Oleh: Muhammad Yuanda Zara
“Men walk on moon” (manusia berjalan di bulan), demikianlah headline salah satu koran terbesar Amerika Serikat (AS), The New York Times, tanggal 21 Juli 1969. Dua orang Amerika, Neil A Armstrong dan Edwin E Aldrin, baru saja membuat sejarah: mendarat di bulan. Dengan pesawat Apollo 11, mereka melawan gravitasi bumi, melewati ruang angkasa, berpetualang di tanah yang belum terjamah dan, yang tak kalah penting, kembali ke bumi untuk menceritakan pengalamannya. Seluruh dunia bergegar dengan pencapaian ini. Warga AS senang bukan kepalang. Sebaliknya, Uni Soviet, musuh AS dalam Perang Dingin, tercengang karena disalip AS dalam perlombaan menembus langit. Informasi yang dibawa dari pendaratan itu meruntuhkan banyak mitos tentang bulan yang dipercaya banyak orang selama berabad-abad.
Tapi, perkara mendarat di bulan (moon landing) ini bukan cuma milik AS dan Uni Soviet. Muhammadiyah turut pula meramaikan sejarah manusia di benda langit yang berjarak 384.400 km dari bumi ini. Itu tampak dari berbagai laporan, komentar dan artikel yang dipublikasikan oleh terbitan resmi Muhammadiyah, Majalah Suara Muhammadiyah (SM), dalam merespon moon landing. SM menyebarkan informasi ini ke seluruh Indonesia, membuat orang yang membaca SM kala itu merasakan sensasi seperti membaca majalah ilmiah populer semacam National Geographic.
Sudah sejak lama manusia terobsesi dengan bulan. Bulan adalah penerang bagi para penjelajah di malam hari dan pelita bagi keramaian di desa masa silam. Nenek moyang kita menciptakan beragam peribahasa yang terinspirasi oleh bulan. Para ilmuwan berupaya keras menemukan teleskop agar bisa lebih dekat dengan bulan. Film-film fiksi ilmiah maupun karya sastra menjadikan bulan sebagai latar belakangnya. Bulan, bagi banyak orang di zaman lampau, menyimbolkan keindahan tapi juga kemisteriusan alam. Rasa takut orang dengan apa yang ada di bulan sama besarnya dengan rasa ingin tahunya untuk mengamati bulan.
Puncaknya adalah pendaratan manusia di bulan tahun 1969. Koran, majalah, radio dan televisi di seluruh pojok bumi melaporkan peristiwa kepada audiens mereka. Media massa Indonesia, termasuk SM, juga memberikan atensi besar.
Laporan pertama yang diturunkan SM ada di edisi No. 12, 1969. Judulnya, “Pesawat Eagle sudah Mendarat”. Posisinya di halaman 3 dan panjangnya yang nyaris 3 halaman (lebih banyak dari laporanlaporan lain di edisi itu) mengindikasikan tingginya perhatian SM. Di sana diterangkan proses pendaratan modul lunar Eagle di bulan. SM menulis pengalaman para astronot, mulai dari bagaimana melepaskan diri dari gravitasi bumi, beristirahat di luar angkasa, dan komunikasi dengan petugas di bumi. Angkaangka bertebaran dalam laporan ini, menggambarkan jarak bumi-bulan dan kecepatan pesawat. Sebagai ilustrasi dan untuk memukau pembacanya, SM menampilkan tiga gambar. Pertama, gambar astronot, kedua, gambar permukaan bulan, dan ketiga, gambar perbandingan tinggi antara roket Saturnus V (110 m) yang membawa Eagle ke bulan dan tugu raksasa yang baru beberapa tahun menjadi ikon kebangaan Indonesia, Monas (117 m).
Di halaman berikutnya, SM masih membahas tentang bulan. Tapi kali ini dari segi fiksi ilmiah. SM menurunkan laporan satu halaman tentang Jules Verne, novelis beken yang sudah membayangkan kedatangan manusia ke bulan seabad sebelum dua astronot AS mendarat di bulan lewat novelnya yang terbit tahun 1865, De la Terre a la Lune (Dari Bumi ke Bulan).
Tokoh imajiner SM yang dikenal karena kritis tapi jenaka, “Bung Santri”, turut sumbang suara. Ia menekankan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi serta keberanian adalah modal utama untuk kemajuan suatu bangsa. Lalu muncullah sindirannya: di saat orang AS berkompetisi untuk bisa mendarat di bulan, di Indonesia orang justru berlomba-lomba untuk menjadi juara di meja judi. Memang, di akhir 1960an itu judi tengah merebak di Indonesia.
Di edisi-edisi selanjutnya, SM mulai menempatkan peristiwa pendaratan di bulan dalam kerangka sejarah dan teologi Islam. Di SM No. 13-14, 1969, umpamanya, SM menerbitkan sebuah artikel perihal moon landing yang diterjemahkan dari majalah The Muslim World yang terbit di Pakistan, yang sekaligus menunjukkan bahwa moon landing merupakan isu besar di dunia Islam masa itu. Isinya menyebut bahwa penemu roket bukanlah orang Eropa. Bangsa Arablah yang membawa ide tentang roket ke Eropa. Tapi memang harus diakui orang Baratlah yang berhasil mengembangkannya sampai ke level yang maju. Penulis artikel itu pun menegaskan, ini bukanlah untuk mengagungkan masa lalu, melainkan sebagai pengingat kepada generasi muda Muslim agar menguasai ilmu pengetahuan. Al-Qur’an sendiri sudah banyak berbicara tentang langit dan bumi, dan manusia dipersilahkan untuk menyelidiki matahari, bulan dan luar angkasa.
Semangat untuk membahas angkasa luar bertahan bertahun-tahun di SM. Edisi tahun 1971 dan 1972 masih diwarnai berbagai gagasan tentang bulan dan luar angkasa. Topiknya sudah jauh lebih maju, yakni soal bisa tidaknya makhluk hidup eksis di bulan. Ini ada kaitannya dengan ditemukannya mikroorganisme bumi yang tetap bertahan hidup di bulan. Penemuan ini ditempatkan dalam kerangka surat Asy-Syura ayat 29 tentang tanda-tanda kekuasaan Ilahi dalam bentuk penciptaan langit dan bumi serta “dabbah” (makhlukmakhluk melata) yang hidup di sana. Seorang penulis SM, yang memakai nama “Burhan, Nasa Houston”, percaya bahwa mikroorganisme itu adalah salah satu dabbah. Di kalangan ilmuwan sendiri masih ada perdebatan bahkan hingga kini soal eksistensi makhluk superkecil itu.
Sementara itu, sebagian kaum Muslim Indonesia meminta pendapat ulama atas peristiwa moon landing. Jurnalis koran Aman Makmur (Padang) yang belakangan jadi wartawan Kompas, Marthias Dusky Pandoe, bertanya pada ulama Muhammadiyah, Buya Hamka. Hamka menjawab, “Tuhan bisa berbuat sekehendak-Nya. Peristiwa itu mutawatir, itu fakta.”
Dari segi media, hingga tahun 1969 itu, belum ada peristiwa lain dalam sejarah yang mendapat atensi publik sebanyak pendaratan manusia di bulan itu. Peristiwa itu ditonton via televisi oleh hampir 850 juta jiwa penduduk bumi. Sisanya tahu melalui radio dan media cetak. Majalah SM menjadi salah satu media komunikasi massa di Indonesia yang memberi kesempatan ribuan pembacanya untuk menjadi bagian dari salah satu peristiwa terbesar di abad ke-20 itu. Peran ini tak ubahnya seperti yang dijalankan oleh The New York Times untuk audiens AS dan majalah TIME untuk warga global kala itu. Yang tak kalah penting, SM bukan hanya memberi informasi, tapi juga menumbuhkan optimisme bahwa siapapun bisa ke bulan selama bisa menguasai ilmu dan teknologinya. Apalagi Islam mendorong manusia untuk tidak hanya mengeksplorasi bumi, tapi juga langit.
Muhammadiyah sebenarnya tidak jauh dari perkara bumi dan langit. Dalam seabad terakhir, organisasi ini sudah memecahkan beragam soal di bumi. Di sisi lain, semua orang tahu, lambang Muhammadiyah merepresentasikan salah satu benda langit: matahari. Tapi, ini baru dalam tataran simbolis. Yang patut ditunggu, akankah suatu saat nanti Muhammadiyah mampu menguasai dan mengembangkan ilmu dan teknologi luar angkasa (selain hisab)? Majalah SM sudah memulai diskusinya setengah abad silam, kini tinggal bagaimana ilmuwan Muhammadiyah mengambil langkah selanjutnya.
Muhammad Yuanda Zahra, Sejarawan
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2017