Meningkatkan Derajat Keimanan

tinggalkan

Ilustrasi

Hadits Meningkatkan Derajat Keimanan

عن أبي هريرة – رضي الله عنه – : أنَّ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : ألا أدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الخَطَايَا ، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ؟ قَالُوا : بَلَى يا رَسُول اللهِ ؟ قَالَ : إسْبَاغُ الوُضُوءِ عَلَى المَكَارِهِ ، وَكَثْرَةُ الخُطَا إلَى المَسَاجِدِ ، وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ ، فذَلِكُمُ الرِّبَاطُ )رواه مسلم)

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat? Sahabat berkata, baik wahai Rasulullah. Bersabda: “Sempurnakan wudhu pada waktu sulit, banyak melangkah ke masjid, dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat (sebelumnya). Itulah ribat (menjaga ketaatan), itulah ribat.” (HR. Muslim)

Islam sebagai agama memiliki dua dimensi ajaran, yaitu lahir maupun batin. Keimanan adalah bagian dari dimensi batin yang menjadi dasar seseorang berislam. Dimensi batin ini mempengaruhi gerak lahir, berupa praktik keislaman, utamanya rukun Islam yang lima. Oleh karena itu, dalam pandangan Nabi mengingat pentingnya, keimanan ini harus dijaga dengan beberapa amalan. Pun karena menurut kesepakatan ulama akan suatu kaidah penting dalam bab keimanan, yaitu al-imanu yazid wa yanqush, iman itu mengalami fluktuasi, naik-bertambah dan turun-berkurang. Hal ini seiring dengan prinsip ajaran Islam lainnya, bahwa manusia tidak akan terbebas dari dosa (mashum). Maka hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, menjadi bukti bahwa Nabi saat berdialog, sebagai salah satu metode pengajaran Nabi kepada para sahabatnya, beliau menyadari akan karakteristik gerak keimanan yang akan terjadi pada sahabat yang merepresentasikan kondisi iman dan batin umatnya secara umum di masa yang akan datang.

Selain Imam Muslim, hadits yang diriwayatkan melalui dua jalur, yaitu dari Syu’aib dan Malik bin Anas ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad, Abu Dawud dan An-Nasa’iy dalam Sunan-nya, serta Ibnu Hibban dalam Shahih-nya.

Beberapa hikmah dari hadits di atas, pertama, mengenai penghapusan dosa dan derajat keimanan. Al-Qadhi ‘Iyadh berkomentar, bahwa terhapusnya kesalahan, berarti ibarat diampuninya dosa sekaligus dihapuskannya dosa dari kitab cacatan seseorang. Bisa dibayangkan ukuran kitab catatan amal kita dengan istilah yang muncul sekarang, yaitu big data. Demikian menunjukan akan keluasan rahmat dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya dengan menunjukan jalan-jalan kebaikan yang dapat menebus kesalahan sehingga menaikan dan meninggikan derajat keimanan mereka di surga. Artinya, keimanan seorang muslim itu mempunyai tingkatan-level sebagaimana para ahli tasawuf seperti Imam Al-Ghazali yang telah membuat pemeringkatan iman. Namun jika kita merujuk dalam Al-Qur’an, istilah-istilah penyebutan terhadap orang yang beriman menunjukan adanya pemeringkatan iman itu sendiri. Istilah pertama dengan “amanu” yang menunjukan level iman standar-dasar. Istilah kedua dengan “yu’minun” yang menunjukan level keimanan kedua, dimana ditandai dengan iman yang mulai menguat. Dan ketiga, istilah “al-mu’minun” yaitu level tertinggi dimana iman orang tersebut telah stabil posisi kuatnya. Pemeringkatan iman ini akan berdampak pada balasan posisi derajat keberapa iman seseorang tersebut di surga.

Kedua, tentang amalan-amalan yang tersebut dalam hadits di atas, dimana dapat menghapus dosa dan meningkatkan derajat keimanan. Isbaghul- wudhu’ dimaksudkan pada ikhtiar menyempurnakan wudhu, yang secara lahir dengan membasuh-lebihkan bagian-bagian tubuh yang memang harus dibasuh. Terutama ketika kondisi sulit dan tidak memungkinkan untuk menyempurnakannya, tetapi kita tetap bertekad kuat melaksanakan untuk menyempurnakannya. Semisal ketika cuaca dingin, badan dalam kondisi tidak fit, dan atau ketika antrian memanjang saat hendak wudhu di masjid. Meski secara fikih, kondisi-kondisi tersebut dapat dimaafkan. Tapi itulah suatu ikhtiar yang dalam hadits ini disebut sebagai ribath, yang makna asalnya adalah menahan diri dari sesuatu. Ibnu Abu Hatim menambah penjelasan bahwa makna “fadzalikum al-ribath” adalah gugurnya dosa seseorang sehabis menyempurnakan wudhunya.

Orang yang melakukan ribath, berarti menahan diri untuk melakukan amalan tersebut terus menerus. Termasuk dalam perintah yang kedua untuk senantiasa istiqamah, terutama, melaksanakan shalat jamaah lima waktu ke masjid yang diibaratkan dengan “kasratul-khuta ila al-masajid”. Yang juga membuka kemungkinan tujuan-tujuan kebaikan lain ketika seseorang pergi ke masjid.

Menunggu shalat satu ke shalat yang lain berikutnya juga disebutkan oleh Nabi sebagai amalan yang dapat menghapuskan dosa dan meninggikan derajat di surga. Namun, kita harus memahaminya dengan menghubungkan kepada hadits dan ayat Al-Qur’an lain, dimana kita diperintahkan untuk menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Maka menunggu waktu shalat berikutnya dapat dipahami untuk kita senantiasa berikhtiar melaksanakan shalat, khususnya yang lima waktu tepat pada waktunya dan dilaksanakan di masjid berjamaah. Akan sangat tidak produktif, jika kita hanya berpangku tangan memperbanyak doa dan berzikir di masjid di sela-sela waktu shalat menunggu waktu shalat berikutnya, padahal kita diperintahkan untuk tidak melupakan urusan dunia kita. Pekerjaan menunggu shalat berikutnya dalam hadits di atas diumpamakan sebagai perbuatan ribath termudah dan teringan dilakukan dibandingkan dengan ribath yang sesungguhnya, yaitu kondisi seseorang atau kelompok pasukan muslim yang sedang mengamati pergerakan musuh (dalam jihad peperangan) atau menjaga keamanan kaum muslim yang sedang dalam keadaan berperang.

Hadits di atas bagi kita adalah wejangan dan wasiat dari Nabi untuk kita jadikan sebagai panduan dalam melakukan amalan-amalan, yang kadang kita menganggapnya kecil dan mudah dilakukan. Namun sebenarnya sangat susah dijalankan kecuali bagi mereka yang mengetahui inti dari wasiat tersebut, yaitu menghapus dosa dan meninggikan derajat seseorang di surga. Di sisi lain, ada banyak hadits yang berisikan informasi amalan yang sifatnya ringan dan mudah dilakukan, namun imbasnya sangat besar, semisal sebuah riwayat dari Anas bin Malik:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ؛ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَـى النَّارِ(رواه البخاري)

Tidaklah seorang hamba bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, melainkan Allah mengharamkan neraka atasnya.” (HR. Al-Bukhari)

Sumber: Majalah SM No 8 Tahun 2019

Exit mobile version