Teladan Kahar Muzakkir, Penggerak Kemerdekaan hingga Rektor Pertama UII

BANTUL, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nasir, MSi Menghadiri acara seminar Kemuhammadiyaan dan Kebangsaan dengan tema “Prof K. H.  Abdul Kahar Muzakkir, Ulama dan Pejuang Muslim” yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), di ruang seminar Pascasarjana, kampus terpadu UMY, Rabu (23/10).

Haedar memberikan ucapan selamat sekaligus terimakasih kepada pihak penyelenggara sebagai proses akademik. “Tentu selalu kita rawat, kita kembangkan dan terus kita gairahkan. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada Rektor dan seluruh pimpinan serta seluruh keluarga besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang telah mendukung, mengusahakan dan mengupayakan sehingga saya diamanahkan menjadi guru besar, ini merupakan anugerah Allah STW,” ungkapnya.

Diawal materi, Haedar mengatakan tidak banyak orang yang mengenal Kahar Muzakkir ini, terlebih generasi milenial, generasi kolonial saja, seloroh Haedar, merujuk generasi senior belum semua paham. Ada tiga segmen yang perlu diketahui.

Pertama, konteks internasional, orang-orang selalu mengenal Haji Agus Salim, Ali Sastroamidjojo sebagai diplomat-diplomat Indonesia, dan memang dua sosok ini sangat menonjol. Tetapi orang jarang tau siapa Kahar Muzakkir, padahal sebelum keduanya berperan, pak Kahar masih muda usianya 24 tahun justru gigih, beliau di Palestina pernah menjadi sekertaris dalam Forum Kongres Internasional yang juga memperoleh mandat dari Indonesia, dan pada saat itulah Kahar memperkenalkan Indonesia yang sedang berjuang untuk kemerdekaan.

“Pak Kahar ini kita hadirkan kembali, agar Indonesia mengenal beliau punya goresan tinta emas dan kepeloporan dalam sejarah pergerakan perjuangan kemerdekan di forum internasional dan saat itu pengakuan internasional sangat diperlukan bahkan saat-saat kita sudah merdeka itu masih ada dukungan dari Bangsa Arab, hal itu sangat luar biasa,” Tegasnya.

Yang kedua dalam konteks Sekolah Tinggi Islam, kita ingin menghadirkan sosok yang berkarekter pemikir islam yang ingin menghadirkan intelektualisme dalam bentuk institusi. Dalam sejarah, baik sejah Islam maupun sejarah Barat tentu lahir komunitas-komunitas pemikir ini.

“Kalau dalam tradisi Islam kita mengenal ada dua komunitas klasik, yang satu dikenal dengan Ahlul Ahsar, ialah suatu gerakan pemikiran yang lebih kearah tekstual, yang pusatnya di Hisyas Arab Saudi, yang nanti memberikan corak pemikiran islam yang serba tekstual, yang serba verbal, syariah dan formal serta fiqh. Ada lagi satu komunitas yang disebut dengan Ahlul Ra’yi yaitu para pemikir rasionalisme yang berpusat di Kufa,” jelasnya

Maka dalam sejarah peradaban islam lahirlah pemikir-pemikir yang berangkat dari Kufa mereka cenderung “liberal”. Pergulatan pemikiran ini, lalu menjadi madzab dalam pemikiran Islam. Dalam sejarah Islam pergulatan pemikiran itu menjelma menjadi gelombang besar kemudian lahirlah gerakan peradaban ilmu dan melahirkan peradaban Islam, dan dari situlah lahir pemikir-pemikir Islam yang multi-perspektif dan multi-disiplin. Ada Al-Faraby ahli Teologi Islam, Ibnu Rusyd ahli Filsafat dan lain sebagainya.

Sejarah peradaban ini melahirkan dua institusi yakni Al-Azhar di Mesir pada zaman Fatimiyah tahun 920-an, kemudian juga Khawariun di kota Maroko yang juga perguruan Islam tertua di dunia. Jejak ini melembagakan jadi satu ritme dari perjalanan sejarah Islam yang luar biasa, dari orang per orang, mazhab, kemudian terbentuklah institusi maka disebut dengan jam’iah, jam’iah itu bagian dari satu kompleks lalu lahirlah perguruan tinggi. Dan itulah yang memberi inspirasi sebelum barat melahirkan universitas-universitas. Jauh sebelum itu Islam sudah mendirukan perguruan tinggi Islam.

Di Indonesia sendiri, gagasan perguruan tinggi sebenarnya ada sejak lahirnya Muhammadiyah tahun 1912-an, yang saat itu sidang tahunan pertama telah ada keputusan Muhammadiyah ingin melahirkan universitas yang megah. Ketika gagasan tersebut muncul, ditertawakan oleh jamaah (peserta) karena menurut mereka itu terlalu ambisi. Boleh jadi benih itu muncul dari seorang Kahar Muzakkir yang juga kader Muhammadiyah kemudian bersenyawa dengan tokoh-tokoh lain termasuk Bung Hatta maka lahirlah Sekolah Tinggi Islam Pertama di Indonesia pada tahun 1945 dan menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada tahun 1963. “Saya pikir ini juga menjadi suatu jejak sejarah yang penting, sehingga UII itu bukan hanya milik tertentu tetapi milik bangsa Indonesia dan umat Islam yang dirintis oleh seorang Kahar Muzakkir dan beliau menjadi rektor pertama,” tandas Haedar.

“UII menjadi jejak pengejawantahan lahirnya institusi, dalam konteks gerakan Muhammadiyah, ini bentuk dan pranata modern. Muhammadiyah mempelopori banyak hal yang disebut dengan pembaharuan karena mewujudkan gagasan-gagasan pembaharuan itu pada institusi yang modern.” jelasnya

Yang ketiga kebangsaan, Kahar Muzakkir adalah anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan  Kemerdekaan Indonesia (BPUKI), sekaligus juga masuk pada panitia Sembilan perumusan pembukaan UUD 1945 yang juga secara khusus menjadi piagam Jakarta. “Kahar Muzakkir ini sangat berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia, kita ingin menyampaikan sinyal kuat dari kampus UMY ini untuk Indonesia ada seorang Kahar Muzakkir yang berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia,” jelasnya. (Rahma/Riz)

Exit mobile version