Bangga Menjadi Bangsa Indonesia

MATARAM, Suara Muhammadiyah – Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Widodo Muktiyo mengajak kepada generasi muda untuk bangga menjadi bangsa Indonesia. Menurutnya Indonesia merupakan bangsa besar dengan keberagamannya yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika.

“Perbedaan itu rahmat, perbedaan itu adalah keniscayaan. Tetapi bagaimana perbedaan menjadikan resultan yang lebih baik,” tutur Widodo dalam Dialog Publik bertajuk “Menyatukan Perbedaan, Membangun Negeri” di Hotel Grand Palace Lombok, Mataram, Ahad (13/10).

Agenda tersebut diselenggarakan Suara Muhammadiyah dengan kerja sama Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Turut hadir Direktur Suara Muhammadiyah Deni Asy’Ari serta narasber Direktur Nusatenggara Centre Suprapto Mukti Wibowo, dan Co-Founder Peace Generation Irfan Amalee.

Widodo sangat berharap kepada generasi muda yang ke depan akan menjadi aktor utama penggerak negeri ini. Agar senantiasa merawat kebersamaan di tengah arus informasi yang senantiasa mengusik harmoni kebangsaan.

Direktur Suara Muhammadiyah Deni Asy’Ari menyampaikan bahwa Dialog Publik maupun Dialog Literasi yang diselenggarakan SM dan Kemenkominfo begitu penting. Karena di tengah arus kebebasan informasi yang nyaris tanpa kontrol membuat perbedaan baik di dunia nyata maupun dunia maya begitu tajam.

Deni mengutip Imam Al-Ghazali dalam buku Ihya Ulumuddin yang menyebutkan tentang empat kriteria manusia.

Pertama, yaitu Ar-Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri yaitu ada orang yang tahu dirinya (berilmu), dan dia Tahu kalau dirinya berilmu. Tipe manusia ini harus diikuti.

Kedua, Ar-Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri, yaitu seseorang yang tahu (berilmu), tapi dia tidak tahu kalau dirinya berilmu. Tipe manusia ini harus diingatkan.

Ketiga, Ar-Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri, yaitu seseorang yang tidak tahu, tapi dia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Orang ini butuh bimbingan, sentuhan, dan pendidikan.

Keempat, Ar-Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri, yaitu dia yang tidak tahu (tidak berilmu), dan dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu). Ini yang paling berbahaya.

Oleh karena itu, kata Deni, Dialog Publik merupakan bagian dari upaya menyadarkan secara bersama agar informasi, ilmu pengetahuan dan kepakaran menjadi rujukan. “Bagaimana dengan perbedaan-perbedaan yang ada, baik di dunia nyata maupun di media sosial (dunia maya) bisa kita kelola secara baik,” pungkasnya. (Riz)

Exit mobile version