Oleh: M Muchlas Abror
HM YUNUS ANIS dalam Muhammadiyah pernah menjadi Ketua PP Muhammadiyah (1959 – 1962). Sebelumnya, ia menjadi Sekretaris PP Muhammadiyah pada periode Ki Bagus Hadikusumo (1942 – 1953) dan periode Buya AR Sutan Mansur (1953 – 1959). Dan setelah menjadi Ketua PP Muhammadiyah (1959 – 1962), ia menjadi Penasehat PP Muhammadiyah pada periode KH Ahmad Badawi (1962 – 1968). Ia dikenal di Muhammadiyah sebagai muballigh, orator, organisator, dan administrator.
Karena kesenangan dan kesibukannya berorganisasi sejak masih muda, Yunus Anis menjadi terlambat menikah. Ia baru menikah pada usia 31 tahun. Puteri yang dinikahinya bernama Siti Muchsinah binti H Ichsan, saudara sepupunya sendiri. Dalam hidup berumahtangga, sepasang suami isteri ini dapat membangun dan mewujudkan rumah tangga sakinah mawaddah wa rahmah. Allah mengaruniai mereka tujuh anak keturunan.
Siti Muchsinah isteri Yunus Anis menyadari betul tentang beratnya tugas yang dipikul oleh suaminya sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Selain itu harus mondar-mandir Yogyakarta-Jakarta karena tugas dalam kedudukannya sebagai Kepala Pusat Rohani Angkatan Darat Republik Indonesia (Ka Pusroh AD-RI). Siti Muchsinah berjualan rukuh dan mukena. Hasilnya untuk kebutuhan hidup dan pembiayaan pendidikan anak-anaknya.
HM Yunus Anis bersama Siti Muchsinah, isterinya, pada tahun 1960, menunaikan ibadah haji. Keberangkatan mereka ke Tanah Suci diantar dan dilepas keluarga, kerabat famili, tetangga, sahabat, warga Kauman di Masjid Gedhe Yogyakarta. Pada tanggal 8 Juni 1960, Siti Muchsinah meninggal di Mekkah selagi berhaji. Dapat dikatakan bahwa perjalanan suamiisteri itu ke Tanah Suci merupakan perjalanan bersama terakhir dan sekaligus perpisahan. Ketika meninggalkan Indonesia, mereka masih berangkat bersama. Tetapi, ketika kembali ke Tanah Air, mereka tidak bersama lagi. HM Yunus Anis pulang ke kampung halaman hanya seorang diri. Karena isteri meninggal di sana dan dikubur di Tanah Suci.
HM Yunus Anis tentu merasa sedih dan susah. Karena ditinggalkan isteri yang setia dan dicintainya. Apalagi anak-anaknya masih memerlukan perhatian, pendidikan, dan kecintaannya. Sebagai Muslim dan Mukmin, tentulah ia tidak membiarkan diri dan terus larut dalam arus kesedihan dan kesusahan. Ia berdoa, semoga kepulangannya menghadap Allah diterima segala ibadah dan amal shalihnya, diampuni dosa dan dimaafkan kesalahannya, serta dapat tempat terhormat disisi-Nya.
Setelah kembali dari berhaji, HM Yunus Anis seperti semula rajin dan disiplin bekerja sebagai Ketua PP Muhammadiyah dan Ka Pusroh AD-RI. Ia masih sering mondar-mandir Yogyakarta – Jakarta. Apabila sedang berada di Jakarta, anak-anaknya yang masih sangat memerlukan perhatian dari ibunya, dititipkan kepada Hj Siti Zayyinah Badawi, adik kandungnya. Ibu Hj Siti Zayyinah adalah isteri KH Ahmad Badawi. KH Ahmad Badawi adalah Ketua PP Muhammadiyah (1962 – 1968).
Isteri KH Ahmad Badawi sangat peduli kepada kakaknya, HM Yunus Anis, atas ujian kehilangan isteri. Adiknya itu senantiasa memikirkan perlunya seorang pendamping bagi kakaknya. Agar kakaknya menikah atau beristeri lagi. Agar ada yang mengurus rumah tangga dan meneruskan pendidikan anak-anaknya. Suatu hari, adiknya mencurahkan isi hatinya kepada kakaknya. Kemudian Zayyinah memberi informasi kepada Ibu Hj Alfiyah Muhadi, yang peduli urusan rumah tangga.
Tokoh ‘Aisyiyah yang lincah dan cekatan itu suatu hari bertemu Ibu Tamisah. Ia seorang janda tinggal di Jl. Ibu Ruswo, Yogyakarta. Suaminya telah meninggal dunia beberapa tahun sebelumnya. Alfiyah Muhadi, yang memiliki keahlian dalam melakukan pendekatan, menyampaikan isi hati Ibu Zayyinah kepada Tamisah untuk membantu perjuangan Pak Yunus Anis. Niat baik itu diterimanya dan bagi Tamisah persetujuannya itu diniati untuk beribadah. Setelah itu Ibu Zayyinah melamar Ibu Tamisah. Pada 31 Oktober 1961, berlangsunglah pernikahan antara HM Yunus Anis dengan Ibu Tamisah, di Yogyakarta.
Kehadiran Ibu Tamisah disambut baik di tengah keluarga HM Yunus Anis. Ia bisa meneruskan pendidikan Ibu Siti Muchsinah terhadap anak-anak dengan baik. Anak-anaknya bersekolah dengan baik dan kini telah menjadi sarjana. Mereka hormat kepada Ibu Tamisah yang dipandang sebagai ibunya sendiri dan ia pun memandang mereka sebagai anak-anaknya sendiri. Kaharmonisan keluarga tetap terjaga dengan baik.
Pernikahan HM Yunus Anis dengan Ibu Tamisah atau pernikahannya yang kedua, karena isteri pertamanya Ibu Siti Muchsinah meninggal di Tanah Suci waktu berhaji, itu sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dengan peran penting yang dilakukan oleh Ibu Zayyinah Badawi dan Ibu Alfiyah Muhadi. Contoh baik itu perlu dilanjutkan bahkan terus dikembangkan.
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 18 Tahun 2018