JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Terorisme adalah masalah dunia. Indonesia menjadi salah satu negara Muslim terbesar yang beberapa kali diguncang serangan teror. Kasus teror juga menimpa negara-negara Eropa, termasuk Belanda. Motifnya sangat beragam dan pelakunya beraneka latar belakang. Guna meredam aksi teror dan mengungkap pemicunya, diperlukan solusi bersama yang ditinjau dari berbagai sisi.
Guna mendiskusikan tema krusial ini, Kepala Badan Anti Terorisme Belanda atau Nationaal Coödinator Terrorismebestridjing en Veiligheid (NCTV) Pieter-Jaap Aalbersberg didampingi Duta Besar Belanda untuk Indonesia Lambert Grijns, Wakil Kepala Bidang Politik Kedutaan Belanda untuk Indonesia Brechtje Klandermans, dan analis senior NCTV Max de Bruijn, berkunjung ke Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta, pada Selasa, 8 Oktober 2019.
Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar, dimintai pandangan dan masukan mengenai paham ekstremisme dan terorisme. Muhammadiyah dianggap memiliki komitmen untuk melawan paham yang serba ekstrem. Muhammadiyah tidak setuju cara-cara melawan paham radikal dengan gerakan radikal yang baru, dalam posisi oposisi biner. Pendekatan ini dianggap menyederhanakan persoalan.
Perwakilan Kerajaan dan Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia disambut oleh Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Professor Bahtiar Effendy, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Doktor Abdul Mu’ti, serta Wakil Ketua Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional PP Muhammadiyah dokter Sudibyo Markus.
Menghadapi paham radikal, Muhammadiyah mengedepankan pendekatan yang humanis. Menurut Abdul Mu’ti, radikalisme dan terorisme tidak hanya ada di suatu agama atau kelompok tertentu saja. “Ekstremisme dan terorisme bukan masalah khusus milik umat Islam, tetapi pada agama besar lainnya juga. Kristen, Hindu, Buddha. Dan ini jadi masalah bersama yang dihadapi secara global,” ujarnya.
Muhammadiyah menolak tegas program deradikalisasi yang tidak menyelesaikan akar persoalan, dan justru menimbulkan masalah baru di kemudian hari. “Langkah Muhammadiyah dalam melawannya adalah dengan yang kami namakan sebagai moderasi Islam, dan bukan deradikalisasi, karena deradikalisasi sudah bermasalah sejak pertama kali digunakan,” ungkapnya.
Diperlukan komitmen untuk menyelesaikan masalah ini sampai tuntas. “Muhammadiyah menjelaskan pendekatan kultural, ko-eksistensi atau hidup berdampingan yang damai, saling terbuka secara sosial dan sudut pandang keberagamaan yang terbuka, disertai sikap yang konsisten. Apalagi konsep Islam tengahan Muhammadiyah atau Wasathiyah Islam ini juga digunakan sebagai salah satu program internasional Pemerintah Indonesia,” tukas Abdul Mu’ti.
Konsep ini telah disekapati menjadi salah satu rumusan pertemuan ulama dunia di Bogor pada 2018 yang diinisiasi oleh Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban ketika itu Prof Din Syamsuddin. Pertemuan ulama dan cendekiawan Muslim dunia tersebut menghasilkan “Pesan Bogor” yang berkomitmen menjunjung wasathiyah Islam. Pesan Bogor disepakati oleh 100-an tokoh ulama dan cendekiawan Muslim dari seluruh dunia, salah satunya Grand Syekh Al Azhar, Ahmed Muhammad Ahmed Al-Thayyeb. (ribas/ppmuh)
Baca juga:
Seksama Membenahi RUU Antiterorisme
Beri Masukan ke DPR, Haedar Nashir: RUU Antiterorisme Harus Komprehensif
Syafii Maarif: ‘Coba Saja Cari di Al-Quran, Apakah Islam Mengajarkan Teror? Tidak Ada’