Kekuatan Muhammadiyah hingga bertahan satu abad lebih antara lain karena kelekatan angota, kader, dan pimpinannya yang diikat dalam organisasi yang terkonsolidasi baik. Dalam bahasa dan makna yang ringkas disebut karena fajtor kebersamaan. Keberhasilan Muktamar Muhammadiyah ke-47 maupun Muktamar Satu Abad Aisyiyah, tidak lain karena kekuatan kebersamaan itu.
Dengan kebersamaan yang kental dan tersistem itulah maka dapat dikatrol dua hal sekaligus. Pertama, seluruh jaringan organisasi dengan para pelakunya dapat diikat dalam satu kesatuan gerak yang bernama persyarikatan, yakni tempat berserikat sehingga Muhammadiyah laksana satu rumah besar yang utuh. Dalam bahasa bisnis disebut Holding Company. Gerak komando Muhammadiyah menjadi terpusat dan teratur rapih, sehingga benar-benar solid dan menumbuhkan budaya organisasi yang tersistem kuat.
Hal kedua, Muhammadiyah dengan sistem organisasinya yang bersifat kesatuan, maka terdapat mekanisme penyelesaian masalah yang relatif baik manakala terjadi konflik atau permasalahan di tubuh organisasi ini. Konflik atau masalah akan lebih terkontrol dan termediasi oleh sistem berjenjang, sehingga lebih mudah terlokasilasi atau teredam. Karenanya jarang konflik terjadi berkepanjangan, kecuali oleh satu atau sekian faktor yang sudah terlalu rumit.
Kebersamaan dalam Muhammadiyah dibangun secara kultural maupun struktural. Artinya secara personal dan kolektif ikatan satu jamaah dalam persyarikatan secara perlahan tetapi pasti terus terbentuk melalui internalisasi dan sosialisasi yang berkesinambungan. Bahwa setiap anggota harus menjadi bagian utuh dari organisasi yang dibangun secara kolektif-kolegial. Dalam kepemimpinan Muhammadiyah bahkan karakter kolektif-kolegial itu sangat menonjol hingga dikenal luas ke masyarakat.
Kebersamaan dalam Muhammadiyah memperoleh perekat dalam keyakinan keagamaan. Bahwa setiap orang dalam gerakan Islam yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan ini direkat dalam spirit silaturahim, ukhuwah, dan ta’awun yang dilandasi berjuang ikhlas karena Allah. Keikhlasan dalam bersilaturahim, berukhuwah, dan berta’awun itu diuji tatkala menghadapi persoalan, perbedaan, dan godaan kepentingan yang harus diselesaikan dengan prinsip kebersamaan yang mengedepankan musyawarah, saling mencari titik temu, win-win solution, dan tidak menang-kalah. Jiwa kebersamaan seperti itulah yang membesarkan Muhammadiyah selama ini.
Muhammadiyah itu dikenal mengedepankan musyawarah dengan semangat kebersamaan sebagaimana keberhasilan dalam muktamarnya di Makassar yang dipuji masyarakat luas sebagai teladan. Muhammadiyah menjadi solid seperti itu karena mampu mempertahankan dirinya sebagai organisasi dakwah dan kemasyarakatan, bukan sebagai organisasi politik.
Watak politik praktis dalam bermuhammadiyah bukanlah bagian dari karakter gerakan Islam ini. Sebutlah seperti sifat suka memaksakan kehendak, memicu konflik, ngoto-ngototan dan sifat-sifat keras lainnya yang suka membikin gaduh. Mungkin sifat gaduh, ngotot, dan menang-menangan ala demikrasi liberal itu untuk ukuran partai politik merupakan hal lumrah, tetapi di dalam Muhammadiyah watak serbabebas dan keras seperti itu tidaklah lazim dan tidak perlu dikembangkan.
Muhammadiyah teduh dan tidak gaduh tentu akan menjadi dambaan dan contoh teladan bagi banyak orang, yang selama ini memang melekat dalam gerakan Islam modernis ini. Dengan semangat kebersamaan yang menciptakan suasana teduh maka Muhammadiyah akan lebih memiliki peluang luas untuk bekerja secara produktif dan konkret dalam melaksanakan amanat Muktamar yang sangat berat. Dengan sedikit bucara tetapi banyak bekerja, ujar Presiden Soekarno, Muhammadiyah mampu memodernisasi dan memmajukan umat dan bangsa. Semoga!