Oleh: Mu’arif
Pada sekitar tahun 1970-an, kajian-kajian penelitian tentang Islam di Indonesia mengerucut pada dua model keislaman: tradisionalis dan modernis. Kelompok tradisionalis direpresentasikan oleh organisasi Nahdhatul Ulama (NU) dan modernis direpresentasikan oleh Muhammadiyah. Identitas model keislaman keduanya dikuatkan dengan model institusi pendidikan masing-masing: NU dengan pesantrennya dan Muhammadiyah dengan sekolahnya. Tampaknya, saat ini peta kajian keislaman di Indonesia sudah berubah. Sebab, tidak hanya Muhammadiyah yang mengelola sekolah, tetapi NU pun saat ini sudah memiliki lembaga pendidikan modern bernama sekolah. Sebaliknya, tidak hanya NU yang mengelola pesantren, tetapi Muhammadiyah pun kini mengelola lembaga pendidikan tradisional bernama pesantren. Akan tetapi, konsepsi pondok pesantren dalam perspektif Muhammadiyah tetap dalam rambu-rambu modernitas, sehingga tidak serupa dengan konsepsi pesantren dalam perspektif NU seperti yang direpresentasikan dalam RUU Pesantren.
Pondok Muhammadiyah
Melacak akar historis munculnya lembaga pendidikan pesantren di Muhammadiyah sebenarnya sudah dimulai sejak masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan. Memang model sekolah modern yang menjadi program utama Muhammadiyah generasi awal. Terbukti, dari empat departemen yang dibentuk pertama kali di Muhammadiyah (1920), terdapat departemen pengajaran (bagian pengajaran) yang dikomandani oleh Haji Hisyam. Lewat departemen inilah program pengembangan sekolah Muhammadiyah berkembang pesat. Namun perlu disadari, bahwa sejak 1918, ketika kebutuhan akan tenaga guru agama di Muhammadiyah semakin mendesak, KH Ahmad Dahlan mendirikan Al-Qismul Arqa, sebuah kelas khusus yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Dari Al-Qismul Arqa inilah yang menurut H.Mh. Mawardi (1977) sebagai cikal bakal Pondok Muhammadiyah.
Menurut Karel A. Steenbrink (1986: 55), pada tanggal 8 Desember 1921, Muhammadiyah telah mendirikan Pondok Muhammadiyah sebagai lembaga pendidikan khusus yang mencetak para guru agama. Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun 1923, Pondok Muhammadiyah berubah menjadi Kweekschool Muhammadiyah, lalu berubah pada tahun 1932 menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah hingga kini.
Sesungguhnya, Pondok Muhammadiyah yang didirikan tahun 1921 berbeda modelnya dengan pondok pesantren salaf pada umumnya. Sekalipun materi yang diajarkan seluruhnya tentang agama Islam dan menggunakan sistem pondokan (internaat), tetapi manajemen yang diterapkan berbeda sama sekali dengan pondok pesantren pada waktu itu.
Menurut Zamakhsyari Dhofier (2011: 79), elemen-elemen utama pondok pesantren salaf meliputi: pondokan, masjid, pengajian kitab kuning, santri, dan kehadiran sosok kyai. Pondokan berfungsi sebagai penginapan dan sekaligus sarana belajar yang diintegrasikan dalam kultur pondok. Masjid menjadi simbol dan sekaligus tempat mengaji para santri. Kitab kuning menjadi sumber utama ilmu pengetahuan. Santri berperan sebagai siswa atau pencari ilmu. Adapun sang kyai memegang otoritas penuh kepemimpinan pondok pesantren dan sekaligus menjadi guru utama yang menjadi sumber ilmu pengetahuan.
Berbeda dengan pondok pesantren salaf pada umumnya, maka Pondok Muhammadiyah sekalipun memiliki pondokan, masjid, dan santri, tetapi tidak sekedar mengajarkan kitab kuning. Kitab-kitab dari para ulama khalaf, bahkan buku-buku yang ditulis oleh para sarjana modern menjadi rujukan dalam proses pembelajaran. Di Pondok Muhammadiyah tidak ada figur sang kyai dengan otoritas penuh, tetapi peran ini telah digeser oleh sistem dengan menempatkan pucuk pimpinan Pondok sebagai Direktur (Mudir) yang hanya mengelola manajemen lembaga pendidikan.
Standardisasi Pesantren
Munculnya gagasan standardisasi lembaga pendidikan pesantren menjadi relevan dalam konteks pembaruan pendidikan di Muhammadiyah. Tulisan saudara Muhbib Abdul Wahab dengan judul “Standardisasi Pendidikan Pesantren” (Republika, 20/10) tentunya cukup relevan dalam konteks ini. Menurut sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah ini, tantangan dan kompetisi global yang kian kompleks dan berat menuntut setiap lembaga pendidikan, baik sekolah, madrasah, maupun pesantren untuk dapat menghasilkan output sumber daya manusia yang berkualitas.
Dengan standardisasi sistem pendidikan pesantren, maka proses penyelenggaraan pendidikan akan lebih visioner, memiliki tata kelola yang baik, kredibel, akuntabel, dan transparan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik (masyarakat) terhadap lembaga pendidikan ini. Maka Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah menawarkan konsep baru “Pesantren Berkemajuan” sebagai model dan sekaligus identitas lembaga pendidikan berbasis agama yang diusung oleh Muhammadiyah saat ini.
Dengan demikian, berdasarkan tinjauan sejarah, sebenarnya Muhammadiyah menyelenggarakan lembaga pendidikan pesantren masih memiliki akar historis yang cukup kokoh. Memang dalam perkembangannya, Muhammadiyah lebih fokus pada pengembangan model sekolah modern. Akan tetapi, sejak pertama kali Muhammadiyah berdiri, sudah muncul cikal bakal lembaga pendidikan pesantren yang dikelola secara khusus dan terbatas.
Upaya Muhammadiyah memodernisasi lembaga pendidikan pesantren merupakan langkah yang tepat dan sudah dalam koridor yang benar sebagai organisasi pembaru. Sekalipun saat ini Muhammadiyah melirik pengembangan lembaga pendidikan pesantren, namun organisasi ini tetap menawarkan konsep-konsep pembaruan sekolah untuk menjawab tantangan zaman dan kebutuhan umat Islam.
Mu’arif, Mahasiswa Program Doktoran UIN Sunan Kalijaga, penulis buku Modernisasi Pendikan Islam: Sejarah dan Perkembangan Kweekschool Moehammadijah 1923-1932.