Oleh: Restu Gunawan
Awal abad 20, ‘kaum muda’ sebagai konsep politik dan budaya mulai diperkenalkan. Konsep ini diperkenalkan oleh Abdul Rivai. Ia seorang wartawan pergerakan, pendiri majalah Bintang Hindia yang terbit pertama kali pada Juli 1902. Majalah dua mingguan yang disebut sebagai soerat tjerita mempunyai tujuan ambisius dan mulia yaitu untuk memajukan pengetahuan rakyat Hindia Belanda hingga bisa mencapai status ‘bangsawan pikiran’.
Dengan harga langganan 3 gulden per tahun tentu paling murah selama kurun waktu itu. Ini sungguh-sungguh upaya yang tulus hendak menjadikan majalah berkala ini menjadi medium untuk menyuarakan ide-idenya mengenai kemajuan kehidupan moral dan sosial bangsanya.
Kaum Muda yang dimaksud dalam konsep ini adalah semua orang Hindia (tua dan muda) yang tidak suka lagi mengambil aturan kuno, adat kuno, kebiasaan kuno tetapi yang mau memuliakan diri dengan pengetahuan dan ilmu. Disisi lain istilah ‘kaum tua’ atau ‘kaum kuno’ ia tujukan pada mereka yang terobsesi pada kemuliaan (gila hormat) dan adat sembah dan jongkok.
Alam analisanya tentang masyarakat di kepulauan Indonesia, Rivai membagi dalam tiga kelompok yang sangat berbeda yaitu orang awam, bangsawan usul dan bangsawan pikiran. Dari ketiganya, ia yakin hanya kelompok terakhirlah yang bisa memimpin proses modernisasi masyarakat.
Karena bangsawan pikiran adalah mereka yang menjadi bangsawan karena alam pikir yang diperoleh melalui pendidikan. Sedangkan bangsawan usul adalah bangsawan yang diperoleh karena keturunan tanpa dibarengi dengan kemauan untuk belajar ilmu pengetahuan.
Untuk itulah pada 1905, Rivai mengusulkan pembentukan sebuah organisasi besar kaum pribumi yang bisa menyatukan seluruh kaum muda atau elemen progresif. Organisasi itu diusulkan bernama Perhimpunan Kaoem Moeda yang cabangnya diharapkan ada di seluruh kepulauan Indonesia.
Dari pergulatan pemikiran ‘kaum muda’ dan ‘bangsawan pikiran’ inilah perdebatan tentang sebuah negara bangsa pada masa depan diperdebatkan. Perdebatan itu semakin lama semakin kuat di antara tokoh-tokoh kebangsaan dan agama.
Di antaranya adalah Sukarno dalam pidatonya “Indonesia Menggugat” yang merupakan pidato pembelaan di pengadilan Bandung. Begitu juga Moh. Hatta yang berpidato dengan judul “Indonesie Vrij” di pengadilan Belanda. Kedua pidato itu adalah kristalisasi dari sebuah perlawanan sekaligus sebuah cita-cita negara merdeka Indonesia di masa mendatang dan juga sebuah pembelaan bahwa beliau berdua tidak melakukan kesalahan dalam melakukan perjuangan melawan penjajah.
Kisah dua pidato dari dua pemimpin muda yang kemudian ditakdirkan menjadi Proklamator Kemerdekaan ini hanyalah contoh tentang hubungan yang perlu diperhatikan antara “tindakan” yang diaktualkan atau diwujudkan dan latar belakang intelektual atau landasan pemikiran dari tindakan itu. Kalau begitu, maka hal ini bisa dianggap sebagai salah satu aspek dari sejarah pemikiran atau sejarah intelektual.
Pada masa ini pula, sebuah cita-cita Indonesia pada masa depan mulai dicanangkan oleh sekelompok pemuda yang belajar di negeri Belanda melalui organisasi Indische Vereeniging (1908) kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (1925). Sebagai media menyampaikan pesanpesan kemerdekaan, mereka menerbitkan majalah Indonesia Merdeka. Sejak saat itu, ‘Indonesia’ yang pada awalnya adalah nama kawasan dan kumpulan etnis telah berubah menjadi cita-cita politik dan kebudayaan yang harus diperjuangkan.
Dalam suasana itu pula di dalam negeri, kaum muda terus bergeliat dalam upaya menyatukan energi yang terserak di berbagai organisasi kepemudaan yang mengusung tema-tema ideologi, agama dan suku tertentu. Hasrat itu terus menyatu dan puncaknya adalah ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dalam suasana penuh harapan itulah WR. Supratman menutup sidang dengan melantunkan sebuah lagu yang digubahnya dengan judul Indonesia.
Dengan format keroncong dan iringan biola buatan Nicolo Amati, dimana lagu dilantunkan tanpa teks. Pergulatan pemikiran yang kadang sejalan, kadang berbeda, menghiasi koran dan majalah pada masa itu. Perdebatan akademis yang sangat bergairah pada masa itu, boleh dikatakan bahwa pada 1920 – 1930-an bisa disebut sebagai dasawarsa pergolakan pemikiran ideologis.
Dari Bazar Kultural ke Bazar Politik
Nasionalisme tidak hanya persoalan menolak kekuasan asing, nasionalisme menyangkut pula persoalan bagaimana orang harus merumuskan identitas kultural dan politiknya. Selain itu juga tentang bentuk dan corak masyarakat seperti apa yang ingin dibangun dan dikembangkan pada masa depan.
Untuk itulah nasionalisme modern tidak ditemukan dalam tradisi-tradisi perlawanan yang sifatnya lokalitas etnis dan kerajaan tertentu, tetapi terbentuk melalui proses literasi terhadap lingkungan urban kolonial yang hierarkis, dimana orang dari seluruh kepulauan Indonesia bertemu dan berbaur dalam bazar kultural. Dalam pergulatan ini, mereka mengembangkan suatu pengertian baru tentang masyarakat yang mempunyai kesamaan nasib.
Mengutip pernyataan sejarawan Taufik Abdullah, bazar kultural dapat digambarkan sebagai situasi di mana simbolsimbol budaya dari masyarakat pendatang, yang berasal dari latar belakang budaya dan etnis beragam, dipertukarkan dan secara perlahan-lahan dipunyai bersama-sama. Bazar kultural merupakan ruang sosial dan kultural tempat kelompok etnis dari seluruh Indonesia bertemu dan menemukan kesamaan kultural dan sejarahnya.
Konsep ini sejalan dengan pemikiran Ben Anderson tentang imagine community (komunitas yang dibayangkan). Yaitu sebuah alam pikir yang dibangun bersama, di mana di antara para pendukungnya belum tentu saling bertemu, tetapi perasaan senasiblah yang mempertautkan cita-cita bersama tersebut.
Dalam bazar ini, bahasa Melayu–lingua franca sejak masa kepulauan nusantara menjadi bagian jaringan perdagangan internasional mempunyai peran sangat penting. Bahasa Melayu telah menjadi menjadi alat komunikasi pertama. Apalagi setelah kepulauan ini memasuki periode budayacetak, bahasa Melayu berperan utama sebagai kekuatan yang menyatukan.
Buku-buku, surat kabar – surat kabar, dan yang lebih penting lagi, jurnal-jurnal, terbit dan dicetak dalam bahasa Melayu. Bahasa Melayu dan reformasi Islam adalah fondasi kultural pertama dari konsep masyarakat baru ini. Keduanya ditegakkan oleh munculnya kultur-kultur urban, yang mampu melampaui batas-batas tradisi-tradisi lokal. Jadi Bahasa Melayu sebagai lingua franca telah mempercepat proses bazar kultural menjadi bazar politik ke-Indonesiaan. Melalui Bahasa inilah hambatan komunikasi dengan mudah terjembantani. Sehingga memudahkan proses pembentukan negara-bangsa.
Generasi Milenial
Kini pada abad 21 muncul sebuah konsep baru yang disebut sebagai Generasi Milenial, untuk menyebut sebuah generasi yang lahir diawal abad 21, ketika teknologi informasi menguasai dunia. Seperti juga konsep Kaum Muda pada awal pergerakan, konsep ini pun juga tidak mempunyai definisi yang baku.
Namun jika mengacu pada jamannya maka Kaum Muda dalam masa perjuangan lebih ditekankan kepada munculnya golongan terpelajar yang disebutnya sebagai ‘bangsawan pikiran’. Sebagai acuan dapat dilihat dari jumlah kaum terpelajar yang mengenyam pendidikan pada masa itu. Pada tahun 1930-an jumlah orang yang belajar di sekolah desa (volkschool) dan sekolah sambungan (vervolgschool) sebanyak 1.482.736 orang, sementara itu sekolah kejuruan berjumlah 15.716 orang dan HIS dan ELS sebanyak 43.411 orang.
Ini adalah kekuatan dari Kaum Muda pada masa itu yang merupakan penggerak dari sebuah cita-cita kemerdekaan. Seperti diketahui bahwa munculnya pergerakan nasional Indonesia tidaklah muncul di gubug-gubug petani di desa-desa tetapi muncul dari sebuah pergulatan pemikiran kaum muda di kota-kota terpelajar.
Kini jika diasumsikan generasi milenial yaitu para kaum terpelajar di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia dari sekolah dasar hingga mahasiswa yang berjumlah sekitar 60 jutaan orang, maka ini adalah kekuatan besar yang perlu disiapkan agar menjadi Kaum Muda yang tercerahkan seperti yang digagas oleh Abdul Rivai.
Mereka tentu saja tidak hanya sebagai obyek kontestasi politik tetapi mereka adalah penggerak dari sebuah perubahan jaman di era baru ini. Jika dibandingkan dengan masa kolonial di mana Kaum Muda terpelajar dengan jumlah sangat terbatas tetapi bisa merebut kemerdekaan bahkan pengaruhnya sangat luas dengan menginspirasi munculnya pergerakan melawan penjajah di berbagai belahan dunia khususnya di Asia dan Afrika.
Kini menjadi tantangan bersama bagaimana mengelola dan menyiapkan generasi milenial menjadi kekuatan baru menuju masyarakat yang beradab seperti yang tertuang dalam semangat ikrar Sumpah Pemuda yaitu berbangsa satu, bertanah air satu Indonesia dan menjunjung Bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Selamat Hari Sumpah Pemuda.
Restu Gunawan, Sekretaris Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia, Pengurus Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (Hipiis), Direktur Kesenian, Kemendikbud
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 20 Tahun 2019