Laksamana Cheng Ho: Menjelajah Dunia, Menyebarkan Islam
Oleh : Muhammad Yuanda Zara
Laksamana Cheng Ho (dikenal pula sebagai Zheng He atau Kasim San Bo) merupakan Muslim Tionghoa yang paling terkenal di dunia. Berasal dari etnis minoritas di Tiongkok, Hui (mayoritas Muslim), ia melakukan penjelajahan yang hanya bisa dilakukan sedikit orang di zamannya di abad ke-15. Dari daratan Cina ia berlayar menuju Sumatra dan Jawa, Asia Selatan dan Barat hingga akhirnya mencapai pantai timur Afrika. Kini, representasi dirinya, mulai dari nama hingga patungnya, bisa ditemukan di berbagai tempat, mulai dari Stadthuys Museum di Malaka hingga sebuah masjid yang memakai namanya di Surabaya.
Cheng Ho lahir pada tahun 1371. Orang tuanya memberinya nama Ma He (‘Muhammad’ dalam bahasa Cina). Ia berasal dari Yunnan di barat daya Cina, dengan silsilah keluarga yang bisa dilacak hingga Mongol, Arab dan Persia. Ayah dan kakeknya adalah penganut Islam yang taat dan telah menunaikan ibadah haji ke Makkah. Pengalaman naik haji ayahnya, yang dilakukan dengan kapal dalam waktu yang cukup lama dan menempuh jarak yang cukup jauh untuk ukuran zamannya menumbuhkan ketertarikan pada petualangan ke luar negeri dan pada interaksi lintas budaya pada diri Cheng Ho kecil.
Nasib Cheng Ho berubah ketika kampung halamannya diserang oleh pasukan dari Kekaisaran Ming. Ia ditawan oleh pasukan Ming dan, setelah dikebiri terlebih dahulu, dijadikan pelayan di keluarga Zhu Di. Dari sanalah ia mulai mendapatkan pendidikan dan membangun karier militer, yang kelak akan sangat berguna bagi pelayaran-pelayaran yang ia lakukan.
Ia dilibatkan di dalam berbagai pertempuran, dan berhasil mencapai posisi sebagai komandan pasukan. Pergolakan dalam negeri membawa Zhu Di naik sebagai kaisar Cina tahun 1402, dan Cheng Ho pun ditunjuk menjadi kepala pelayan istana. Posisinya lalu meningkat menjadi utusan utama kekaisaran Tiongkok. Cheng Ho lalu ditugaskan oleh Dinasti Ming untuk berlayar, baik untuk berdagang maupun mempromosikan otoritas Dinasti Ming, ke berbagai kawasan di Samudera Hindia.
Pelayaran Cheng Ho berlangsung antara tahun 1405 hingga 1433, yang terbagi dalam tujuh pelayaran besar. Di dalam salah satu pelayarannya tahun 1431, kapal-kapalnya diisi oleh 27.550 orang, yang terdiri atas orang-orang dari berbagai profesi yang diperlukan selama pelayaran dan interaksi dengan bangsa-bangsa asing. Ini antara lain mencakup para ahli pelayaran, tenaga kesehatan, penulis, penerjemah, tentara dan juga para pelayan.
Kota-kota jauh yang dicapai Cheng Ho antara lain Hormuz di Persia, Jeddah di Arabia, dan Mombasa di Afrika Timur. Di Nusantara, Cheng Ho pernah singgah di Aceh, Palembang, Bangka, Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Tuban, Gresik, dan Surabaya. Di setiap kota yang disinggahinya, selain bertukar cindera mata, Cheng Ho dan rombongannya juga berbagi pengetahuan dan keahlian mereka dengan penduduk setempat serta menggiatkan penyebaran agama Islam.
Cheng Ho, Enam Abad Kemudian
Ada beberapa makna penting dari perjalanan panjang Cheng Ho 600 tahun yang lalu itu. Pertama, ia membawa sejarah penjelajahan umat manusia ke level yang belum pernah ada sebelumnya. Ukuran kapal (138 X 56 m), jumlah kapal (200), jumlah awak (27.000-28.000), jarak total yang ditempuh (35.000 mil), jumlah negeri yang didatangi (30), merupakan rekor dunia untuk zamannya karena serba-besar.
Ini bahkan jauh lebih besar daripada armada kapal para penjelajah Eropa beberapa dekade kemudian, seperti Christopher Columbus dan Vasco da Gama. Keserbabesaran ini memang sengaja ditujukan guna memperlihatkan wibawa dan pengaruh Cina. Pelayarannya melahirkan apa yang dikenal sebagai pertukaran budaya dan teknologi antara berbagai kawasan di dunia, khususnya Asia dan Afrika, termasuk dalam soal pertanian, obatobatan, perkapalan, dan navigasi (Sen, 2009).
Dalam persepsi Cina dewasa ini, pelayaran Cheng Ho dianggap sebagai langkah diplomatik luar biasa di dalam sejarah Cina, karena di dalamnya terkandung upaya yang gigih dan berkelanjutan untuk membangun hubungan diplomasi dan kerja sama antara Cina dengan negeri-negeri lain (Hoon, 2012). Di sisi lain, orang Cina kini juga bangga dengan sejarah pelayaran Cheng Ho lantaran dipandang sebagai awal dari zaman emas pelayaran lintas negara dan lintas dunia, yang kemudian banyak dilakukan oleh para penjelajah Eropa.
Sebagai seorang Tionghoa Muslim, Cheng Ho berperan penting dalam proses Islamisasi tidak hanya di Nusantara tapi juga di Asia Tenggara. Ia mengunjungi kawasan-kawasan yang dihuni oleh orang Tionghoa yang beragama sama dengannya, dan interaksi mereka mendorong kian aktifnya Tionghoa Muslim di sana, baik di bidang keagamaan maupun politik lokal. Pada tahun 1413, umpamanya, Cheng Ho mengutus Bong Tak Keng ke Champa untuk membimbing kaum Muslim di sana. Cucu Bong Tak Keng melanjutkan dakwah kakeknya di tanah Jawa. Sang cucu bernama Bong Swee Hoo, yang di Indonesia dikenal sebagai Sunan Ngampel, salah seorang wali songo.
Sejarawan dari Universitas Peking, Kong Yuanzhi (2008), dengan rinci menyebut beberapa alasan mengapa Cheng Ho menyebarkan Islam di Asia Tenggara. Pertama, karena pada zaman Dinasti Ming, Islam tengah berkembang pesat lantaran penguasa Cina berpijak pada prinsip untuk memimpin masyarakat sesuai dengan kepercayaan dan kebudayaan lokalnya. Alhasil, kalangan Tionghoa Muslim, termasuk Cheng Ho, sangat aktif di pemerintahan, militer dan lapangan keagamaan.
Kedua, Cheng Ho merasa bahwa sebagai Muslim ia wajib untuk menyebarluaskan Islam di manapun ia berada. Ia berpartisipasi dalam rekonstruksi masjid di sejumlah kawasan di Cina, mengikutsertakan para Muslim dalam misinya, dan menempatkan pendakwah Islam di tempattempat yang ia kunjungi.
Ketiga, dilihat secara keseluruhan, Asia Tenggara di zaman Cheng Ho (abad ke-15) tengah mengalami transisi dari kawasan yang didominasi Buddha menuju kawasan yang didominasi Islam. Islamisasi yang dilakukan Cheng Ho adalah bagian dari peristiwa besar ini.
Terakhir, Cheng Ho menyebarkan Islam dengan damai. Ini sesuai dengan misi yang ia emban dari Dinasti Ming, yakni membangun relasi yang harmonis dengan bangsabangsa lain di luar Cina. Prinsip penyebaran agama dengan damai ini diadopsi pula oleh para utusan Muslim Cheng Ho di Asia Tenggara. Hal ini memudahkan diterimanya Islam oleh masyarakat lokal di Asia Tenggara serta membantu terjalinnya hubungan yang baik dan produktif antara penduduk setempat dengan orang-orang Tionghoa, khususnya Tionghoa Muslim.
—
Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 11 Tahun 2017