Merekat yang Retak

indonesia berkemajuan

Dok image

Indonesia, kata cendekiawan Yudi Latif dalam Makrifat Pagi (2018), layaknya cermin yang retak, jika para elite negeri melihat segala sesuatu dari sudut bayangan kepentingan masing-masing. “Keakuan dan kekamian mencekik kekitaan.” Pada akhirnya, rakyat menjadi para yatim piatu yang dikhianati dan dikorbankan oleh perseteruan sekelompok elite. Kondisi ini menjadi bencana besar yang merontokkan cita-cita mewujudkan bangsa yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Pesta demokrasi selayaknya bagaikan pesta yang dilalui dengan penuh kegembiraan, bukan dengan suasana yang menegangkan. Kemampuan suatu bangsa dalam menyelenggarakan serangkaian proses politik ini menjadi ukuran kedewasaan bangsa tersebut. Ketika tidak mampu berpolitik secara sehat dan gembira, maka bangsa itu dianggap masih dalam tahapan belum dewasa. Pemilu dan serangkaian prosesnya yang bermutu menjadi ciri dari negara yang demokratis. Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat. Dikenal juga sebagai negara Muslim demokratis terbesar di dunia. Hal ini perlu dibuktikan untuk menjadi teladan bagi negara lainnya.

Demokrasi mahal harganya, baik dalam arti finansial maupun yang nonmaterial. Untuk pelaksanaan pemilu tahun ini, pemerintah menganggarkan 24,8 triliun rupiah, belum lagi biaya yang dikeluarkan oleh para peserta pemilu, kandidat yang bertarung, dan kontestan partai politik. Termasuk di dalamnya biaya yang dihimpun dari perseorangan maupun korporasi. Sisi lain, pemilu dikatakan mahal karena merupakan peristiwa penting yang mempertaruhkan keutuhan dan masa depan bangsa. Kolektivitas Indonesia yang majemuk merupakan kekayaan yang tiada ternilai harganya. Oleh sebab itu, Indonesia menjadi negara demokrasi paling kompleks dari sisi luas wilayah, geografi, sebaran penduduk, dan penyelenggara pemilihan.

“Kalau pemilu sampai memecah belah dan merusak kesatuan Indonesia sebagai negara bangsa, maka sungguh itu sangat jauh dari esensi dan tujuan demokrasi yang hendak kita wujudkan, yaitu: kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat,” tutur Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem. Menurutnya, iklim demokrasi yang selama ini sudah berjalan dengan baik di Indonesia perlu terus dijaga dan diperkuat. “Sejatinya demokrasi itu secara konsep mengutamakan damai, adil, dan penghormatan pada kemanusiaan,” kata kader Aisyiyah ini.

Tarian kolosal empat etnis Sulsel dalam pembukaan Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar. (Foto: Antara)

Pemilu serentak baru saja berakhir. Saatnya merajut ulang persaudaraan dan berkerja sama. Mereka yang menang tidak boleh jumawa dan yang kalah tidak boleh berputus asa. Kemenangan yang diraih adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Pemimpin terpilih harus bisa membuktikan bahwa mereka adalah pemimpin yang menaungi semua golongan, dan karena itu layak mendapatkan rasa percaya atau trust dari masyarakat. Tanpa rasa saling percaya, maka roda pemerintahan akan berjalan pincang.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Pramono Ubaid Tanthowi mengimbau para elite untuk menerima apapun hasil pilihan rakyat. “Selesai pemilu, para elite harus berpikir bersama. Sekat perbedaan harus dikikis, mereka harus menyatu kembali. Berpikir bersama bagaimana menciptakan tata pemerintahan yang bersih, yang bebas dari korupsi, menciptakan keseimbangan politik yang dinamis. Jika menjadi kekuatan oposisi, maka menjadi kekuatan oposisi yang konstruktif. Jika menjadi koalisi penguasa, maka harus menjalankan fungsi pemerintahan dengan benar,” ujarnya.

Para tokoh politik diharapkan menjadi teladan. Apapun hasil yang diraih, para elite harus melakukan rekonsiliasi politik dan menghentikan keterbelahan yang terjadi di tengah masyarakat. “Begitu selesai pemilu, harus melihat bahwa kontestasi itu berakhir, harus menghentikan segala bentuk kecurigaan, serangan-serangan yang sifatnya personal, membuat komitmen bersama untuk menenangkan pendukung masingmasing. Bergandengan tangan, memberi contoh kepada publik bahwa kontestasi berakhir pada saat pemungutan suara,” tutur Pramono.

Menjadi pejabat negara berbeda kondisinya dengan menjadi pengusaha. Dalam menjalankan usaha, keberhasilan bisnis dinilai dari keuntungan yang didapatkan dengan investasi modal. Sementara dalam memimpin negara, keberhasilan diukur dari kesanggupan untuk memberikan perlindungan dan pelayanan yang adil kepada rakyatnya. Peran mulia ini hanya bisa dijalankan oleh para pemimpin negarawan yang memiliki kebesaran jiwa, berpikir jauh ke depan, dan tidak gila jabatan. Tugas warga negara adalah mengingatkan para wakil yang telah dipilih bersama untuk menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.

Titi Anggraini dan Pramono U Tanthowi sepakat bahwa demokrasi menuntut partisipasi aktif semua pihak. Institusi masyarakat sipil, komunitas umat beragama, hingga media, memiliki peran yang dapat memengaruhi kebijakan publik dan roda pemerintahan melalui pengaruhnya masingmasing. Peran untuk mengontrol laju pemerintahan ini perlu dijalankan oleh seluruh warga bangsa, termasuk di dalam nya oleh Muhammadiyah. Jika nilai-nilai dan ide-ide positif dalam lingkungan masyarakat sipil terus dinyalakan, maka kita punya harapan bahwa siapa pun yang terpilih, akan dikontrol oleh publik. Di sini, masyarakat sipil dituntut untuk melek politik dalam artian luas.

Ahmad Syafii Maarif pernah memberi rambu, siapa pun yang ingin berkuasa, harus sudah memiliki gagasan tentang apa yang akan dilakukan ketika menjadi penguasa, dengan tanggung jawabnya yang besar. Ormas keagamaan harus berperan untuk menjadi pusat pembibitan para penjaga nilai moralitas, integritas, dan keadaban bangsa. Bukan justru sebaliknya, membawa tarik-menarik kepentingan kekuasaan dan perebutan proyek ke dalam rumah ormas. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengingatkan, apa yang diperjuangkan mati-matian dalam urusan politik, jangan sampai meluruhkan tujuan yang hakiki. ”Jangan seperti berebut tulang usang dengan saling bermusuhan antar sesama anak bangsa.” Perseteruan hanya akan semakin mengkerdilkan kita, layaknya buih di lautan lepas.

Demokrasi menghendaki kepemimpinan ditentukan oleh suara terbanyak, yang seharusnya berjejak dari prestasi calon yang dipilih. Apapun hasil dari pesta demokrasi, itulah pilihan sebagian besar kita. Dengan apapun hasilnya, kehidupan harus terus berjalan. Kita perlu terus bergerak melaksanakan peran kita masing-masing, serta menolong negara untuk merekat persatuan di atas landasan keadilan sosial.

Tulisan ini kita tutup dengan wejangan Yudi Latif, “Saudaraku, ibarat cinta yang tak berbalas, kau pantas kecewa dengan balasan yang kau terima dari negaramu. Dari pemilu ke pemilu, kau turut merayakan pesta demokrasi hingga bertengkar ihwal jagoanmu, untuk dicampakkan setelah terpilih. Akan tetapi, percayalah, tiada cinta yang sia-sia. Cinta takkan habis-mati karena diberikan. Ibarat nyala lilin yang tak mematikan dirinya ketika apinya ditularkan ke lilin yang lain. Semakin banyak diberikan, pijar api cinta makin berpendar menerangi kehidupan… Berangkatlah kerja, karena anak panah tak bisa menembus sasaran tanpa melesat dari busurnya. Air yang tak mengalir jadi sumber penyakit. Seperti kupu-kupu yang tak lelah berjelajah.. Satu kepakan kupu-kupu memang tak berdaya. Namun, kepakan jutaan kupu-kupu yang bergerak serempak, melahirkan tornado perubahan.” (ribas)

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 8 Tahun 2019

Exit mobile version