslim yang tinggal di Jerman atau negara-negara empat musim lainnya, firman dalam surat Al-Baqarah menjadi teks yang penting untuk dimaknai secara proporsional nan kontekstual. “…wa kulụ wasyrabụ ḥattā yatabayyana lakumul-khaiṭul-abyaḍu minal-khaiṭil-aswadi minal-fajr, ṡumma atimmuṣ-ṣiyāma ilal-laīl.“ Ayat ini, kata Mu’ti, memerikan perlunya melihat benang hitam dan putih ketika fajar. Ditetapkan bahwa puasa dimulai saat fajar dan disempurnakan sampai malam. “Kalau di Indonesia tidak ada masalah karena siang-malam memiliki waktu relatif tetap. Tetapi di Jerman, akan problematik ketika memaknai malam, fajar, dan siang“, jelas Mu’ti. Memang, saat musim panas, suasana gelap hanya terjadi sekitar 4 – 5 jam saja mulai pukul 22.00 hingga 04.00. Sementara sebutan malam tetap dimulai pukul 18.00 atau 19.00 yang mana suasana masih terang benerang. Adapun pada musim dingin, suasana gelap terjadi sekitar 15 – 17 jam mulai pukul 16.00/17.00 hingga 07.00/08.00. Bila merujuk pada konteks siang dan malam, rentang waktu puasa pasti tidak sama dalam empat musim tersebut.

Umat Muslim mesti “Go Beyond“

Menilik fakta-fakta yang ada pada umat Muslim seluruh dunia, terdapat perihal substansial yang musti ditinjau kembali. Perihal tersebut adalah masalah khilafiyyah/furu’iyyah atau perbedaan pandangan, pendapat hingga beda praktik dalam berislam baik itu dalam ubudiyyah maupun muamalah. Muslim ada yang sunni dan syiah yang memiliki tata cara yang berbeda. Bahkan dalam sunni sendiri seperti di Indonesia, ada banyak perbedaan. Dijelaskan bahwa perbedaan semestinya menjadi hikmah, namun kenyataanya perbedaan kerap menjadi konflik dan perdebatan panjang hingga tenaga habis terkuras untuk berdebat yang tiada akhir.

Salah satu contoh dari hal tersebut adalah beda penentuan 1 syawal yang kerap terjadi setiap tahun. Berapa besar tenaga dan bahkan biaya yang dihabiskan. Oleh sebab itu, kata Mu’ti, perlu adanya refleksi mendalam untuk keluar dari kejumudan tersebut. Ia menekankan bahwa umat Muslim harus “go beyond“ melampaui berdebatan yang kurang konstruktif itu dan berpikir maju untuk peradaban umat manusia.

Dok M Rokib/SM

Masalah mutakhir untuk kasus kejumudan ini adalah adanya hadith yang mensyaratkan kehadiran (secara fisik) antara penjual dan pembeli dalam akad jual beli, misalnya. Nah, yang terjadi sekarang antara penjual dan pembeli sama sekali tidak bertatap muka dalam jual beli. “Orang yang di München (Jerman) bisa membeli barang dari penjual di Muntilan (Yogyakarta) lewat online shop (jual beli online)“, ujarnya. Islam dewasa ini menghadapi tantangan yang mau tidak mau butuh reinterpretasi dalam banyak hal sebagaimana contoh di atas.

Agar umat Muslim mampu berdaya gerak dan saing secara unggul untuk go beyond, diperlukan sebuah tafsir kreatif. Bukan untuk bermaksud mengkreasikan ajaran secara liar, tetapi tafsir kreatif itu untuk memahami teks-teks keislaman yang kompatibel dengan perkembangan jaman (salih li kulli makan wa zaman).

Lebih jauh lagi, umat Islam juga sangat perlu meninjau ulang perihal ajaran-ajaran pelestarian lingkungan atau yang belakangan ini menjadi isu perubahan iklim global (climate change) karena pemanasan global (global warming). Sangat penting ada banyak ahli-ahli lingkungan yang Muslim baik itu memiliki penguasaan teologis maupun ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang lingkungan.

Tanggung jawab Islam untuk Perubahan Iklim

Disadari atau tidak, tantangan dunia saat ini tidak lepas dari umur bumi dan masa depan semesta yang kian rapuh. Data dan bukti-bukti adanya iklim yang tak menentu dan panas yang tak terkendali di berbagai belahan bumi menunjukkan kaitan dengan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Di sinilah agama juga memainkan perang sangat strategis dalam mencegah kerusakan alam melalui ajaran-ajaran yang sudah ada.

Dalam Islam, kata Mu’ti, jelas sekali bagaimana kita dilarang untuk membuat kerusakan. Bahkan, beberapa surat dalam Alqur’an pun mengisahkan bagaimana efek bencana alam akibat ulah manusia. Tentu saja ayat-ayat itu belum cukup bila diabaikan begitu saja. Perlu ada para pakar lingkungan yang menekuni bidang-bidang ilmu alam agar semakin kokoh fondasi iman untuk kelestarian semesta ini.

Masalah kerusakan lingkungan jelas bukan tanggungjawab pemerintah atau pihak tertentu semata. Islam juga sangat bertanggungjawab untuk mendorong umatnya memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan pelestariannya. Para pemuka atau dai dapat menekankan ajaran pelestarian lingkungan ini melalui mimbar-mimbar masjid maupun majelis-majelis lainnya.

Rihlah Madaniyyah

Guna menyempurnakan pengajian yang berlangsung selama lebih dari 2 jam tersebut, acara makan siang ala Indonesia serta kunjungan ke tempat bersejarah, atau sejenis rihlah madaniyyah musti dilaksanakan. Bukan sekadar berwisata, rombongan PCIM Jerman Raya menilik bagaimana sejarah tim sepakbola Bayern München dari masa ke masa. Juga tentang bagaimana perkembangan arsitektural stadion megah itu di bangun.

Yang menarik dari rihlah ini, ada banyak sekali ibrah yang kiranya penting untuk direnungkan. Dari obrolan ringan rombongan, Muhammadiyah pun semestinya bisa memiliki tim atau klub sendiri untuk sepakbola. Tidak harus besar, tetapi bakat para generasi muda Muhammadiyah perlu mendapat tempat. Muhammadiyah juga dapat menjaring para pemain muda untuk dididik dan mungkin disalurkan ke kesebelasan yang resmi baik dari pemerintah daerah maupun timnas.

Rupanya, gagasan ini juga sudah menjadi agenda Muhammadiyah yang bakal digawangi oleh HW. Bagaimanapun, organisasi besar seperti Muhammadiyah memiliki potensi luar biasa dalam pengelolaan atau penjaringan pemain bola yang handal dari berbagai ranting se Indonesia. Seringkali bahkan, berdakwah lewat olahraga popular seperti sepak bola dapat menarik segmen generasi muda secara lebih akrab dan mengena. Belum lagi bidang lain seperti berdakwah lewat online/digital game, musik, pertunjukan, film, dan festival influencer youtube, kiranya perlu diperhatikan dalam era baru Muhammadiyah di usia yang melewati 1 abad ini.

Mohammad Rokib, Kandidat Doktor Universitas Frankfrut, Jerman

Exit mobile version