Oleh: Mukhlis Rahmanto
Jika dihitung dari masa kelahirannya kembali pada 1976, dengan diadakannya konferensi Internasional Ekonomi Islam di Makkah, ekonomi Islam atau ekonomi Syariah, kini telah berumur 40 tahun lebih. Dalam kurun waktu tersebut, ekonomi Islam berusaha aktif membuktikan diri menjadi solusi alternatif dari sistem ekonomi yang telah muncul dan eksis sebelumnya, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Dalam pandangan intelektual Muslim saat itu, kapitalisme maupun sosialisme makin ditolak dalam pasang naik dan arus penyelidikan sistem atau ilmu ekonomi Islam yang menjadi kategori baru atau sistem ekonomi alternatif (Dawam Raharjo, 1987).
Digagas sebagai sistem ekonomi alternatif, ekonomi Islam tak lain adalah cerita paling sukses dari integrasi dan interkoneksi proyek besar Islamisasi pengetahuan yang digagas salah satunya oleh Ismail Raji Al-Faruqi dan dikembangkan oleh International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang berpusat di Virginia, Amerika Serikat, dan mempunyai cabang di seluruh dunia.
Sebagai ilmu ekonomi normatif, pemikiran ekonomi Islam jika dipetakan dalam tiga aliran (Jomo, 1992). Pertama, mazhab Baqir Shadr yang dianut oleh mayoritas penganut Syiah. Aliran ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi yang ada saat ini tidak pernah sejalan dengan Islam. Ekonomi dan Islam tidak akan pernah dapat disatukan karena perbedaan filosofi yang kontradiktif. Keinginan manusia tidak terbatas, sedang sumber daya untuk memenuhinya terbatas. Bagi Baqir Shadr, yang terbatas adalah keinginan manusia itu sendiri. Masalah ekonomi muncul karena distribusi yang tidak merata akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap yang lemah. Menurut mazhab ini, istilah ekonomi Islam tidaklah tepat, bahkan salah, menyesatkan, dan kontradiktif. Untuk itu, ia mengajukan istilah baru yang sesuai dengan nilai Islam, yaitu al-iqtishad.
Kedua, adalah aliran mainstream yang tetap menggunakan asumsi dan teori ilmu ekonomi konvensional yang eksis hingga kini sebagai perbandingan. Mereka mendasarkan pandangannya bahwa umat Islam boleh mengambil hikmah dari siapa saja sebagaimana dilakukan oleh para ilmuwan Muslim dalam sejarah Islam. Beberapa pendukung kelompok ini adalah para intelektual yang memperoleh kesarjanaan ekonomi dan pernah mengajar di universitas-universitas di Amerika dan Eropa dan kemudian bekerja di Islamic Development Bank, suatu lembaga di bawah otoritas Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Ketiga, adalah mazhab alternatif-kritis yang dipelopori oleh Timur Kuran (profesor di Univ. of Southern California, Amerika), KS. Jomo, Syed Nawab Haider Naqvi, dan Muhammad Arief. Aliran ini mengkritik aliran pertama (Baqir Shadr) karena pendapat-pendapatnya bukanlah barang baru dan sudah ditemukan oleh orang sebelumnya. Sementara kritik mereka terhadap mazhab mainstream, mazhab ini terlalu menjiplak ekonomi neo-klasik dengan hanya menghilangkan variabel riba saja. Mazhab alternatif ini berpendapat bahwa analisis kritis tidak hanya dilakukan terhadap kapitalisme dan sosialisme, namun juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Para intelektual pendukung mazhab ini mengakui kebenaran Islam, tetapi konsep ekonomi Islam itu sendiri belum tentu benar karena sebagai hasil tafsiran manusia atas Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga nilai kebenarannya tidaklah mutlak.
Terlepas dari itu, ekonomi Islam berusaha untuk membuktikan diri menjadi solusi alternatif permasalahan-permasalahan ekonomi manusia modern, di antaranya yang menonjol adalah sektor keuangan. Sektor keuangan Islam yang terdiri dari perbankan maupun non-perbankan (seperti lembaga keuangan mikro), pasar modal, asuransi, dan keuangan sosial (zakat, infak, dan wakaf), dinilai mampu memberikan kontribursi positif terhadap peningkatan dan pemerataan kesejahteraan manusia. Di sektor ini, pada 2016, keuangan Islam global total asetnya mencapai sekitar 1,87 triliun USD (Global Islamic Finance Report, IRTI-World Bank) atau menyumbang sekitar 10 persen dari total aset keuangan dunia. Belum lagi jika ditarik di luar sektor keuangan, misalnya potensi global halal market (makanan [food], sandang-pakaian-kosmetik [fashion], hingga hiburan [fun]), untuk kepentingan konsumsi dan pangsa pasar umat Islam sedunia yang mencapai 2,1 milyar (2015) atau 22 persen dari total penduduk dunia.
Besarnya pangsa pasar di atas belum digarap secara serius oleh para produsen Muslim, namun malah dilirik oleh produsen lainnya. Belum lagi sektor jasa yang masih banyak belum tersentuh, seperti wisata-travel. Dan sayangnya, dalam konteks Indonesia, dengan jumlah penduduknya yang mayoritas Muslim terbesar di dunia, jika dilihat pangsa pasar (market share) perbankan Syariahnya hanya mencapai kurang dari 5 persen dengan total aset sekitar 300 triliun. Padahal, perbankan Syariah telah hadir di Indonesia kurang lebih seperempat abad lalu, yang ditandai berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1991. Oleh karena itu, perlu sinergi dan kerjasama berbagai pihak dan komponen umat dalam rangka pengembangan ekonomi Syariah.
Oleh karena itu, pasca kelahirannya kembali 40 tahun yang lalu, terdapat semacam arus balik dan ketidakpuasan dari para penggagas awal ekonomi Islam, untuk mengevaluasi jalannya sistem ekonomi alternatif ini. Salah satunya, Muhammad Akram Khan yang pada 1991 menulis buku An Introduction to Islamic Economics (IIT-1990), di mana berisi proposisi, teoritisasi, dan spirit optimisme praktik ekonomi Islam. Namun, pada 2013, ia meluncurkan buku berjudul What is Wrong with Islamic Economics? Analysing the Present State and Future Agenda (Edward Elgar Publishing, UK).
Dalam buku tersebut, ia memberikan beberapa catatan kritis tentang perkembangan ilmu ekonomi Islam. Pertama, apa yang berlangsung selama ini dalam hal pengembangan keilmuan ekonomi Islam adalah mimikri (menjiplak persis) dari keilmuan ekonomi konvensional, yang kemudian dibubuhi dengan beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits.
Kedua, Ilmuwan Muslim dalam mengembangkan keilmuan ekonomi Islam telah gagal membedakan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya. Ketiga, tidak adanya kesepakatan di antara ulama, intelektual, dan ilmuwan Muslim mengenai larangan riba. Padahal ini adalah titik dasar dari keilmuan ekonomi Islam.
Keempat, gerakan kontemporer ekonomi Islam yang dipraktikkan lewat lembaga-institusi keuangan Islam atau Syariah mendasarkan pada beragam bentuk bunga (interest) yang dikategorikan riba, tidak dapat dilepaskan dari sistem operasional lembaga keuangan konvensional. Kelima, dibutuhkan penafsiran-penafsiran baru dan kontekstual terkait dengan zakat agar dapat memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat modern.
Terakhir, pengembangan ekonomi Islam tidak dapat lepas dari wacana dan praktik kapitalisme yang sudah sedemikian mengakar. Kapitalisme bahkan telah berevolusi menjadi state capitalism. Kapitalisme yang berlaku melalui struktur negara bangsa. Untuk itu, paling tidak, dalam pengembangan ilmu ekonomi Islam dan usaha praktikalnya berusaha mengarah pada reformasi tatanan perilaku dan karakter manusia modern yang sudah sedemikian kapitalis akut.
Mukhlis Rahmanto, Dosen Prodi Ekonomi dan Perbankan Islam FAI UMY
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 9 Tahun 2017