Celaan terhadap Sikap Oportunis

Menjelaskan Hadits

Foto Dok Ilustrasi

Celaan terhadap Sikap Oportunis

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَجِدُونَ مِنْ شَرِّ النَّاسِ ذَا الْوَجْهَيْنِ، الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ، وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ (رواه البخاري ومسلم)

Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Kalian akan menjumpai seburuk-buruk manusia, yaitu orang yang bermuka dua (oportunis), dia datang ke sini dengan satu sikap dan bila datang ke yang lain dengan sikap yang lain.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Islam menghendaki umatnya untuk merealisasikan sikap mulia dalam kehidupan, sebagai manifestasi keimanannya kepada Allah. Sebaliknya, seorang muslim harus menancapkan komitmen yang kuat dalam hatinya untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat mengkontaminasi statusnya sebagai orang yang beriman. Perbuatan tercela yang dilakukan oleh orang muslim tak hanya menjadi penyebab dia mendapat dosa, tapi juga akan berefek pada kerenggangan hubungan baiknya dengan sesama manusia.

Tabiat manusia yang berrmuka dua (oportunis) adalah salah satu sifat tercela yang sangat dibenci dalam Islam, sehingga pelakunya dicap sebagai seburuk-buruk manusia di sisi Allah, sebuah label yang tak diinginkan oleh setiap manusia tentunya. Terlebih lagi label itu diberikan oleh Rasulullah, sebagai indikator ketidaksenangan beliau terhadap perbuatan yang tak terpuji ini.

Menurut Imam an-Nawawi, orang yang bermuka dua adalah orang yang datang kepada satu kelompok dengan menampakkan bahwa dirinya bagian dari mereka dan berseberangan dengan pihak lawannya. Tetapi ketika datang kepada kelompok lain, dia melakukan hal yang serupa (Syarh Shahih Muslim, hlm. 156). Tipikal orang seperti ini sangat berbahaya dan harus diwaspadai, ia ibarat musuh dalam selimut yang amat licik memanfaatkan peluang untuk mendapatkan keuntungan dari kedua belah pihak yang dia dekati.

Orang oportunistis ibarat bunglon yang tak punya pendirian tetap, mudah terpengaruh oleh ucapan orang lain. Sikapnya cenderung plin-plan dan memihak ke sana sini, karena yang terpenting baginya adalah meraup keuntungan bagi pribadinya dalam segala kondisi. Dia tak segan-segan “menjilat” agar terlihat baik di mata orang. Di hadapan satu golongan, dia menampakkan wajah sumringah yang dibumbui dengan sanjungan dan pujian penuh kepalsuan, hingga terkesan seakan-akan bersimpati terhadap mereka. Tapi di hadapan golongan yang lain, dia menghasut dan menjelek-jelekkan mereka, suatu sikap yang bertolak belakang dengan realita sesungguhnya.  Mereka seperti musang berbulu ayam yang berpura-pura berbuat baik, tapi ada motif tertentu yang tersembunyi di balik kebaikannya itu.

Memasuki tahun politik, biasanya orang-orang yang bermuka dua akan bermunculan ke permukaan. Hiruk-pikuk politik menjelang suksesi kepemimpinan benar-benar dimanfaatkan. Di panggung-panggung kampanye, para elit politik yang yang berlaga dalam pesta demokrasi begitu lantang menyuarakan program pro rakyat di hadapan khalayak ramai. Orasi politiknya cukup memukau dengan susunan kata yang apik dan meyakinkan bahwa hanya dirinya yang paling peduli dengan segala macam problematika kerakyatan dibandingkan dengan kontestan lain. Tujuannya tidak  lain adalah mendulang dukungan suara dari masyarakat untuk mempermulus jalannya menggapai puncak kekuasaan.

Namun, ketika kursi “empuk” kekuasaan berhasil didudukinya, janji tinggal janji. Hasrat politiknya sudah tercapai, sehingga terkadang begitu mudah melupakan janji-janji manis yang telah terlanjur diumbar kepada para pendukungnya. Lebih ironi lagi manakala dia membuat kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat yang telah menyumbangkan suara mereka dengan segudang harapan yang digantungkan di pundaknya.

Acaman bagi yang bermuka dua bukan hanya dicap sebagai seburuk-buruk manusia, tapi juga akan dijebloskan ke dalam neraka dan diberi dua mulut dari api neraka yang menyala-nyala, sebagai balasan setimpal terhadap kelakuannya semasa hidup di dunia. Rasulullah bersabda:

عَنْ عَمَّارٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَانَ لَهُ وَجْهَانِ فِي الدُّنْيَا، كَانَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِسَانَانِ مِنْ نَارٍ (رواه أبو داود)

Dari Ammar, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda:“Barang siapa  yang mempunyai dua muka di dunia, maka pada hari kiamat kelak dia akan diberi dua mulut dari api neraka.” (HR. Abu Dawud)

Rasulullah  juga menegaskan bahwa bahwa orang bermuka dua adalah tipologi manusia yang tidak bisa dijadikan sebagai orang kepercayaan. Mereka tak pantas menjadi sahabat setia, karena tanpa disadari terkadang mereka menjadi kaki tangan musuh yang ditugaskan untuk mematai-matai. Mereka berbaur dan pura-pura akrab dengan maksud mencari informasi sedetail mungkin. Setelah itu dia akan menyampaikan ke pihak yang menjadi  backingnya  untuk mendapat bayaran atas jasa “licik”nya mencuri informasi-informasi penting. Rasulullah Saw bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَنْبَغِي لِذِي الْوَجْهَيْنِ أَنْ يَكُونَ أَمِينًا  (رواه البيهقي)

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Tidak seyogyanya bagi orang yang bermuka dua untuk dapat dipercaya.” (HR. Al-Baihaqi)

Perangai orang bermuka dua ini telah diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Penyakit munafik telah bersarang dan tumbuh kembang dalam hati mereka, terbukti dengan kelihaian mereka melancarkan tipu muslihat kepada kaum muslimin. Mereka menampakkan keimanannya ketika bersama dengan orang-orang beriman, mereka berdiri satu shaf bersama kaum muslimin dalam shalat jamaah, padahal itu hanyalah kedok belaka untuk mengelabuhi kaum muslimin. Allah berfirman:

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ (البقرة [٢] :١٤)

“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.” (Q.S. al-Baqarah [2] : 14). Wallahu A’lam.

Safwannur, Alumnus Ponpes Ihyaaussunnah Lhokseumawe, Aceh dan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 22 Tahun 2018

Exit mobile version