Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Pada tahun-tahun terakhir ini, Muhammadiyah patut berbangga karena berhasil membangun pijakan yang kokoh di Papua. Apa yang ada di Muhammadiyah di Jawa kini telah ada pula di Muhammadiyah di seantero Papua: warga Muhammadiyah, sekolah, sekolah tinggi, universitas, dan minimarket. Bahkan, eksistensi Muhammadiyah di Papua dewasa ini merupakan cerminan toleransi yang konstruktif di Indonesia lantaran interaksinya yang intens dan produktif dengan kalangan non-Muslim.
Ini barangkali adalah sesuatu yang tidak terbayangkan lima dekade silam, saat Muhammadiyah masih mbabat alas di tanah Papua, khususnya wilayah Fakfak. Kala itu, Muhammadiyah di Papua adalah tunas yang baru berkembang. Namun, para pelopornya adalah tunas-tunas Muhammadiyah yang bernas, yang harus menghadapi berbagai rintangan yang sulit, terutama alam Papua yang masih berat. Di antara mereka, ada nama Mohammad Sjahidin, seorang Pemuda Muhammadiyah di Fakfak, yang setelah lulus dari kampusnya, IAIN Ciputat, memilih jalan hidup yang berani dan berbeda: mengembangkan Muhammadiyah di pelosok Papua.
Ia hanya bisa bertahan dua minggu menjadi muballigh Muhammadiyah—ia meninggal lantaran sakit—namun perjalanan jauh menuju ke Fakfak, dan terutama suasana psikologis seorang anak muda alumni salah satu kampus terbaik ibu kota yang rela menjadi dai di tempat yang jauh adalah sebuah kisah yang patut dicatat dalam memori kolektif warga Muhammadiyah. Majalah Suara Muhammadiyah sendiri telah menunjukkan betapa besarnya penghargaan warga Muhammadiyah Papua kepada Sjahidin dengan menurunkan sejumlah tulisan in memoriam Sjahidin, di tahun 1965, 1966 dan 1988, oleh koleganya sendiri, Mohammad Sjakir, dan seorang anggota PWM Irian Barat, Abdul Bari.
Fakfak terletak di bagian barat Papua dan berdekatan dengan Ambon. Jaraknya dari Ciputat lebih dari 3.000 km, dan jarak inilah yang ditempuh seorang Mohammad Sjahidin untuk berdakwah, khususnya guna melebarkan sayap Muhammadiyah ke Indonesia timur. Sjahidin lahir di Sumatera Selatan pada tahun 1941. Ia bersekolah di Mu’allimin Yogyakarta dan Bengkulu, kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Syariah, IAIN Ciputat, Jakarta. Di IAIN Ciputat ia adalah seorang mahasiswa yang aktif berorganisasi, antara lain menjadi anggota Kompi III Batalion III Resimen Mahajaya, sebuah resimen untuk mahasiswa Jakarta dan anggota HMI cabang Ciputat dari Komisariat IAIN Al-Djami’ah.
Setamat kuliah, ia mengajukan diri sebagai guru agama sukarela. Muhammadiyah cabang Fakfak menunjuknya untuk mengabdi di Sekru, sebuah kampung di Fakfak. Dalam sebuah suratnya kepada para sahabatnya di Jakarta, ia menyebut apa yang ia lakukan di Fakfak sebagai sebuah ‘medan bakti’ dan ‘perjuangan’. Sesungguhnya ia merasa bahwa ia belum selesai menuntut ilmu, namun ia memilih berkorban, ‘demi mengemban amanat Tuhan dan masyarakat yang hidup dalam suatu bangsa yang besar, sebagai objek perjuanganku yang akan kuhadapi’, tulisnya dalam sebuah surat yang ia kirimkan kepada kawan-kawannya di Jakarta.
Ia berangkat dari Tanjung Priok tanggal 7 April 1964. Bersamanya, ada lima orang lainnya. Empat (termasuk dirinya) adalah utusan Pemuda Muhammadiyah, sementara dua lainnya dari Majelis Pengajaran Muhammadiyah. Awalnya, perjalanannya melewati Surabaya, Makassar, Ambon, Nusa tenggara, hingga mencapai Sorong, berlangsung menyenangkan. Ia jatuh sakit saat dalam perjalanan di antara Biak, Serui, Sarmi, dan Sukarnapura (kini Jayapura). Malaria menyerangnya. Di Sukarnapura ia menginap di rumah H. Ibrahim Bouw, Ketua Muhammadiyah Provinsi Irian Barat. Dari sana, ia berangkat lagi menuju Fakfak. Namun, di Biak ia terpaksa harus diopname di rumah sakit umum (RSU) Biak.
Setelah sepuluh hari dirawat di Biak, ia melanjutkan perjalanan ke Fakfak. Di Fakfak, ia dan rombongannya segera ditugaskan ke kampung-kampung berbeda. Ia di Sekru, Ambar di Arguni, Ma’ruf di Patipi, dan Munasir (dari Majelis Pengajaran) di Rumbati. Amanat yang Sjahidin emban adalah membangun sekolah dasar, madrasah, pengajian orang tua, dan yang tak kalah beratnya, memberantas buta huruf. Selain uang jalan, tidak ada bantuan finansial yang tersedia dari pemerintah untuk menjalankan tugas-tugas ini. Tapi ia pantang mundur.
Total ia menjalankan tugas sebagai muballigh Muhammadiyah di Sekru selama empat belas hari. Ia mengajarkan agama kepada penduduk setempat. Juga ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan keislaman warga, seperti perayaan maulid Nabi Muhammad saw dan menjemput para jamaah haji. Untuk pendanaan hari besar Islam, ia melelang hasil kebun rakyat yang berhasil ia kumpulkan. Namun, tiba-tiba ia jatuh sakit lagi dan kembali dirawat di rumah sakit selama sepuluh hari. Sjahidin meninggal dunia tanggal 11 Agustus 1964 di rumah sakit umum Fakfak. Upacara pemakamannya dilakukan secara militer dan ia dikebumikan di Makam Pahlawan Lembah Onin, Fakfak, bersama-sama dengan para pahlawan Trikora.
Soe Hok Gienya Muhammadiyah
Sebagai pejuang Muhammadiyah, Sjahidin mirip dengan pemuda lain di Jakarta yang dikenal sebagai pejuang gerakan mahasiswa, Soe Hok Gie (1942-1969). Mereka hidup sezaman dan berbagi banyak hal yang sama: lulusan universitas, memilih jalan idealis, meninggal muda, dan menyukai alam. Menariknya, keduanya juga sama-sama meninggalkan buku harian. Buku harian Gie lebih beruntung karena belakangan dicetak dan tersebar ke khalayak luas, bahkan dijadikan inspirasi untuk menulis skenario film biopiknya. Sayangnya, buku harian Sjahidin tidak diketahui keberadaannya. Isinya tidak banyak, hanya berisi catatan selama satu bulan (April-Mei 1964). Namun, ini bisa menjadi bahan penting untuk untuk mengetahui pandangan-pandangan pribadinya dan untuk mengenal jatuh bangunnya penyebaran Muhammadiyah di pedalaman.
Secara psikologis, keputusan Sjahidin menjadi muballigh Muhammadiyah adalah sebuah keputusan besar bagi seorang pemuda di zamannya. Kala itu, hanya ada dua jenis mahasiswa. Pertama, mahasiswa berpolitik, yang tergabung dengan organisasi pergerakan. Kedua, mahasiswa yang ‘menikmati hidup’. Istilah mahasiswa yang hanya memikirkan ‘buku, pesta, cinta’ berasal dari zaman 1960an ini dan mengacu pada kategori kedua. Sjahidin bergabung dalam HMI, tapi ia menyeimbangkannya dengan berkumpul bersama kawan-kawannya sehabis kuliah.
Suatu malam Minggu saat diopname di RSU Biak, ia teringat dengan betapa menyenangkannya hidup di Ciputat. Sabtu sore di Ciputat, kenangnya, biasanya ia habiskan dengan kongko-kongko dan bersantap di warung Miroso, warung kesukannya. Sementara santapan malam Minggunya di Biak, tulisnya, adalah jarum suntik di paha dan beberapa pil obat malaria. Akan tetapi, menjadi dai adalah panggilan jiwanya. ‘Bagiku ini adalah berjuang untuk Tuhan, masyarakat dan kemanusiaan. Biarpun aku harus mati dalam perjuangan ini aku rela karena ini perjuangan yang suci’, katanya.
Di website Muhammadiyah Kabupaten Fakfak terdapat kolom sejarah, sayang kolom ini kosong. Padahal sejarah masuknya Islam dan eksistensi Muhammadiyah di Fakfak adalah sejarah yang sangat menarik, terutama sebagai inspirasi bagi pemuda-pemuda Muhammadiyah menjadi pelopor dalam penyebaran Muhammadiyah ke tempat yang jauh dari kota. Sjahidin membuktikan, dengan segala macam kelebihan yang dipunyai anak muda— keimanan, idealisme, energi, semangat, tapi juga keinginan berpetualang—semuanya adalah ramuan yang luar biasa untuk membesarkan tunas Muhammadiyah di tengah berbagai rintangan.
Tentang perannya di Muhammadiyah, Sjahidin menggambarkan dirinya dan teman-teman seperjuangannya di pelosok Fakfak: ‘Kami berlima umpama lima buah anak panah Muhammadiyah yang harus dan wajib mengenai sasarannya’. Anak panah Muhammadiyah itu telah pergi, dan lima dekade setelah kepergiannya, sasaran yang hendak ia tuju tampaknya sudah tercapai, dengan berbagai amal usaha Muhammadiyah yang eksis di Papua, khususnya Fakfak.
Muhammad Yuanda Zara Sejarawan, PhD di Universiteit van Amsterdam
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 9 tahun 2017