Oleh: Sugeng Riyanto
Parade kisah sedih senantiasa menjadi hiasan utama ketika kita bicara tentang demokrasi di Indonesia, khususnya bagi mereka yang mendamba demokrasi yang substantif, bukan sekedar prosedur saja. Proses luhur demokrasi yang terbangun pascareformasi memang masih banyak dikotori oleh bercak hitam penyimpangan dan penganiayaan terhadap proses pencapaiannya, seperti dalam pemilu dan pilkada. Transisi demokrasi yang secara teoritik pernah digambarkan sangat ideal oleh Robert Dahl dan para teoritisi lainnya terlihat masih jauh panggang dari api.
Salah satu penyakit itu adalah money politics (politik uang). Fenomena politik uang tumbuh dan menjalar lebih cepat daripada pertumbuhan pelembagaan demokrasi. Setiap kali terjadi proses pergantian kepemimpinan dalam semua level, senantiasa diwarnai oleh politik uang. Banyak penelitian di berbagai daerah yang mengangkat dan menguak persoalan politik uang ini pada akhirnya bermuara pada kesimpulan bahwa hampir di manapun di tanah air ini, uang selalu menjadi amunisi dan komoditas yang paling menentukan dalam politik. Sudah barang tentu ini adalah kabar buruk bagi demokrasi yang idealnya bertumpu pada kekuatan rasionalitas dan intelektualitas, bukan malah menjadikan uang sebagai bahan bakarnya.
Politik Uang
Terdapat beragam definisi dari politik uang, mulai dari yang cakupannya sempit yakni jual beli suara pada proses pemungutan suara, hingga pada cakupan yang lebih luas, yakni penggunaan uang untuk memengaruhi perilaku politik seseorang atau sekelompok orang. Ada juga yang mengartikan bahwa politik uang adalah pertukaran uang dengan posisi, jabatan atau keputusan politik yang mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan kelompok tertentu. Definisi yang sedikit lebih halus yakni upaya memengaruhi tindakan seseorang dengan imbalan uang tertentu.
Dari semua pengertian yang muncul, terdapat dua korelasi besar, yakni proses politik dan uang (materi). Artinya, terdapat intervensi kekuatan materi (uang dan barang) yang mempunyai daya tawar untuk mengubah proses politik menjadi tidak alami lagi. Tentu saja proses politik tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang menguasai uang terhadap pihak yang mempunyai hak untuk melakukan proses politik. Dengan demikian, uanglah yang akan menjadi faktor determinan pada proses politik, bukan lagi pada rasionalitas tujuan politik yakni menciptakan kemakmuran bagi rakyat.
Dalam praktiknya politik uang dapat terjadi dalam semua ranah, dari level pemilihan Ketua RT hingga yang pemilihan pemimpin nasional. Dari level atas masyarakat banyak disuguhi dengan pelajaran negatif tentang demokrasi berupa kasus mahar politik. Partai politik gemar mencari sosok calon pemimpin bukan berdasar pada kapabilitas dan kompetensi, melainkan seberapa banyak calon tersebut mampu memberikan kontribusi materil demi menjalankan roda partai yang memerlukan bahan bakar amat banyak. Mahar politik menjadi sangat mahal yang hanya mampu dibeli oleh mereka yang mempunyai kapital dan faktor produksi yang banyak.
Dalam tataran akar rumput, politik uang mungkin sekadar berupa amplop yang berisi sejumlah uang yang dibagikan selama proses politik tertentu. Tujuannya jelas, untuk membeli suara dari seseorang atau sekelompok masyarakat agar memilih pihak tertentu. Banyak juga yang membungkus politik uang ini dengan paket yang sangat halus, misalnya dengan memberikan proyek-proyek sosial seperti pengerasan jalan, pemberian hadiah berupa perlengkapan keperluan suatu kampung, dan sebagainya, dengan kesepakatan bahwa suara masyarakat tersebut akan diberikan kepada pihak yang memberikan bantuan sosial itu. Seolah-olah di sini terdapat transaksi yang “mulia,” yakni transaksi sosial untuk kepentingan bersama, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah transaksi politik kotor.
Bahaya Politik Uang
Politik uang yang tumbuh menyertai proses politik dalam demokrasi sebenarnya merupakan penyakit: parasit, benalu, bahkan seperti kanker ganas dalam tubuh manusia. Ia akan membunuh esensi dari demokrasi itu sendiri. Ketika demokrasi dimaknai sebagai kemerdekaan warga negara untuk menentukan pilihannya, maka politik uang telah merenggut kemerdekaan tersebut. Kemerdekaan telah digadaikan dan kekuasaan telah dijual kepada orang yang rakus dan tamak akan kekuasaan, tidak amanah, hanya mengedepankan kepentingan sendiri dan mencari keuntungan atas jual-beli kekuasaan itu.
Mereka yang menggunakan kekuatan uang untuk membeli suara di dalam proses politik adalah orang-orang yang tidak yakin bahwa mereka akan mendapatkan kepercayaan dari rakyat karena mereka tidak mempunyai kapabilitas dan kompetensi atas jabatan yang diemban. Politik uang telah memindahkan secara paksa kekuasaan dari tangan rakyat kepada bandar-bandar yang mampu membelinya. Pasalnya adalah para bandar tersebut akan berusaha mengambil keuntungan dari barang dagangan yang berupa kekuasaan.
Prioritas kepentingan mereka adalah pribadi, bukan rakyat. Kekuasaan hasil pembelian ini akan segera dikonversi dalam bentuk keuntungan pribadi. Kebijakan politik yang mestinya berorientasi pada kepentingan publik menjadi wahana bagi para bandar ini untuk mengembalikan modal dan melipatgandakan keuntungan dengan memproduksi kebijakan yang sesuai dengan kepentingannya. Kekuasaan yang mereka dapatkan dengan cara membeli tersebut akan segera dikonversi menjadi keuntungan melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat sesuai selera mereka.
Sementara, sadar atau tidak sadar, masyarakat yang telah menjual suara tersebut sama halnya telah melepaskan kemerdekaan politiknya. Masyarakat memang mendapatkan gula-gula berupa uang tetapi mereka tinggal menjadi penonton pasif dalam sebuah pertandingan. Ketika terjadi penyimpangan dan ketidakpuasan dalam proses pemerintahan, masyarakat itu telah kehilangan kekuatan untuk menuntut dan meluruskan proses yang salah sebab suaranya telah terbeli. Lembaran uang yang tidak seberapa telah menutup pintu hak politik yang sesungguhnya dan memberikan kesempatan kepada para pemimpin durjana.
Para pemimpin hasil dari politik uang sesungguhnya adalah pemimpin yang berwatak bandar. Mentalitas bandar amatlah jelas untuk mengambil keuntungan lebih besar dari apa yang telah mereka keluarkan, dengan segala cara tentunya. Tentang kesejahteraan rakyat, bagi bandar tersebut tentunya tidak akan menjadi prioritas utama. Kasus tersebut mengingatkan kita pada “pengakuan” dari seorang John Perkins yang memaparkan secara gamblang tentang perilaku politik para bandar (pengusaha) dalam berbagai konflik internasional. Bahkan konflikpun mereka ciptakan demi mendapatkan keuntungan. Korporatokrasi (pemerintahan yang dikendalikan oleh para pengusaha) menjadi sebuah gejala yang tak terhindarkan dalam proses politik yang mengijinkan tumbuhnya politik uang.
Jika bangsa Indonesia masih tidak bisa melepaskan diri dari jeratan politik uang, maka sesungguhnya bangsa ini sedang menyerahkan proses politik kepada para bandar yang tentu saja mementingkan diri mereka sendiri. Politik uang yang telah menjadi kanker ganas bagi proses demokrasi ini menjalar ke seluruh lapisan masyarakat hingga teramat sulit bahkan terasa mustahil untuk dihapuskan dari Indonesia. Secara pelan-pelan ia sedang membunuh demokrasi bagi rakyat dan menyerahkannya kepada bandar-bandar rakus. Para pengawal demokrasi sepertinya telah sulit membersihkan politik uang ini karena sedemikian akutnya. Politik uang kini justru dianggap sesuatu yang wajar. Ini adalah kecelakaan demokrasi, demokrasi yang sedang menuju kuburannya.
Sugeng Riyanto, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 6 Tahun 2018