Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Tentang Sumpah Pemuda 27-28 Oktober 1928 yang merupakan salah satu tonggak penting sejarah Indonesia telah banyak diulas hampir saban tahun dari sisi pandangan penulisnya masing-masing. Tulisan ini akan membatasi diri untuk membicarakan empat peserta sumpah itu: Kasman Singodimedjo (25 Feb. 1904-25 Oktober 1982), Sukarmadji Maridjan Kartosoewirjo (7 Januari 1905-5 September 1962), Amir Sjarifuddin (27 April 1907-19 Desember 1948), dan Mohamad Roem (16 Mei 1908-24 September 1983).
Keempatnya ini sama-sama pernah berurusan dengan hukum di negara Indonesia merdeka dengan hukuman sangat berat dan berat. Adapun peserta yang lain saat ini belum sempat saya lacak tentang bagaimana pula perjalanan hidup mereka setelah kemerdekaan. Tetapi dalam pembacaan selintas, sebagian peserta Sumpah Pemuda itu cukup memegang peran penting untuk turut mengisi kemerdekaan negeri ini.
Dalam telusuran saya, para peserta Sumpah Pemuda itu berjumlah 700 orang, tetapi yang tercatat hanya 10%, tidak termasuk panitia intinya yang terdiri dari Soegondo Djojopoespito (Ketua), Djoko Marsaid (Wakil Ketua), Muhammad Yamin (Sekretaris), Amir Sjarifuddin (Bendahara), Djohan Muh. Tjai (Pembantu I), Kotjosoengkono (Pembantu II), Senduk (Pembantu III), J. Leimena (Pembanti IV), dan Rohjani (Pembantu V). Tidak perlu ditulis di sini semua nama peserta itu. Tetapi perlu disebut juga tokoh PI (Perhimpunan Indonesia) di Eropa yang turut dalam Sumpah Pemuda, di antaranya Arnold Mononutu, Soenario Sastrowardojo, R.M.Sartono.
Empat tokoh yang kita bicarakan ini semuanya sempat menyaksikan Indonesia merdeka, bahkan ada yang menjabat sebagai Jaksa Agung (Kasman Singodimedjo), sebagai menteri: Amir Sjarifuddin, dan Mohamad Roem. Yang mengalami nasib paling tragis dari empat nama itu adalah Amir Sjarifuddin dan Kartosoewirjo, sedangkan Kasman ditahan sejak 5 September 1958 akibat pidatonya di muka warga Masyumi di Magelang pada 31 Agustus 1958, dan Roem kemudian juga dipenjarakan tanpa proses pengadilan di era Demokrasi Terpimpin (1959-1966) selama empat tahun (1962-1966).
Amir Sjarifuddin menjabat Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan di zaman revolusi mempertahankan kemerdekaan. Pernah pula bersatu dengan Sutan Sjahrir untuk kemudian pecah kongsi. Lalu entah apa yang mendorongnya untuk bersekutu dengan Moeso (tokoh komunis Stalinis) yang pulang ke Indonesia pada bulan Mei 1948 yang berujung dengan meledaknya Pemberontakan PKI Madiun September 1948.
Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri katika itu bertindak tegas untuk segera melumpuhkan pemberontakan itu. Dalam tempo singkat pemberontakan dapat ditumpas, Moeso dan Amir Sjarifuddin ditangkap dan ditembak mati. Moeso sebelum melakukan makar itu bahkan sempat menemui Bung Karno dan Bung Hatta. (Lih. Mohammad Hatta, Memoir. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm. 530).
Nasib Amir Sjarifuddin, bendahara Sumpah Pemuda, berakhir di tangan perwira Angkatan Darat atas perintah Gubernur Militer Surakarta, Kolonel Gatot Soebroto. Dia menyudahi hidupnya dengan cara dihukum mati pada 19 Desember 1948 di kawasan Surakarta, persis sama tanggalnya dengan tertangkapnya Soekarno-Hatta oleh pasukan Belanda di Yogyakarta. Pertanyaannya adalah: apakah Amir Sjarifuddin memang seorang komunis sebagaimana anggapan publik selama ini? Sahabat dekatnya dari Partai Masyumi Dr. Abu Hanifah memberi kesaksian:
Waktu saya dengar pidato Amir Sjarifuddin, yang berkali-kali diradiokan, saya benar-benar menaruh kasihan pada kawan saya ini. Saya merasa dalam pidatonya itu terdengar suatu frustrasi. Suatu kebingungan dan suatu keputusasaan… Pidato itu samasekali bukan pidato seorang pemimpin komunis yang fanatik dan terdidik, sebab komunis tulen sama fanatiknya dengan seorang beragama… Jadi, saya sejak itu tidak percaya, bahwa Amir Sjarifuddin, yang selalu membawa Injil kecil dalam sakunya, adalah komunis. Mungkin ia seorang Radikal-Sosialis, atau Nasionalis-Revolusioner, atau Marxis tok. (Lih. Abu Hanifah, “Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifuddin” dalam Taufik Abdullah dkk, Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta, LP3ES, 1981, hlm. 217).
Lebih lanjut Abu Hanifah menulis: “Di samping itu ada satu segi menyolok dalam wataknya, ambisinya besar, karena amat percaya kepada kapasitasnya. Memang ia seorang yang brilian, tetapi nampaknya ia tidak stabil, dan tidak sabar.” (Ibid.). Kesaksian Abu Hanifah ini perlu dikaji lebih jauh tentang siapa sebenarnya Amir Sjarifuddin, tokoh Sumpah Pemuda, yang mengakhiri hidupnya demikian dramatis di tangan Angkatan Darat yang pernah dipimpinnya sebagai Menteri Pertahanan.
Kemudian kita lihat pula S.M. Kartosoewirjo yang sejak 7 Agustus 1949 menjadi pemimpin DI (Darul Islam) yang semula berpusat di Tasikmalaya, Jawa Barat, sekalipun dia kelahiran Cepu, Jawa Tengah. Gerakan DI ini bertahan sampai 1962 saat Kartosoewirjo ditangkap pada 4 Juni 1962 di sebuah gubuk di Gunung Rangkutak di kabupaten Bandung oleh pasukan Siliwangi untuk selanjutnya dieksekusi di Pulau Ubi di Kepulauan Seribu pada 5 September 1962. Kartosuwirjo adalah cetakan pendidikan Barat, bukan alumni pesantren, kenal baik dengan Ir. Soekarno karena pernah sama-sama tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya.
Alm Pak Taufiq Kiemas pernah menceritakan kepada saya bahwa pada saat memutuskan hukuman mati untuk Kartosoewirjo, Presiden Soekarno mengalami perang batin sampai terisak. Bisa difahami, karena yang akan ditembak mati ini adalah teman lamanya yang usianya lebih muda empat tahun dari Bung Karno. Inilah drama manusia yang tidak mudah difahami, tetapi sungguh berlaku pula di berbagai bangsa di dunia dengan variasi tragedinya masing-masing.
Hubungan Kartosoewirjo dengan H.O.S. Tjokroaminoto demikian dekatnya sebagai sekretaris pribadi. Pada saat Proklamasi DI di Tasikmalaya tahun 1949, H.O.S. Tjokroaminoto sudah wafat 15 tahun sebelumnya. Korban rakyat dari gerakan Kartosoewirjo di Jawa Barat terutama cukup banyak, tetapi yang masih mendukungnya sekalipun jauh berkurang, tokoh masih ada, bahkan sampai hari ini.
Cerita yang jarang kita dengar adalah bahwa Amir Sjarifuddin pernah menawarkan posisi menteri kepada Kartosoewirjo, tetapi ditolaknya. Sebagaimana terbaca di atas, Amir Sjarifuddin dan Kartosoewirjo adalah alumni Sumpah Pemuda yang ujung nasibnya sama-sama dilumpuhkan oleh timah panas pada tahun yang berbeda karena keduanya dinilai telah melawan pemerintah yang sah.
Selanjutnya kita ikuti pula perjalanan Kasman dan Roem, keduanya adalah tokoh Partai Masyumi sampai partai diperintahkan bubar pada akhir 1960 oleh Presiden Soekarno. Hubungan Kasman dengan Roem telah terjalin lama, sejak mereka menjadi mahasiswa Fak. Hukum di era penjajahan. Keduanya sama-sama berhasil meraih gelar Mr (Meester in de Rechten), sarjana hukum dalam sistem Belanda dan Belgia. Kasman dan Roem juga menjadi pengurus inti Jong Islamieten Bond (Perhimpunan Pemuda Muslim) yang dibentuk pada tahun 1925 dengan H.A. Salim sebagai mentor utamanya.
Berbeda dengan Roem yang lembut dan diplomat, Kasman punya watak keras yang penuh disiplin. Kasman cukup lama berada dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pembubaran Masyumi berakibat buruk bagi Kasman dan Roem. Gara-gara beberapa pimpinan Masyumi (Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Boerhanuddin Harahap) terlibat dalam gerakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang dibentuk di Sumtera Barat Februari 1958, Kasman dan Roem yang tidak ikut apa-apa, terkena dampaknya. Keduanya ditangkap dengan berbagai tuduhan palsu pada tahun yang berbeda.
Sampai dibebaskan tahun 1966, setelah rezim bertukar, keduanya akhirnya meniup udara segar kembali. Di era itu pengaruh PKI, musuh bebuyutan Masyumi, memang teramat besar, termasuk melalui alat-alat negara, seperti polisi dan jaksa yang menangkap dan memenjarakan tokoh-tokoh yang dinilai sebagai musuh negara oleh penguasa ketika itu.
Tetapi Kasman pernah diadili di Magelang pada 1958 dengan tuduhan yang direkayasa, sebagaimana telah disinggung di atas. Semua tuduhan ditolak Kasman secara kesatria dalam pidato pembelaannya yang berlangsung selama dua hari, tetapi toh tidak dipertimbangkan jaksa sebagai bagian dari sistem autoritarianisme pada era itu. Salah seorang pembela Kasman dalam sidang di atas adalah sahabatnya Mr. Mohamad Roem yang pada waktu masih bebas.
Akhirnya, saya kutip tulisan santai Roem dalam majalah Intisari September 1972 saat berkunjung ke Belanda bulan Agustus 1967 dan ditanya oleh wartawan tua di sana: “Meneer Roem, waarom haat U Soekarno niet” (Bapak Roem, kenapa Anda tidak membenci Soekarno)? Saya tertegun. “Siapa bilang saya tidak membenci Soekarno?” Saya balik bertanya. “Saya ditahan empat tahun empat bulan tanpa diadili. Wartawan itu tertawa. Nou ja, Anda tadi menjawab berbagai pertanyaan perihal Soekarno tanpa ada tanda-tanda membencinya.” Kemudian Roem menjawab: “Saya tidak mempunyai cukup waktu untuk membenci Soekarno.”
Itulah kisah hidup ringkas dramatis dari empat peserta Sumpah Pemuda 1928!
Ahmad Syafii Maarif, Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 20 Tahun 2019