Muhammadiyah dan Big Data
Oleh: Kelik Nursetyo Widiyanto
Banyak tantangan dengan bonus demografi yang akan didapatkan Indonesia pada 10 tahun mendatang, salah satunya keberlimpahan informasi. Jika pada akhir abad ke-20 dunia dalam genggaman masih berupa wacana, kini dunia dan segala isinya bukan hanya digenggam tetapi berada di ujung jari. Ketika nama tidak lagi penting, diganti numeric kode barcode, maka secara tidak langsung nilai alamiah manusia telah mulai hilang. Manusia dikendalikan angka biner 1 dan 0.
Relasi manusia dan teknologi menjadi wacana diskusi sejak revolusi industri yang menempatkan manusia sebagai bagian dari mesin. Tiada lagi kehendak manusia, yang ada manusia sebagai alat produksi. Mesin menggantikan fungsi fisiologis tubuh yang terbatas. Traktor diciptakan karena keterbatasan tangan untuk mencangkul. Telepon diciptakan karena keterbatasan pendengaran manusia. Kendaraan diciptakan karena keterbatasan kaki untuk melangkah. Mesin diciptakan memenuhi kebutuhan manusia yang ingin serba: serba cepat, serba besar, serba luas, dan serba jauh.
Di era gelombang keempat (fourth wave), bukan lagi fisiologis yang dipindahkan, tetapi sumber perintahnya yang diduplikasi. Artificial intelligent memerintahkan mesin-mesin. Mesin tidak lagi mengikuti perintah manusia, tetapi ia memiliki kecerdasannya sendiri. Manusia semakin terpisahkan dari teknologi.
Keberlimpahan Informasi
Dalam gelombang keempat ini pula, keberlimpahan informasi lebih banyak beredar di dunia maya daripada di dunia nyata. Manusia seakan masuk ke dalam rimba tak bertuan yang tak memiliki aturan dan norma. Padahal aturan dan norma adalah ciri manusia modern. Dengan aturan dan norma, manusia memiliki kesadaran untuk saling menghormati dan menghargai sesama. Walau perang hingga sekarang tak berhenti tetapi pesan perdamaian tetap banyak digaungkan. Ironinya, perang dianggap salah satu cara mencapai perdamaian.
Keberlimpahan informasi ini merevolusi tatanan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang telah berjalan ratusan tahun. Sama halnya saat revolusi industri berjalan terjadi gegar budaya di berbagai lapisan masyarakat. Karena itu diperlukan aturan dan norma khusus bagi pengguna internet sebelum berselancar di dalamnya.
Sejatinya, mayoritas pengguna internet lebih banyak berperan sebagai pengguna pasif. Artinya mereka hanya menggunakan berbagai aplikasi yang telah ada. Banyak template yang tersedia dan kita tinggal menggunakannya. Di sisi lain, secara tidak sadar mereka telah dikapitalisasi untuk keuntungan beberapa pihak saja. Itu tidak salah, tetapi para pengguna perlu diedukasi agar tidak terjebak sehingga merugikan dirinya sendiri.
Satu yang menjadi perhatian penulis adalah apa yang disimpan di internet akan terekam dan banyak orang tidak menyadari itu. Jejak rekam digital ini bagi sebagian orang yang pragmatis oportunis menjadi ladang usaha yang bisa menguntungkan. Banyak pengguna yang tidak peduli dengan big data yang isinya adalah apa yang mereka jelajahi di dunia internet ini. Bagi penulis, big data is a big resource, tergantung pada orang yang memilikinya akan digunakan untuk apa. Seperti belati bermata dua, bisa untuk menolong atau membunuh.
Dalam kontestasi politik nasional sekarang ini, mereka yang memiliki kepentingan dengan sumber daya Indonesia telah mengetahui siapa yang akan memenangkan kontestasi ini. Atau bahkan, mereka sedang bertarung di dunia maya untuk mengolah para swing voter untuk diarahkan memilih siapa. Lebih jauhnya, mereka akan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya untuk meretas IT KPU. Seaman apakah jaringan internet yang dimiliki KPU hingga tidak bisa diretas pihak luar.
Bagi penulis, big data warga Indonesia adalah nasionalisme kekinian. Artinya, pemerintah wajib melindungi data warganya hingga tidak bisa dijadikan sumber pengolah data untuk mengambil kebijakan negara lain terhadap Indonesia. Bila dulu pers dijadikan alat untuk mencari data yang ada di negeri ini, maka kini warganya sendiri yang menyerahkan data pribadinya kepada aplikasi yang servernya di luar negeri. Secara tidak langsung negara lain diberikan data secara gratis. Mungkin, data itu tidak digunakan saat ini, tetapi bisa jadi digunakan kapan saja di waktu yang tepat ketika mereka membutuhkan.
Big Data Muhammadiyah
Rasanya diperlukan edukasi kepada dua pihak, pertama pihak pemerintah agar menjaga data warganya yang terekam dalam berbagai aplikasi yang dimiliki oleh pihak luar negeri. Bisa saja negara berhak untuk mewajibkan para pemilik aplikasi itu tidak membawa keluar data warganya, misalnya dengan penggunaan server di dalam negeri. Kedua, mengedukasi warga dunia maya negeri ini untuk hati-hati dan waspada dengan data yang diunggahnya di berbagai aplikasi itu. Sebab, apa yang mereka unggah akan menjadi data yang terekam dan jejak digital itu akan terus ada.
Bila pemerintah tak mampu mengurus negara ini, serahkan kepada Muhammadiyah untuk mengurusnya. Pameo ini ada karena Muhammadiyah sebagai organisasi massa yang telah berusia lebih dari satu abad dan seperti replika dari pemerintahan yang ada di negeri ini. Bahkan Muhammadiyah terlibat secara langsung dalam membidani negeri ini, sehingga ada “saham” Muhammadiyah dalam tata aturan pemerintahan. Di sisi lain, Muhammadiyah mesti bertanggungjawab sebagai bidan untuk menjaga bayi ini tetap sehat dan menjadi negara digdaya.
Termasuk dalam hal ini adalah menyelamatkan big data warga dan asset Muhammadiyah. Asset yang trilyunan itu membuat ngiler banyak pihak. Mereka mengincar baik dari sisi ekonomi hingga politik. Selama ini data mereka tercecer di berbagai aplikasi baik yang dimiliki pemerintah, swasta maupun di Muhammadiyah sendiri. Sebagai organisasi Islam modern, maka sudah selayaknya bila Muhammadiyah berpikir revolusioner dalam menyelamatkan data.
Muhammadiyah mesti menunjukan nasionalismenya dengan menyelamatkan data warganya agar tidak menjadi konsumsi bangsa asing yang digunakan untuk menyerang bangsa kita. Pertama, Muhammadiyah membentuk pokja penyelamat big data Muhammadiyah. Banyak sekali warga Muhammadiyah yang memiliki kemampuan IT untuk melakukan itu. Tinggal PP menggulirkan kebijakan penyelamatan big data Muhammadiyah kepada pokja tersebut. Big data Muhammadiyah itu mulai dari SDM, asset, dan sebagainya.
Kedua, Muhammadiyah memiliki aplikasi untuk menyelamatkan big data tersebut dengan server yang dimiliki sendiri, tentunya dengan high security yang teramat sangat ketat. Sejatinya, Muhammadiyah mampu membangun server mandiri. Memiliki satelit sendiri pun bisa dilakukan Muhammadiyah. Artinya, Muhammadiyah tidak mengalami kendala berarti dalam hal ini.
Ketiga, mengedukasi warga Muhammadiyah untuk menggunakan aplikasi dengan bijak sehingga tidak mudah mengunggah data mereka. Kalau memungkinkan, warga Muhammadiyah diarahkan untuk mengunggah data tersebut di aplikasi yang dimiliki oleh Muhammadiyah.
Di abad keduanya ini, Muhammadiyah mesti masuk dalam dunia maya ini bukan sebagai pengguna lagi tetapi pengambil kebijakan dan keputusan. Sudah saatnya Muhammadiyah sebagai organisasi modern tidak ketinggalan zaman dengan dunia biner ini. Sebab, dunia biner tidak memandang strata sosial, pendidikan dan agama. Siapa yang lebih cerdas maka dia akan menguasai; dan siapapun bisa memasukinya secara bebas.
Kelik Nursetiyo Widiyanto, Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Jawa Barat
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 10 tahun 2019