Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. (Qs Ali Imran:103)
Pertama di Indonesia, Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara serentak bersamaan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Hajat di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim serta disebut juga sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Dengan tahapan yang cukup melelahkan. Masa kampanye sekitar 8 bulan, terhitung sejak akhir September 2018 hinggal pekan kedua April.
Selama masa kampanye suhu politik dan kemasyarakatan kita menghangat. Di keseharian kita menyaksikan para politisi mengumbar janji-janji dan pesonanya. Bertebaran polusi-polusi visual ke manapun kita melangkah. Pun begitu juga di dunia maya mereka tak mau kalah.
Tugas berkampanye adalah kepentingan para calon dan tim suksesnya. Berbagai strategi pemenang-an ditempuh agar jagoannya dicoblos di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Namun sebagaimana menjadi pemandangan di lini masa, orang-orang sangat gatal ikut-ikutan ambil bagian mengkampanyekan sang pujaan.
Sebenarnya sah-sah saja ikut dukung-mendukung di ruang terbuka. Hanya saja banyak yang terlupa untuk tetap menjaga etika dan estetika. Pemilu yang bermartabat menjadi dambaan. Tanpa hujatan, ujaran kebencian, maupun saling menegasikan sesama anak bangsa.
Politik merupakan salah satu subsistem dalam ajaran Islam yang berada pada posisi muamalah kehidupan. “Harus dipisahkan antara politik sebagai bagian dari muamalah kehidupan dalam Islam dan juga dalam konteks syariat. Saya melihat semua campur aduk,” tutur Ketua Komisi VIII DPR RI Dr Ali Taher Parasong.
Miris sekali yang salah melihat perbedaan politik menimbulkan keretakan. Bentrokan ataupun kericuhan seharusnya dapat diredam serta terantisipasi.
Ini justru tak terelakkan ketika konvoi antar pendukung partai tertentu. Bahkan karena berbeda pilihan Caleg ada kuburan warga yang harus dipindahkan. Di dunia maya berlaku ungkapan “Facebook mempertemukan kembali sahabat yang lama hilang, WhatsApp semakin mempererat sahabat yang telah ditemukan, Pilpres memisahkan mereka kembali.”
Diperlukan etika yang cukup untuk membangun politik dalam alam demokrasi yang serba terbuka seperti sekarang ini. “Demokrasi sesungguhnya merupakan komitmen bangsa kita setelah reformasi. Bagaimana kita mengisi demokrasi dengan nilai-nilai, etika yang baik menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Itu jauh lebih penting,” ungkap politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.
Wakil Ketua MPR RI Dr Ahmad Basarah, mengungkapkan terdapat paradigma politik yang keliru bahwa politik sekedar dimaknai sebatas perebutan kekuasaan. Ketika dimaknai sebatas kekuasaan maka dalam konteks pemilu masyarakat digiring untuk mencari penguasa kelompok tertentu bukan pemimpin seluruh rakyat. Jika paradigmanya mencari penguasa pasti menghalalkan segala cara termasuk membelah masyarakat dengan tujuan politik elektoral.
“Dalam kondisi masyarakat yang bersifat patron-client di samping belum memiliki tingkat pendidikan politik yang memadai, maka masyarakat kerap kali menjadi korban dari pertarungan elit politik. Sehingga yang terjadi adalah politik mobilisasi bukan partisipasi,” ungkapnya.
Menurutnya dalam negara demokrasi, pemilu adalah sesuatu yang niscaya. Sehingga tidak perlu takut kehabisan pemilu. Dalam negara demokrasi pula nilainilai keadaban politik dijunjung seperti kompetisi yang saling hormat menghormati. “Lawan berkompetisi adalah teman berdemokrasi dan lawan berdebat adalah teman berpikir,” ujarnya.
Pembelahan yang terjadi di masyarakat yang sedang menuju fase konsolidasi demokrasi memang perlu ditopang oleh budaya demokrasi. Di Indonesia paling kuat harus muncul dari elit masyarakat apakah tokoh masyarakat, tokoh agama, elit politik, pemimpin adat, dan lain-lain. “Selama elit di masyarakat justru adalah bagian dari polarisasi itu, maka masyarakat rawan terprovokasi ke arah konflik berkepanjangan tanpa akal sehat,” tutur Anggota DPR RI dari PDIP tersebut.
Basarah mengajak semua pihak harus sama-sama punya kesadaran historis dalam diri masing-masing bahwa bangsa ini susah payah direbut dari tangan penjajah dari persatuan seluruh elemen bangsa yang berbeda-beda. Sehingga, upaya segelintir pihak memecah belah bangsa karena urusan pemilu harus dijadikan musuh bersama. Musuh bersama inilah yang dapat mempersatukan kelompok-kelompok yang berbeda.
“Yang perlu adalah merajut kembali setelah Pemilu, dalam konteks Islam membangun kembali ukhuwah Islamiyah. Membangun lagi kebersamaan, membangun lagi kerukunan kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Ali Taher menambahkan.
Sebagai warga negara, Pemilu dan Pilpres tahun ini harus disikapi dengan bijaksana, yaitu tidak melakukan provokasi yang mengarah kepada pertikaian karena ini sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan masyarakat yang harmonis. Begitulah yang disampaikan Wakil Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Dr Khamami Zada. “Kita ke depankan politik yang beradab dengan membangun komunikasi yang santun dan berakhlak karimah.”
Menurutnya, jangan jadikan pilihan politik itu benar salah, kafir muslim, surga dan neraka karena siapapun yang terpilih adalah figur terbaik yang kita miliki. Jika jalan politik sudah keluar dari rel konsensus kebangsaan kita, maka ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU tampil sebagai garda depan dalam meluruskan dan mengarahkan negara menuju ke arah yang lebih baik dan berguna.
Sementara itu, Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Sunanto mengungkapkan generasi milenial memiliki peran strategis terhadap perjalanan kehidupan kebangsaan. Dari banyak analisis, terdapat hampir 40% jumlah pemilih milenial di Pemilu 2019.
“Jika jumlah generasi milenial tersebut menebar benih kebaikan, benih keluhuran, benih akal budi, benih energi positif, maka republik yang kita cintai ini akan bertransformasi menjadi sebuah negara bangsa yang bahagia,” ungkap Cak Nanto, sapaan akrabnya.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) itu juga menyampaikan generasi milenial juga perlu merayakan perbedaan pilihan politik dengan penuh gembira. “Percayalah, kegembiraan dan kebahagiaan menjadi kunci kesuksesan kita berdemokrasi. Kita ini terlalu muram dalam merayakan demokrasi, untuk itu saya mengimbau perlunya membangun demokrasi bahagia,” imbuhnya.
Cak nanto juga berpesan untuk memusatkan energi bangsa pada kebaikan-kebaikan. Niscaya bangsa ini akan menjadi semakin besar dan berwibawa. Namun jika pikiran anak bangsa ada di pusaran kebencian, keburukan, makan energi itu akan memengaruhi alam kosmos negeri ini.
Semoga para wakil rakyat serta Presiden dan Wakil Presiden yang dilantik merupakan para putra-putri bangsa terbaik. Merawat Indonesia sebagai rumah bersama untuk semua. Membawa bangsa ini dalam kejayaan dan kemakmuran untuk seluruh rakyatnya. (Riz)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 8 Tahun 2019