Oleh: Zaky Al-Rasyid
Al-Azhar Asy-Syarif merupakan lembaga Islam tertua yang dimiliki oleh umat Islam saat ini. Lembaga yang berdiri sejak tahun 972 M atau tepatnya 7 Ramadhan 361 H merupakan universitas tertua di dunia yang masih eksis sejak didirikan. Bahkan lebih tua daripada Oxford University dan Harvard University yang didirikan pada masa setelahnya. Al-Azhar di umurnya yang ke 1046 tahun, telah memberikan sumbangsih yang sangat banyak kepada umat islam, terlebih lagi para lulusannya yang sudah berkiprah di seluruh penjuru dunia. Altarnya merupakan oase keilmuan bagi setiap penuntut ilmu yang ingin singgah di dalamnya. Para guru Al-Azhar sangat menjaga kemurnian ajaran Islam yang diajarkannya, meriwayatkan ilmu-ilmu agama dari generasi-generasi sebelumnya tersambung hingga ke ilmu para sahabat yang bersumber pada ajaran Rasulullah saw.
Bagi Muhammadiyah sendiri, Al-Azhar tak lepas dari milestone sejarah persyarikatan. KH Ahmad Dahlan –pendiri Persyarikatan Muhammadiyah- terinspirasi dengan pemikiran pembaharu Syeikh Muhammad Abduh (1849-1905) dan gurunya Jamaluddin Al-Afghani yang akhirnya mendirikan Persyarikatan ini pada tahun 1912 M. Syeikh Muhammad Abduh sendiri merupakan salah satu Grand Syeikh Al-Azhar yang mana pada zamannya Al-Azhar berkembang pesat, salah satunya dengan menjadikan Al-Azhar lembaga pendidikan modern dengan memasukkan ilmu-ilmu sains dan sosial di dalam kurikulumnya yang pada akhirnya menjadi universitas modern pada tahun 1911 M.
Karena beberapa alasan itulah banyak sekali para generasi muda Islam yang bermimpi bisa mendapatkan kesempatan menimba ilmu di altar Al-Azhar. Begitu juga para orang tua yang menginginkan anaknya menjadi salah satu sarjana dari lembaga islam tertua ini. Pemuda dan pemudi Islam dari penjuru dunia berbondong-bondong hijrah ke Mesir untuk ikut merasakan manisnya ilmu-ilmu yang diwariskan oleh para ulama. Di sisi lain, Al-Azhar dan masyarakat Mesir yang mempunyai karakter agamis yang kuat sehingga sangat kondusif untuk menjadi tempat belajar ilmu agama. Tak sulit menemukan orang yang hafal Al-Qur’an di jalanan, juga tak jarang naik angkot dengan ditemani alunan murattal fasih nan merdu. Selain itu, Mesir sebagai salah satu Negara berkembang mempunyai standar biaya hidup yang tidak begitu tinggi, masih lebih murah dibandingkan biaya hidup di Jakarta misalnya.
Al-Azhar dalam umurnya yang lebih dari 1000 tahun, telah melalui berbagai fase sejarah. Sejarahnya dimulai dari sebelum pendiriannya, yaitu penaklukan Mesir oleh Amru bin Ash yang mana merupakan tanda Islam masuk ke Bumi Kinanah dan benua Afrika. Al-Azhar sendiri pada awalnya didirikan oleh Jauhar ash-Shiqly, seorang panglima pada Dinasti Fatimiyyah, Al-Azhar kemudian terus eksis menjadi pusat keilmuan Islam pada dinasti Ayyubiyah dan mencapai masa keemasannya pada dinasti Mamluk. Di altarnya pula para ulama yang tak terhitung jumlahnya, belajar dan mengajarkan ilmu-ilmu agama dan sains. Sebut saja Ibnu Khaldun, Ibnu Hajar al-Asqallani (penulis kitab Fathul Bârî syarh Shahîh al-Bukhâri), As-Suyuti dan para ulama lainnya. Selanjutnya, Al-Azhar berkembang hingga zaman modern dan menjadi sebuah universitas modern dengan memindahkan kegiatan pengajarannya dari Masjid Al-Azhar ke bangku kuliah dengan system pendidikan yang modern.
Karena pentingnya nilai Al-Azhar Asy-Syarif dan segala informasi tentangnya, hal ini mendorong Cecep Taufiqurahman, MA. Untuk menulis buku “Menuju Kiblat Ilmu” yang berisi informasi-informasi yang berkaitan dengan Lembaga Al-Azhar Asy-Syarif. Sebagai salah satu putra Indonesia yang telah mengenyam pendidikan S2 Aqidah Filsafat di Universitas Al-Azhar yang terkenal sulit untuk ditaklukkan, ia paham seluk beluknya terlebih lagi pengalamannya selama beberapa tahun menjadi staf di Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Cairo.
Buku ini bahkan pernah dibedah di beberapa saluran televisi di Mesir sebagai karya orang asing (non-warga negara Mesir) yang membahas lika-liku belajar di Al-Azhar. Selain itu, royalty hasil penjualan buku ini akan disumbangkan untuk pengembangan Yayasan Pendidikan Misykat Rabbaniyyah di Rangkaekek, Bandung.
Salah satu informasi yang sangat penting adalah menanggapi minat para pelajar Indonesia yang ingin ke belajar di Al-Azhar, adalah memberikan informasi secara lengkap tentang tata cara pendaftaran, ujian seleksi dan langkahlangkah pengurusan dokumen hingga berangkat ke Mesir. Adanya informasi ini sangat penting sekali, mengingat tak semua paham jalur yang benar untuk belajar ke Al-Azhar. Jangan sampai salah menerima informasi karena bisa berakibat fatal, bahkan bisa sampai gagal berangkat.
Secara umum, proses dimulai dengan pendaftaran tes seleksi ujian timur tengah yang diadakan Kementrian Agama RI kemudian dilanjutkan dengan pengurusan berkas yang difasilitasi oleh Iakatan Alumni Al-Azhar Indonesia (IAAI) bagi calon mahasiswa baru yang telah lulus tes seleksi. Perlu diketahui bahwa mulai tahun 2010-an tidak ada lagi “Terjun Bebas”. Camaba Indonesia hanya bisa masuk Al-Azhar dengan lulus tes seleksi Kemenag. Setelah sampai di Mesir, camaba akan dites kemampuan bahasa Arab sebelum masuk perkuliahan. Bagi yang di bawah standar akan mengikuti kursus bahasa terkebih dahulu di Markaz Syeikh Zaid sesuai dengan hasil tingkatan (mustawa) yang ia dapat.
Tips-tips sukses dan kiat belajar di Al-Azhar pun turut dibeberkannya. dari bagaimana seorang Sya’ban yang membantunya belajar bahasa ‘Amiyah (bahasa arab sehari-hari) sampai ia mahir dan menguasai. Juga kisah seru pada hari-hari awal perkuliahannnya, sampai kisahnya ketika memperjuangkan haknya dan temannya di depan dosen yang terkenal killer. Tak ketinggalan dengan kisahnya mendapatkan bantuan dana untuk kelanjutan kuliahnya di Al-Azhar, salah satunya ia dibayari SPPnya oleh Rektor al-Azhar, Grand Syeikh Ahmad Thayyib – yang sekarang menjadi Syaikhul Azhar.
Mang Cecep, begitu panggilan akrabnya juga menceritakan tentang Masyarakat Indonesia di Mesir, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masisir dalam buku Menuju Kiblat Ilmu: Panduan Studi di Universitas Al-Azhar Mesir. Sejarah panjang antara Indonesia – Mesir telah membuat banyak WNI tinggal di Mesir yang mayoritas mempunyai tujuan belajar di Al-Azhar. Hal ini membuat Masisir menjadi “Mini Indonesia”. Gambaran masyarakat majemuk Indonesia dengan beragamfenomena dan aktivitas kegiatannya.
Zaky Al-Rasyid, Lc, Dipl. Mahasiswa Magister Ushul Fikih Al-Azhar University, Cairo dan Ketua Umum PCI Muhammadiyah Mesir 2018-2020
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 20 Tahun 2018