Beberapa waktu lalu, tukang service elektronik yang dituduh mencuri amplifier sebuah masjid tewas dibakar massa. Untuk sejenak, seluruh masyarakat gempar. Aneka analisa dan argumen tentang peristiwa itu memenuhi media sosial dan media mainstream. Namun, setelah itu masyarakat kembali lupa, tidak ada yang mau tahu bagaimana kelanjutan hidup anak dan istri Bapak yang bernasib malang itu.
Peristiwa kekerasan dan kebrutalan seperti terus berulang dengan pola yang hampir sama. Pencuri, penjambret, ataupun orang yang baru dituduh mencuri dan menjambret selalu babak belur dihakimi massa. Aneka jenis kebrutalan dan kesadisan semacam itu seakan telah menjadi budaya yang layak untuk dipertontonkan.
Kenyataan ini harus dikatakan sebagai sebuah ironi bagi bangsa yang berpancasila ini. Sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, selama ini Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, lembut, penuh tatakrama. Walaupun juga mengenal istilah “amuk”, istilah itu hanya akan keluar pada saat paling akhir. Ketika tidak ada alternatif lain untuk mempertahankan harga diri dan kehormatannya sebagai manusia yang mulia dan berdaulat.
Namun, dalam dua puluh tahun terakhir ini, amuk justeru ditaruh pada barisan paling depan. Bukan untuk membela martabat kemanusiaan tapi justeru untuk menghancurkan rasa kemanusiaan.
Seluruh ruang publik dicengkeram suasana amuk. Media sosial dipenuhi ungkapan kemarahan yang memproduksi berbagai ujaran kebencian. Bahkan agama juga dijadikan alat sekaligus sasaran kemarahan.
Kasus terbakarnya Mushala dan Gazebo PAUD di Kompleks Perkantoran PCM Banguntapan Selatan Kabupaten Bantul hanya merupakan salah satu contoh yang nyata dari fenomena ini.
Anak bangsa terus tumbuh dalam suasana yang keras dan sepi dari didikan jiwa ksatria. Hero baru yang dipuja bukanlah pahlawan yang menolong sesama, tetapi yang disebut pahlawan adalah yang mempertontonkan amuk dan kebrutalannya setiap hari.
Oleh karena itu, masyarakat hanya bisa terhenyak ketika Budi, seorang guru harus mati setelah dianiaya muridnya sendiri. Hanya terhenyak. Tanpa bisa berbuat apa-apa.
Dalam tarikan nafas yang sama, institusi sekolah yang seharusnya menjadi lembaga yang dapat mencerahkan akal-budi generasi seakan lunglai tanpa daya. Fenomena klithih juga semakin menggejala di berbagai kota. Klithih dapat disebut kekerasan model baru yang paling tidak jelas motifnya selain keisengan semata. Sekelompok anak muda keluar di malam hari dengan membawa senjata tajam dan menebas korban secara acak tanpa tujuan.
Kita tetap percaya para guru dan seluruh pengelola sekolah (apalagi sekolah Muhammadiyah) sudah sangat serius mendidik para muridnya agar menjadi insan yang mulia.
Namun demikian, kita tidak bisa tinggal diam, aneka bentuk kekerasan yang semakin tidak masuk akal sebabnya itu harus segera dihentikan. Dari diri kita sendiri, dari keluarga kita, dari sekolah kita, juga dari masyarakat kita. (isma)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 8 Tahun 2018