Mayoritas yang Percaya Diri

Aksi Akbar 212

Oleh: Hajriyanto Y Thohari

MESKI minoritas secara angka, orang-orang Katolik di Indonesia diakui oleh Karel Steenbrink dalam bukunya Catholics in Indonesia 1802-1942: The Spectacular Growth of a Self-Confident Minority 1903-1942, sangatlah percaya diri. Dalam buku yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Orang-Orang Katolik Di Indonesia 1808-1942: Pertumbuhan yang Spektakuler dari Minoritas yang Percaya Diri 1903-1942, jilid 2 (Penerbit Ledalero, Maumere, 2006), Steenbrink, guru saya di jurusan Ilmu Perbandingan Agama di IAIN Yogyakarta pada 1980-an dulu, mengatakan hal itu tanpa tedeng aling-aling, bahkan sampai dijadikan judul buku dua jilid tebal (jilid 2 terdiri dari 977 halaman!).

Sementara orang-orang Islam justru kebalikannya: mayoritas yang tidak terorganisasi. Kekuatan Islam dewasa ini, demikian kata Arief Budiman dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005 (Freedom Institute, 2006, hlm. 4), masih merupakan kekuatan kelompok solidaritas belaka, belum terorganisasi secara politik dengan baik. Apalagi kelompok ini tidak menguasai sumber daya ekonomi yang kuat. Dengan demikian, kata Arief, kekuatan kelompok Islam lebih merupakan kekuatan potensial, bukan aktual.

Adalah benar belaka bahwa kelompok kekuatan potensial yang tidak terorganisasi dengan baik dan tidak ditopang dengan sumber daya ekonomi akan dikalahkan oleh kekuatan kelompok lainnya yang terorganisasi dengan baik yang ditopang oleh sumber daya ekonomi yang kuat. Dan di era kemajuan informasi dan komunikasi ini, kekuatan kelompok yang memegang sumber daya ekonomi akan dengan mudah ditransformasikan menjadi kekuatan politik yang kuat. Ditopang kekuatan media yang maha kuasa sehingga menjadi mesin yang sangat efektif untuk membentuk opini publik. Walhasil, umat Islam berhasil secara gemilang diopinikan sebagai kelompok fanatik, konservatif, ortodoks, ekstrimis, fundamentalis, bahkan teroris!

Indonesian Muslim men attend Friday prayer at Istiqlal mosque, the biggest in Southeast Asia, in Jakarta, Indonesia, Friday, Sept. 12, 2008. (AP Photo/Irwin Fedriansyah)

Dalam konteks dan perspektif itu, maka unjuk rasa (dan gigi sekaligus!) umat Islam pada 4 November 2016 (411) dan 2 Desember 2016 (212) kemarin benar-benar fenomenal dan spektakuler. Tanpa dukungan NU yang melarang secara resmi warga nahdliyyin turun berdemo, dan tanpa sokongan Muhammadiyah yang melarang penggunaan atribut organisasi saja dalam relly tersebut, kelompok Islam berhasil mengharu-biru ibukota Jakarta dan hampir seluruh kota di Indonesia. Bisa dibayangkan, betapa dahsyatnya aksi umat Islam tersebut jika dua organisasi besar itu turun dan mendukung tanpa tedeng aling-aling pula!

Umat Islam yang tidak menguasai sumber daya ekonomi itu ternyata bisa juga memobilisasi masa sebesar itu. Wajah-wajah polos dan ikhlas itu menuntut dilakukannya proses hukum atas (dugaan?) penistaan kitab suci Al-Qur’an oleh Basuki Tjahaya Purnama. Tentu, bahkan pasti, ada wajah-wajah di luar itu. Mustahil masa ratusan ribu itu murni sama sekali. Tentu ada juga anasir yang membawa kepentingan-kepentingan yang lain: bisa politis, bisa juga kemasyhuran. Godaan bukan hanya tahta, harta, dan wanita, tetapi bisa juga, seperti kata ungkapan Inggris, “Fame is bee”. Kemasyhuran adalah godaan.

Tapi apa pun sulit untuk membantah bahwa umat Islam yang selama ini hanya dianggap sebagai kekuatan mayoritas angka dan minoritas teknis yang dipandang sebelah mata, mampu memobilisasi massa sebesar itu dengan tertib, disiplin, dan super damai.

Sinisme yang menyelimuti prolog gerakan 411 dan 212 bahwa demonstrasi ini akan rusuh, darah tertumpah, dan menimbulkan kerusuhan SARA, merusak kebhinnekaan, mengancam NKRI, dan tuduhan-tuduhan lain semacam itu, gembos segembos-gembos-nya. Tak ayal lagi fenomena ini membuat hati golongan Islam membuncah meraih kepercayaan diri yang luar biasa. Bagi kelompok yang kekuatannya disebut hanya dalam taraf potensial dan tidak aktual, optimisme itu menjadi masuk akal dan wajar-wajar saja.

Ke depan, umat ini harus tampil lebih percaya diri seperti saudara-saudaranya dari kalangan Katolik itu. Dengan kepercayaan diri yang membuncah semata tentunya tidak cukup. Langkah pengorganisasian umat harus juga semakin dimantapkan. Sekarang ini, umat belum sadar betapa pentingnya organisasi. Sementara, organisasi-organisasi yang ada juga belum mampu membuktikan dan meyakinkan umat bahwa organisasi itu penting dan perlu. Ada ungkapan Arab bahwa “Kebenaran yang tidak terorganisasi akan dikalahkan kebathilan yang terorganisasi”. Islam itu kebenaran, tapi kalau tidak terorganisasi ya akan kalah.

Maka, agar umat ini kuat dan percaya diri, harus diorganisasi dengan baik. Sementara organisasi-organisasi Islam yang ada juga dituntut untuk membuktikan bahwa kehadiran dirinya memang penting dan perlu. Semoga!

Hajriyanto Y Thohari, Wakil Ketua MPR RI 2009-2014, Ketua PP Muhammadiyah 2015- 2020

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2017

Exit mobile version